Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, diakui atau tidak, banyak fakta yang memaparkan bahwa minat membaca kaum milenial semakin rendah. Walau belum ada penelitian sekaliber UNICEF atau PISA, para guru bisa melakukan survei atau penelitian kelas masing-masing.Â
Bila ini dilakukan, pasti akan menemukan fakta yang memilukan dan membuat prihatin akan kondisi tersebut. Apalagi selama ini banyak pihak yang merasa prihatin dan menimbulkan rasa peduli dan kemamuan untuk berbuat atau berpartisipasi mengatasi kondisi buruk saat ini.
Ada banyak pihak yang telah terpanggil jiwa mereka, hingga mereka dengan sadar bangkit melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas atau kemampuan mereka. Majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas yang terbit di Aceh pada tahun 2001 dan 2013, merupakan upaya untuk membangun minat membaca dan menulis di kalangan perempuan, dan anak-anak di Aceh dan bahkan nasional. Bahkan hingga kini, walau edisi cetak sudah harus berakhir, versi online yakni potretonline.com, dan majalahanakcerdas.com masih tetap hadir berpartisipasi membangun gerakan literasi anak negeri.
Selain POTRET dan Anak Cerdas, ada banyak pihak pula yang merasa peduli dan terpanggil jiwanya untuk menyikapi masalah rendahnya minat membaca, atau dalam lingkup lebih luas lagi disebut rendahnya kemampuan literasi anak bangsa tersebut.Â
Penulis masih ingat dengan apa yang dilakukan oleh sejumlah pegiat literasi Aceh yang menyebut diri sebagai Forum Masyarakat Peduli  Literasi Aceh yang disingkat dengan Formula, mengadakan diskusi literasi Aceh  pada pagi Sabtu, 26 Januari 2019 di Seulawah Arabicca Gayo Coffee yang terletak di jalan Hasan Dek, Beurawe, Banda Aceh.
Kegiatan itu merupakan wujud nyata dari sikap keprihatinan dan kegalauan terhadap kondisi memburuknya kualitas minat baca di tengah masyarakat, termasuk masyarakat kampus. Jadi keprihatinan dan kegalauan tersebut muncul dalam presentasi pembicara dan penanya serta penanggap selama diskusi literasi Aceh yang bertajuk " Sejarah Yang Tak Tertuliskan", Â berlangsung sejak pukul 09.00 hingga pukul 12.15 tadi pagi Sabtu, 26 Januari 2019.
Bahkan penulis masih sangat ingat bahwa keprihatinan dan kegalauan tersebut pertama terungkap ketika Razuardi Essex, inisiator forum masyarakat peduli literasi Aceh (Formula), yang menginisiasi diskusi ini mengatakan bahwa kegiatan diskusi literasi Aceh ini dilakukan atas landasan rasa prihatin akan hilangnya literature, data-data tentang Aceh yang terlupakan dan dan tak tertuliskan.Â
Ditambah lagi dengan memudarnya minat masyarakat, termasuk orang-orang muda yang kini lebih suka beraktivitas dengan media digital.Oleh sebab itu, sontak saja Razuardi yang selama ini dikenal  berkiprah di bidang seni bersama Hendro Saky mengorganisir kegiatan diskusi ini dan terlaksana dengan sukses tadi pagi.
Mereka menghadirkan Rektor Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Prof. DR. Samsul Rizal, Azhari Aiyub dari Sekolah Menulis Dokarim, yang saat itu baru saja meluncurkan novel barunya, berjudul 'Kura-kura berjanggut", Â Bukan hanya Prof. Samsul Rizal, Rektor Unsyiah, juga Bung Alkaf yang dikenal sebagai penulis buku serta dengan mengundang Syamsul Kahar, pemilik koran Serambi Indonesia yang digantikan oleh Yarmen Dinamika.
Kala itu, Prof. Samsul Rizal yang berbicara usai dibuka oleh Lazuari Essex, memulai presentasinya dengan menyajikan beberapa data kemampuan dan budaya literasi bangsa kita, Indonesia yang notabene tertinggal jauh dengan bangsa- bangsa lain di dunia. Salah satunya, hasil riset yang dikeluarkan oleh UNESCO yang menempatkan kemampuan literasi Indonesia berada pada posisi ke 60 dari 61 negara itu.Â
Fakta lain yang memprihatinkan misalnya jumlah rata-rata orang Indonesia yang hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari 30-59 menit. Ini adalah data yang membuat hati kita teriris. Apa lagi kualitas SDM kita yang hanya rata-rata  kelas dua SMP itu.Â