Sementara Andri dan kawan-kawannya hanya menyelesaikan pendidikan di sekolah luar biasa, SDLB, SMPLB dan SMALB, namun memilik kapasitas pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang sangat baik dan mandiri. Bisa membantu dirinya sendiri, juga bisa membantu teman senasib dan orang-orang yang memiliki fisik lengkap atau sempurna.
Kehebatan Andri dan beberapa temannya itu memberikan pemikiran bagi kita untuk berani menyimpulkan bahwa  anak-anak disabilitas yang mendapat pendidikan dengan baik, mereka sangat mandiri, walaupun mereka hanya menamatkan pendidikan di level sekolah menengah, bukan perguruan tinggi. Menakjubkan sekali.
Sayangnya, mereka yang berstatus disabilitas dan bisa mandiri ini, sering luput dari perhatian pemerintah, terutama pemerintah daerah, baik Provinsi maupun kabupaten dan kota. Mereka dibiarkan menjalankan aktivitas secara mandiri, tanpa mau memberikan apresiasi atas kesadaran, kemampuan dan kemauan membantu diri sendiri hingga tidak membebani orang tua dan pemerintah karena menyandang status disabilitas.
Ironisnya lagi, kita sering memperingati hari disabilitas dengan sangat serimonial itu, ternyata hanya kesadaran semu. Kita bukan hanya memperingati hari disabilitas baik nasional maupun internasional, yang kita sebut-sebut sebagai bentuk kepedulian atau membangun kesadaran, sekali lagi lebih bernuansa selebrasi dan seremonial.
Peringatan hari disabilitas nasional dan internasional tersebut, apakahn tujuan diperingati hari Disabilitas Internasional itu sekadar menunjukan rasa peduli? Apakah  tujuan peringatan yang dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat dunia tentang disabilitas, sudah membawa perubahan bagi kaum disabilitas di permukaan bumi ini?Â
Apakah pula sikap pemerintah yang sebelumnya tidak berpihak dan tidak ramah terhadap kaum disabilitas, kini sudah berubah dan memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada kaum disabilitas? Apakah pembangunan -- pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, sudah ikut memperbaiki nasib kaum disabilitas?Â
Dalam konteks Indonesia, ada berapa banyak kota di Indonesia yang sudah dapat dikategorikan sebagai kota yang ramah terhadap kaum disabilitas atau juga kaum difabel?
Â
Tentu banyak sekali pertanyaan reflektif yang bisa dipertanyakan dan direspon. Bila kita membaca berbagai pemberitaan mengenai nasib kaum disabilitas di berbagai media, kita menemukan begitu banyak cerita yang menggembirakan, juga yang menyedihkan. Bisa jadi masing-masing daerah sudah menyatakan kota yang dibangun sudah ramah disabilitas.Â
Jakarta sebagai barometernya dalam sebuah berita di Kompas.com edisi 8/3/19 memberitakan bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan 98 gedung untuk kegiatan pendidikan yang terdiri dari 95 sekolah, 2 asrama sekolah, dan 1 kantor Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang telah selesai direhab. Peresmian secara simbolis saat itu dilakukan di SDN Pondok Labu 01 Pagi, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (8/3/2019).Â
Anies memastikan gedung-gedung pendidikan yang direhab itu ramah terhadap penyandang disabilitas. "Insya Allah semuanya dirancang setara untuk semua. Jadi, ramah bagi penyandang disabilitas," ujar Anies. Bagaimana dengan kota-kota lain.
Bila pertanyaan ini kita tanyakan kepada pihak penguasa di level Kabupaten dan kota,pasti jawabannya sudah banyak sekali, sudah ramah disabilitas dan bahkan banyak membantu kaum disabilitas, walau sebenarnya kaum disabilitas tersebut melakukan self-Empowerment dengan usaha mereka sendiri.
Ada banyak cerita tentang pengabaian terhadap hak-hak kaum disabilitas di negeri ini, mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah ( negara) yang seharusnya secara affirmative memperhatikan dan memenuhi hak kaum disabilitas di negeri ini. Pendidikan untuk kaum disabilitas di level keluarga masih dianggap tidak begitu perlu, masih merasa malu menyekolahkan anak-anak mereka yang menyandang status disabilitas.Â