Oleh Tabrani Yunis
Â
Semakin hari, semakin banyak orang atau pihak yang merasa galau dan prihatin dengan persoalan rendahnya minat baca, rendahnya daya dan budaya membaca masyarakat kita, baik di lembaga-lembaga pendidikan di semua level, maupun di kalangan masyarakat umum, bahkan termasuk para pendidik.Â
Bukan hanya prihatin, tetapi juga memalukan, bila dibanding dengan kemampuan dan budaya literasi di negeri orang lain, bahkan dengan Negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapore, Thailand, Philippine, dan lain-lain.Â
Rasa malu dan prihatin tersebut muncul ketika disebutkan bahwa budaya literasi bangsa Indonesia jauh tertinggal di belakang. Sebab, bila merujuk pada hasil riset yang dikeluarkan oleh UNESCO yang menempatkan kemampuan literasi Indonesia berada pada posisi ke 60 dari 61 negara. Ini beberapa tahun lalu. Bagaimana dengan saat ini?
Selain data UNESCO tersebut, tentu pula  banyak data lain yang menjelaskan betapa rendahnya budaya literasi bangsa kita, yang berdampak besar terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia yang jumlahnya sudah lebih kurang 270 juta jiwa ini.Â
Secara kuantitas membanggakan, namun secara kualitas membuat bangsa ini kelak bagaikan buih yang terapung-apung di atas air. Maka, wajar kalau kian banyak orang atau pihak, termasuk pemerintah yang merasa galau dan prihatin terhadap persoalan kemampuan literasi anak negeri ini. Sekali lagi, itu adalah kondisi sebelum pandemi.
Nah, bagaimana pula dengan kondisi saat ini, di tengah gegap gempitanya penggunaan gadget pada semua strata dan usia? Apakah dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang menyediakan banyak sumber bacaan itu, minat membaca masyarakat kita di semua lini semakin meningkat?Â
Bagaimana pula kondisi minat membaca masyarakat kita di tengah hempasan gelombang bencana pandemi Covid 19 yang banyak membunuh atau yang sangat disruptif ini? Pasti semakin parah, bukan?
Bisa jadi semakin parah, karena bila kita melihat realitas pada diri kita, pada anak-anak kita, keluarga kita serta di tengah masyarakat kita saat ini, semua terlena dengan gadget yang penuh dengan muatan -muatan yang bersifat hiburan atau entertainment yang menguras semua perhatian.Â
Walau Idealnya gadget dengan fasilitas Internet tersebut menyediakan segala macam bacaan yang tidak kalah menarik, karena disajikan dengan teknologi tinggi. Namun, bila kita kaji lebih dalam, apakah seluruh pengguna gadgets tersebut membaca dan meningkat minat membaca mereka?
Tampak tidak. Oleh sebab itu, perlu dilakukan survei atau sejenisnya.
Hal ini perlu dilakukan, sebab banyak pula pihak yang mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa minat membaca atau daya Baca masyarakat kita rendah saat ini itu keliru. Dikatakan demikian karena dalam penilaian pihak ini, cara membaca  kaum  milenial berbeda dengan generasi X atau generasi baby boomers.
Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, diakui atau tidak, banyak fakta yang memaparkan bahwa minat membaca kaum milenial semakin rendah. Walau belum ada penelitian sekaliber UNICEF atau PISA, para guru bisa melakukan survei atau penelitian kelas masing-masing.Â
Bila ini dilakukan, pasti akan menemukan fakta yang memilukan dan membuat prihatin akan kondisi tersebut. Apalagi selama ini banyak pihak yang merasa prihatin dan menimbulkan rasa peduli dan kemamuan untuk berbuat atau berpartisipasi mengatasi kondisi buruk saat ini.
Ada banyak pihak yang telah terpanggil jiwa mereka, hingga mereka dengan sadar bangkit melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas atau kemampuan mereka. Majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas yang terbit di Aceh pada tahun 2001 dan 2013, merupakan upaya untuk membangun minat membaca dan menulis di kalangan perempuan, dan anak-anak di Aceh dan bahkan nasional. Bahkan hingga kini, walau edisi cetak sudah harus berakhir, versi online yakni potretonline.com, dan majalahanakcerdas.com masih tetap hadir berpartisipasi membangun gerakan literasi anak negeri.
Selain POTRET dan Anak Cerdas, ada banyak pihak pula yang merasa peduli dan terpanggil jiwanya untuk menyikapi masalah rendahnya minat membaca, atau dalam lingkup lebih luas lagi disebut rendahnya kemampuan literasi anak bangsa tersebut.Â
Penulis masih ingat dengan apa yang dilakukan oleh sejumlah pegiat literasi Aceh yang menyebut diri sebagai Forum Masyarakat Peduli  Literasi Aceh yang disingkat dengan Formula, mengadakan diskusi literasi Aceh  pada pagi Sabtu, 26 Januari 2019 di Seulawah Arabicca Gayo Coffee yang terletak di jalan Hasan Dek, Beurawe, Banda Aceh.
