Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hadiah Harian Kompas

30 Januari 2022   22:15 Diperbarui: 30 Januari 2022   22:20 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis


Hari Senin lalu, tanggal 24 Januari 2022, aku merasa lumayan kaget, walau bukan disebut dengan cultural shock, karena tiba-tiba menerima sebuah pesan whatsapp dari Harian Kompas. Pesan yang mengejutkan, karena sudah sekian lama aku tidak berkomunikasi dengan harian Kompas dan tidak mengirimkan tulisan ke harian Kompas. Jadi wajar terasa kaget ketika pada hari itu, tiba -tiba pesan berikut masuk ke gawai penulis yang isi atau content-nya seperti di bawah ini.

*Terima kasih atas kontribusi Anda.*

Melalui dukungan Anda sebagai penulis artikel Opini, Anda juga telah menjadi bagian dari perjalanan Harian Kompas.
Sebagai bentuk apresiasi, dapatkan akses Kompas.id selama 1 bulan tanpa dipungut biaya tambahan. Temukan beragam konten jurnalistik berkualitas untuk penuhi kebutuhan informasi harian 

Anda.
Klik di sini untuk klaim akses:
klik.kompas.id/oxxx

Itulah pesan itu. Mungkin di antara pembaca yang baik, juga ada yang menerima, mungkin juga tidak. Bila anda menerima pesan yang sama, berarti anda juga termasuk pada kategori orang yang dinyatakan telah ikut berkontribusi dan dukungan sebagai penulis artikel Opini dan dinyatakan menjadi bagian dari perjalanan Harian Kompas. 

Pesan yang merupakan wujud dari sebuah apresiasi dari Harian Kompas kepada orang-orang yang pernah atau masih terus berkontribusi, menulis atau juga kontributor foto dan sebagainya yang ikut menjadikan kontribusi tersebut sebagai bagian dari keajegan bahan untuk dipublikasikan di harian tersebut. Selayaknya, penulis juga berterima kasih karena Redaksi Harian Kompas masih tetap ingat akan orang-orang yang pernah atau sedang aktif berkontribusi di harian ini.

Kedatangan pesan ini pun bagi penulis bukan sekadar merasa senang, bahagia, bangga atau merasa dihargai, tetapi lebih jauh menjadi sumber inspirasi baru. Ya, I am really inspired to do something useful. Penulis termotivasi dan terinspirasi untuk menuangkan apa yang ada di dalam memory penulis yang berkorelasi positif dengan harian Kompas sejak dahulu hingga saat ini. Mengapa sejak dahulu? Ya, karena mengenal Kompas bukan hari ini, atau bukan kemarin, tetapi sudah puluhan tahun lamanya. 

Penulis sebelum membaca surat kabar daerah, seperti Harian Serambi Indonesia, terbitan Banda Aceh yang mulai pada tahun 1989, telah membaca harian Kompas pada tahun 1970 an. Paling tidak, sudah cukup lama menjadi penikmat bacaan, informasi, berita artikel, essay dan lainnya, termasuk mengisi TTS Kompas sejak itu.  

Jadi, sangat boleh penulis katakan bahwa Kompas juga telah ikut membantu dan berkontribusi tehadap upaya pengembangan diri (self- development) penulis dari sebagai penikmat atau pembaca yang bersifat receiptive menjadi penulis (productive) yang mengekspresikan pengetahuan, pengalaman, analisis dan solution terhadap sebuah fenomena atau realitas sosial yang menjadi concern penulis, walau tidak langsung menulis di Harian Kompas. Karena sebelum mengirimkan tulisan ke Harian Kompas, penulis memulainya di terbitan lokal, Aceh, lalu ke Sumetera Utara dan media lain di Jakarta yang kala itu disebut sebagai media nasional.

Setelah sekian lama, hanya menjadi penikmat sajian Harian Kompas, lalu ketika sudah memulai aktivitas menulis di media yang baru digeluti pada bulan Juni 1989 yang diawali dengan menulis opini di Harian Serambi Indonesia yang saat itu masih pada masa awal harian ini terbit, penulis mulai terdorong untuk mengembangkan sayap, ingin menulis di media nasional yang terbit di Jakarta. 

Kala itu, keinginan mengirimkan tulisan ke Kompas begitu besar, namun keberanian masih sangat kecil, sehingga untuk bisa mengirimkan tulisan ke Harian Kompas, penulis mencoba mengirimkan tulisan ke media cetak lain yang terbit di Jakarta, sembari terus mengirimkan tulisan ke media terbitan Medan, Sumatera Utara, seperti Harian Waspada dan Harian Analisa Medan. 

