Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Disabilitas Bisa Lebih Mandiri

30 Desember 2021   23:35 Diperbarui: 30 Desember 2021   23:38 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memotivasi anak-anak disabilitas di sebuah SLB. Foto: Tabrani Yunis

Harusnya menulis soal disabilitas lebih pas atau cocok momentumnya di hari Disabilitas Nasional, maupun di hari disabilitas Internasional.

Ya, harusnya begitu, tetapi pada saat itu ternyata mood menulis sedang berada di titik nadir atawa titik terendah, sehingga keinginan menulis juga ikut padam. 

Padahal ide untuk menulis soal disabilitas sudah di pikiran, bahkan sudah ditulis di dalam catatan atau note. Bukan hanya sudah ditulis satu atau dua paragraf, namun karena hilang mood, akhirnya tinggal sebagai catatan kecil saja. Begitulah ya. Kadang menulis bisa dilakukan dalam waktu singkat, kadang pula bisa teekubur dalam sebuah catatan hingga tak tersentuh.

Nah, malam ini sambil menyeruput segelas Avocado Esoresso di sebuah warung kopi, Gerobak Arabicca Coffee yang terletak di Jalan Prof Ali Hasyimi, Pango Raya Banda Aceh yang hanya berjarak lebih kurang 50 meter dari POTRET Gallery, ide itu mencuat kembali ketika melewati sebuah usaha bengkel. 

Bengkel itu milik Andri yang berstatus sebagai lelaki tuna wicara. Ia tidak bisa berbicara seperti orang-orang normal, namun ia lebih cocok dikatakan sebagai disabilitas yang sempurna. Mengapa demikian?  Dikatakan demikian karena ia sesungguhnya memiliki kesempurnaan hidup, karena walau ia digolongkan sebagai sosok disabilitas, ia adalah sosok yang sangat mandiri.

Hebatnya Andri yang kini sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia dua tahun yang lahir dari rahim ibu yang juga tuna wicara. 

Andri membuka bengkel sepeda motor yang mempekerjakan pekerja dari kalangan disabilitas dan juga orang normal ( bukan disabilitas. Ia memiliki kapasitas atau kemampuan dan ketrampilan prima.

Bayangkan sajam seorang tuna rungu dan tuna wicara, bisa membuka bengkel yang tergolong maju. Bukan hanya itu yang ia bisa lakukan, tetapi juga bisa bertukang. Buktinya ia bisa menyemen lantai tokonya sendiri. Untuk anaknya? Ia mendidik anaknya dengan sangat baik.

Selain Andri, ada pula seorang tuna wicara yang juga temannya Andri. Lelaki bertubuh agak tinggi dan berambut pendek ini, setiap hari ia melakoni pekerjaan sebagai tukang parkir di sebuah cafe, Bambu Rotan, yang menjual nasi uduk. 

Cafe yang banyak dikunjungi orang yang ingin makan. Di sini, lelaki tuna wicara yang masih berusia muda dan memiliki satu orang anak dan satu istri yang juga disabilitas. Lelaki ini menjalankan aktivitas seharian sebagai tukang parkir. Pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak hanya sebagai tukang parkir, ia juga mengumpulkan kardus sebagai additional Income atau pendapatan tambahan sambil menjaga parkir.

Masih banyak lag teman Andri yang senasib, penyandang disabilitas, tetapi bisa mandiri. Tidak seperti kebanyakan orang yang tidak dikategorikan sebagai disabilitas, karena secara fisik lengkap dan sempurna, bahkan sudah sarjana dan menjadi penganggur. 

Sementara Andri dan kawan-kawannya hanya menyelesaikan pendidikan di sekolah luar biasa, SDLB, SMPLB dan SMALB, namun memilik kapasitas pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang sangat baik dan mandiri. Bisa membantu dirinya sendiri, juga bisa membantu teman senasib dan orang-orang yang memiliki fisik lengkap atau sempurna.

Kehebatan Andri dan beberapa temannya itu memberikan pemikiran bagi kita untuk berani menyimpulkan bahwa  anak-anak disabilitas yang mendapat pendidikan dengan baik, mereka sangat mandiri, walaupun mereka hanya menamatkan pendidikan di level sekolah menengah, bukan perguruan tinggi. Menakjubkan sekali.

Sayangnya, mereka yang berstatus disabilitas dan bisa mandiri ini, sering luput dari perhatian pemerintah, terutama pemerintah daerah, baik Provinsi maupun kabupaten dan kota. Mereka dibiarkan menjalankan aktivitas secara mandiri, tanpa mau memberikan apresiasi atas kesadaran, kemampuan dan kemauan membantu diri sendiri hingga tidak membebani orang tua dan pemerintah karena menyandang status disabilitas.