Kegiatan itu merupakan wujud nyata dari sikap keprihatinan dan kegalauan terhadap kondisi memburuknya kualitas minat baca di tengah masyarakat, termasuk masyarakat kampus. Jadi keprihatinan dan kegalauan tersebut muncul dalam presentasi pembicara dan penanya serta penanggap selama diskusi literasi Aceh yang bertajuk " Sejarah Yang Tak Tertuliskan", Â berlangsung sejak pukul 09.00 hingga pukul 12.15 tadi pagi Sabtu, 26 Januari 2019.
Bahkan penulis masih sangat ingat bahwa keprihatinan dan kegalauan tersebut pertama terungkap ketika Razuardi Essex, inisiator forum masyarakat peduli literasi Aceh (Formula), yang menginisiasi diskusi ini mengatakan bahwa kegiatan diskusi literasi Aceh ini dilakukan atas landasan rasa prihatin akan hilangnya literature, data-data tentang Aceh yang terlupakan dan dan tak tertuliskan.Â
Ditambah lagi dengan memudarnya minat masyarakat, termasuk orang-orang muda yang kini lebih suka beraktivitas dengan media digital.Oleh sebab itu, sontak saja Razuardi yang selama ini dikenal  berkiprah di bidang seni bersama Hendro Saky mengorganisir kegiatan diskusi ini dan terlaksana dengan sukses tadi pagi.
Mereka menghadirkan Rektor Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Prof. DR. Samsul Rizal, Azhari Aiyub dari Sekolah Menulis Dokarim, yang saat itu baru saja meluncurkan novel barunya, berjudul 'Kura-kura berjanggut", Â Bukan hanya Prof. Samsul Rizal, Rektor Unsyiah, juga Bung Alkaf yang dikenal sebagai penulis buku serta dengan mengundang Syamsul Kahar, pemilik koran Serambi Indonesia yang digantikan oleh Yarmen Dinamika.
Kala itu, Prof. Samsul Rizal yang berbicara usai dibuka oleh Lazuari Essex, memulai presentasinya dengan menyajikan beberapa data kemampuan dan budaya literasi bangsa kita, Indonesia yang notabene tertinggal jauh dengan bangsa- bangsa lain di dunia. Salah satunya, hasil riset yang dikeluarkan oleh UNESCO yang menempatkan kemampuan literasi Indonesia berada pada posisi ke 60 dari 61 negara itu.Â
Fakta lain yang memprihatinkan misalnya jumlah rata-rata orang Indonesia yang hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari 30-59 menit. Ini adalah data yang membuat hati kita teriris. Apa lagi kualitas SDM kita yang hanya rata-rata  kelas dua SMP itu.Â
Kenyataan ini  di dunia kampus terlihat banyak mahasiswa yang jarang membaca dan menulis. Bukan hanya mahasiswa yang jarang menulis, tetapi juga kebanyakan dosen. Padahal, di era digital ini, di mana kita sudah masuk dalam era industry 4.0 yang penuh tantangan dan besarnya peluang apabila kita menguasai  data,  akan sangat menguntungkan kita dalam mengolah dan menggunakan data tersebut. Penguasaan data informasi yang cukup, hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kemampuan litarasi yang tinggi.
Namun, harus diingat pula bahwa literasi bukan hanya membaca, tetapi lebih dari itu adalah kemampuan untuk mengetahui, mengidentifikasi, menganalsis, hingga mencari solusi terhadap masalah hidup yang lebih baik.Â
Tingkat literasi masyarakat kita semakin rendah, kita meninggalkan semua sumber bacaan yang lengkap, seperti di perpustakaan di sekolah, di Universitas dan juga di perpustakaan-perpustakaan lain. Inilah gambaran keprihatinan dan kegalauan kita terhadap persoalan rendahnya minat membaca.
Melihat kondisi demikian, kita tidak cukup dengan hanya prihatin dan bersedih. Ini bukan masalah pribadi, tetapi masalah bangsa, masalah kewajiban negara dan bangsa. Oleh sebab itu, idealnya semua pihak mau bergerak membangun kemampuan literasi anak negeri. Semua orang bisa berperan. Bukan hanya guru, tetapi juga orang orang tua di rumah, masyarakat dan pemerintah harus bersinergi secara serius, konsisten dan berkelanjutan.
Lalu bagaimana dengan guru di sekolah? Tentulah guru bisa berperan lebih aktif di sekolah, walau tanggung jawab pertama dan utama ada di dalam keluarga. Namun, guru sebagai insan pendidikan yang selalu dekat dengan peserta didik di kelas dan juga di luar kelas, bahkan bisa lebih intens melakukan kegiatan-kegiatan literasi di sekolah. Sangat banyak cara yang bisa dilakukan oleh guru. Namun sangat penting didukung pihak sekolah dan pihak Dinas Pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.Â
Kegiatan literasi di sekolah, tentu tidak cukup dengan hanya melakukan aksi kampanye, mengajak anak membaca, tetapi harus sekalian memfasilitasi anak dengan bahan-bahan bacaan yang menarik serta kegiatan-kegiatan literasi yang bervariasi. Â
Untuk itu keterlibatan guru dalam membangun gerakan literasi menjadi sangat penting dan menjadi momentum untuk membangun gerakan literasi di tengah keprihatinan dan kegalauan akan masa depan generasi bangsa di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H