Penulis harus melatih diri di media yang ada di Aceh dan Sumatera saat itu. Sementara keberanian mengirimkan tulisan ke Harian Kompas masih terkubur lumpur. Mengapa begitu. Ya image media besar ini yang sering terdengar ya sulit tembus. Penulisnya adalah orang-orang yang mungkin bukan sekaliber penulis yang berada di ujung paling barat negeri ini. Wajar saja kalau apa yang ada di benak penulis serta kasak-kusuk di kalangan penulis lokal, sangat sulit untuk tembus atau berat masuk tulisan ke Kompas.

Dalam hal mengirimkan tulisan ke media cetak saat itu, kita memang tidak boleh cepat putus asa. Apalagi ke media nasional seperti Kompas. Nah, dengan semangat menulis yang terus diasah saat itu, penulis juga mencoba mengirimkan tulisan ke media nasional lainnya. 

Penulis masih ingat ada satu tulisan yang berjudul " Dosa Pemerintah Terhadap Madrasah" dimuat di Harian Republika pada tanggal 3 Oktober 2003. Lalu, penulis juga mencoba mengirimkan tulisan  berjudul " Ketika Pendidikan Semakin Elitis" ke media nasional lainnya, yakni Suara Pembaruan. Tulisan itu juga dimuat di Suara Pembaruan. Begitu bahagianya bisa menulis di media nasional saat itu. 

Padahal, untuk bisa tembus di media nasional terasa begitu berat. Tentu bukan karena media nasional yang membuat kita sulit menembusnya, tetapi sesungguhnya karena kualitas tulisan kita yang belum sesuai dengan persyaratan yang dibuat atau diberlakukan oleh masing-masing media tersebut.

Walaupun berat, bukan berarti tulisan kita tidak bisa masuk ke media nasional, tersebut, tulisan kita pasti akan dimuat bila sudah sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Apalagi bila semangat untuk bisa tembus pun terus bergelora dan kemauan untuk terus meningkatkan kualitas tulisan dan selalu aktual, media- media tersebut pasti akan memuatnya.  

Pengalaman penulis sendiri saat itu sudah lebih dari 20 kali mengirimkan tulisan ke Harian Kompas, namun hampir selalu mendapat email atau amplop pengembalian tulisan tersebut dengan alasan yang sudah jelas. 

Penulis tetap mencoba cari jalan untuk bisa hinggap di salah satu sudut halaman Kompas. Alhamdulilah, di tahun 2006, sebuah tulisan tentang pendidikan berhasil nyangkut di rubrik Didaktika dengan judul, Berjanjilah, Nanti Kutagih".Dimuatnya tulisan ini, menambah hangatnya semangat menulis.

Maka suatu ketika,  momen yang lebih dan sangat menggembirakan adalah ketika tulisan penulis yang penulis kirim  ke Kompas, hanya beselang dua hari, dua  tulisan itu langsung dimuat lagi di rubrik Opini Kompas pada tahun 2006 tersebut yang berjudul, " Kala Guru Seperti Buruh" . 

Penulis sangat ingat kala itu masih pukul 06.00 pagi di Aceh masih gelap, tiba-tiba Pak Eka Budianta menelpon dari Jakarta, sambil berucap, " Hebat kamu, tulisanmu dimuat di Kompas hari ini".  Ya, begitu bahagianya hati saat itu, karena tulisan itu pun banyak dibaca orang dan banyak kawan yang mengabarkan tentang tulisan tersebut.

Tentu saja bukan sekadar bahagia karena tulisan berhasil dimuat di rubrik Opini Kompas saat itu, namun kebahagiaan lain adalah ketika tulisan itu menjadi bahan perbincangan pembaca, yang bila melihat isi tulisan adalah tulisan yang berani mengeritik beberapa pihak, terutama terhadap Wakil Presiden, Yusuf Kala yang saat itu mengatakan soal guru seperti buruh. Sontak saja, kalau tulisan itu menjadi tulisan yang bernas dan membanggakan. 

Apalagi tulisan tersebut menjadi rujukan bagi banyak orang. Keindahan itu semakin membahagiakan. Dengan demikian, maka benarlah bahwa kegiatan menulis itu banyak sekali hikmahnya. Menulis, bukan hanya mendatangkan uang, tetapi jauh dari itu adalah kepuasaan batin yang bernilai lebih dari pada uang. Apalagi honor yang dibayar oleh Harian Kompas saat itu, bisa 10 kali lipat dibandingkan dari honor yang dibayar oleh koran atau surat kabar lokal.

Nah, sehubungan dengan kedatangan pesan WA dari Harian Kompas di awal tulisan ini adalah salah satu hikmah dari kegiatan menulis yang penulis geluti sejak tahun 1989 hingga kini. Tidak salah bila orang bijak berkata, Apa yang anda petik hari ini adalah hasil dari apa yang anda tanam di masa lalu. Selamat berbahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun