Tentu saja bukan sekadar bahagia karena tulisan berhasil dimuat di rubrik Opini Kompas saat itu, namun kebahagiaan lain adalah ketika tulisan itu menjadi bahan perbincangan pembaca, yang bila melihat isi tulisan adalah tulisan yang berani mengeritik beberapa pihak, terutama terhadap Wakil Presiden, Yusuf Kala yang saat itu mengatakan soal guru seperti buruh. Sontak saja, kalau tulisan itu menjadi tulisan yang bernas dan membanggakan.Â
Apalagi tulisan tersebut menjadi rujukan bagi banyak orang. Keindahan itu semakin membahagiakan. Dengan demikian, maka benarlah bahwa kegiatan menulis itu banyak sekali hikmahnya. Menulis, bukan hanya mendatangkan uang, tetapi jauh dari itu adalah kepuasaan batin yang bernilai lebih dari pada uang. Apalagi honor yang dibayar oleh Harian Kompas saat itu, bisa 10 kali lipat dibandingkan dari honor yang dibayar oleh koran atau surat kabar lokal.
Nah, sehubungan dengan kedatangan pesan WA dari Harian Kompas di awal tulisan ini adalah salah satu hikmah dari kegiatan menulis yang penulis geluti sejak tahun 1989 hingga kini. Tidak salah bila orang bijak berkata, Apa yang anda petik hari ini adalah hasil dari apa yang anda tanam di masa lalu. Selamat berbahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H