Ironisnya lagi, kita sering memperingati hari disabilitas dengan sangat serimonial itu, ternyata hanya kesadaran semu. Kita bukan hanya memperingati hari disabilitas baik nasional maupun internasional, yang kita sebut-sebut sebagai bentuk kepedulian atau membangun kesadaran, sekali lagi lebih bernuansa selebrasi dan seremonial.

Peringatan hari disabilitas nasional dan internasional tersebut, apakahn tujuan diperingati hari Disabilitas Internasional itu sekadar menunjukan rasa peduli? Apakah   tujuan peringatan yang dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat dunia tentang disabilitas, sudah membawa perubahan bagi kaum disabilitas di permukaan bumi ini? 

Apakah pula sikap pemerintah yang sebelumnya tidak berpihak dan tidak ramah terhadap kaum disabilitas, kini sudah berubah dan memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada kaum disabilitas? Apakah pembangunan -- pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, sudah ikut memperbaiki nasib kaum disabilitas? 

Dalam konteks Indonesia, ada berapa banyak kota di Indonesia yang sudah dapat dikategorikan sebagai kota yang ramah terhadap kaum disabilitas atau juga kaum difabel?
 
Tentu banyak sekali pertanyaan reflektif yang bisa dipertanyakan dan direspon. Bila kita membaca berbagai pemberitaan mengenai nasib kaum disabilitas di berbagai media, kita menemukan begitu banyak cerita yang menggembirakan, juga yang menyedihkan. Bisa jadi masing-masing daerah sudah menyatakan kota yang dibangun sudah ramah disabilitas. 

Jakarta sebagai barometernya dalam sebuah berita di Kompas.com edisi 8/3/19 memberitakan bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan 98 gedung untuk kegiatan pendidikan yang terdiri dari 95 sekolah, 2 asrama sekolah, dan 1 kantor Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang telah selesai direhab. Peresmian secara simbolis saat itu dilakukan di SDN Pondok Labu 01 Pagi, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (8/3/2019). 

Anies memastikan gedung-gedung pendidikan yang direhab itu ramah terhadap penyandang disabilitas. "Insya Allah semuanya dirancang setara untuk semua. Jadi, ramah bagi penyandang disabilitas," ujar Anies. Bagaimana dengan kota-kota lain.

Bila pertanyaan ini kita tanyakan kepada pihak penguasa di level Kabupaten dan kota,pasti jawabannya sudah banyak sekali, sudah ramah disabilitas dan bahkan banyak membantu kaum disabilitas, walau sebenarnya kaum disabilitas tersebut melakukan self-Empowerment dengan usaha mereka sendiri.

Ada banyak cerita tentang pengabaian terhadap hak-hak kaum disabilitas di negeri ini, mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah ( negara) yang seharusnya secara affirmative memperhatikan dan memenuhi hak kaum disabilitas di negeri ini. Pendidikan untuk kaum disabilitas di level keluarga masih dianggap tidak begitu perlu, masih merasa malu menyekolahkan anak-anak mereka yang menyandang status disabilitas. 

Sehingga, banyak anak disabilitas tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana layaknya anak-anak yang bukan disabilitas atau disebut normal tersebut. 

Alasannya macam-macam, malu hingga pada faktor kesulitan ekonomi. Biaya pendidikan anak-anak disabilitas dikatakan mahal. Hal ini terbukti dengan mahalnya media belajar bagi kaum disabilitas tersebut.

Padahal, bila anak-anak disabilitas mendapatkan pelayanan pendidikan yang ideal sebagaimana layaknya anak-anak lain yang tidak kurang apapun secara fisik, akan bisa membantu anak-anak disabilitas berdaya ( powerful) dan mandiri(self help), tanpa menggantungkan hidup sebagai disabilitas yang tak berdaya ( powerless) yang menjadi pengemis dan lainnya. 

Maka, idealnya kaum disabilitas perlu mendapat pendidikan yang optimal dan gratis dari negara. Bila ini dilakukan,maka akan banyak dari kalangan disabilitas yang bisa berkarya dengan baik. Penulis teringat suatu saat beberapa tahun lalu ketika mengikuti simposium mengenai disabilitas di hotel Le Meredien, Jakarta. 

Kala itu penulis menyaksikan sendiri sejumlah disabilitas yang memiliki kemampuan prima dalam simposium itu. Ada di antara mereka yang berpendidikan S2 dan S3. Jadi wajar saja, kalau kemampuan mereka berbicara bisa jauh lebih baik dan berkualitas. 

Maka, oleh sebab itu, sebenarnya bila kaum disabilitas mendapatkan pendidikan yang tinggi San berkualitas, mereka akan menjadi manusia-manusia yang mandiri dan bahkan membantu orang lain. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun