Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka Belajar dan Obat Sakit Kepala?

25 Agustus 2023   21:15 Diperbarui: 25 Agustus 2023   21:21 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah prediksi yang membuat kita termotivasi  serta terbawa mimpi untuk bisa mewujudkan dan mengantarkan bangsa Indonesia ke posisi yang sangat spektakuler itu. Tentu sangat wajar, karena setiap pemimpin negeri ini, punya mimpi besar. Oleh sebab itu dukungan upaya setiap Mentri sangat dibutuhkan, terutama yang berkaitan dengan penyiapan sumber daya manusia (SDM) agar mampu bersaing di tingkat Global.

Idealnya, visi dan misi, adanya peluang-peluang besar bagi bangsa ini  bisa dimanfaatkan dengan baik, dengan menyiapkan sumber daya manusia yang siap bersaing di tingkat global, sehingga impian besar yang digagas di awal kemerdekaan Republik Indonesia ini bisa dimanfaatkan secara optimal dan kuat. Sayangnya, dunia pendidikan kita di Indonesia dari waktu ke waktu, ketika kita membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, dunia pendidikan kita dalam banyak hal mengalami penderitaan.

Pendidikan kita terus digerogoti oleh berbagai penyakit, baik penyakit ringan maupun penyakit-penyakit yang tergolong berat dan akut. Dunia pendidikan, di hampir semua jenjang terus mengalami  disorientasi  dan bahkan ikut hanyut dalam arus disrupsi. Banyak fakta yang menyedihkan dan berada di puncak Gunung es. Fakta-fakta tersebut memotret wajah dunia pendidikan kita di tingkat global hingga lokal.  

Fakta kualitas pendidikan kita, menunjukkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih penuh dengan masalah.  Satu di antaranya adakah berdasarkan data yang dirilis Worldtop20.org peringkat pendidikan Indonesia pada 2023 berada diurutan ke 67 dari 209 negara di dunia. Urutan Indonesia berdampingan dengan Albania di posisi ke-66 dan Serbia di peringkat ke-68.

Peringkat ini berbanding lurus dengan kemampuan literasi bangsa Indonesia bila kita mengacu pada survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Bukan hanya itu, secara umum, mayoritas usia 15 tahun ke atas di Indonesia sudah mencapai wajib belajar 9 tahun (62.68%). Tamat Perguruan Tinggi 10,15 %. Angka melek huruf 96.36 %. Angka putus sekolah meningkat sejalan dengan semakin tingginya jenjang pendidikan. Dengan demikian kita bisa menilai seperti apa tingkat pendidikan masyarakat kita mengerucut mengikuti puncak piramid, jumlah yang berpendidikan tinggi hanya 10.5 persen.

Hal lain yang juga masih mengganjal adalah terkait dengan persoalan minat membaca masyarakat Indonesia yang rendah dan terus melorot. Melorotnya minat membaca membuat kemampuan literasi anak negeri  ikut turun dan menuju titik nadir. Ya, ketika  minat membaca  terus menurun, maka secara otomatis akan membuat kemampuan literasi, numerasi masih tetap rendah. Sudah banyak survei yang memaparkan hal ini.

Soal kualitas guru juga masih belum terpecahkan dan masih menjadi persoalan besar. Hasil UKG tahun 2015 a- 2017 masih di bawah nilai standar 75. Hasil survei  Bank Dunia 2020 menyatakan bahwa kualitas guru di Indonesia juga masih rendah bukan hanya pada kompetensi dan kemampuan mengajar, tetapi juga kompetensi sosio emosional yang hanya 3.25 dari nilai standar 5. Dengan demikian menunjukkan
Profil guru kita, banyak yang tidak layak mengajar. Jadi ini adalah beberapa sisi wajah buruk dunia pendidikan kita yang menjadi penyakit kronis dan harus diobati.
Tentu Mas Menteri Dikbudristek telah mendiagnosis penyakit-penyakit itu hingga dengan cekat dan cepat membawa resep baru untuk mengobati penyakit kronis itu. Yang kurikulum Merdeka yang diimplementasikan dengan Merdeka Belajar.

Obat Sakit Kepala

Ya, Kemendikbudristek, di tangan Nadiem Makarim, telah membawa obat, penawar sakit yang disebut dengan Kurikulum Merdeka dan Belajar Merdeka. Sejenis obat yang mungkin dikategorikan sebagai obat mujarab. Dengan  Kurikulum Merdeka dan Merdeka belajar diharapkan penyakit kronis pendidikan di tanah air bisa terobati dengan konsep baru yang ingin membawa  bangsa Indonesia mewujudkan impian itu dengan kebijakan Merdeka Belajar.  menurut sang Menteri bahwa kebijakan Merdeka Belajar  itu merupakan langkah untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Indonesia yang memiliki Profil Pelajar Pancasila.

Kedengarannya begitu indah dan memiliki prospek yang cukup bagus. Padahal penerapan kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar  membutuhkan guru-guru yang bermindset merdeka, sementara para guru kita masih terjajah oleh berbagai hal, birokrasi dan Administrasi. Selain itu, buruknya sistem peningkatan kualitas guru hingga kini masih belum berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun