Oleh Tabrani Yunis
Tanggal 26 Desember  itu, kini menjadi tanggal yang tidak bisa dilupakan oleh masyarakat Aceh. Tentu saja bukan hanya masyarakat Aceh, tetapi masyarakat Indonesia dan bahkan masyarakat dunia. Karena pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu, Aceh, provinsi yang saat itu masih didera konflik polotik, berdarah dan sangat tertutup saat itu, tiba-tiba dilenda bencana yang sangat dahsyat.Â
Gempa bumi berkekuatan 8.9 SR yang diikuti gelombang tsunami itu meluluhlantakan sebagaian besar daerah pesisir Aceh yang menelan korban meninggal lebih dari 200.000 orang, serta menghancurkan semua infrastruktur. Dahsyat tragedi bencana tsunami tersebut merupakan sebuah bentuk perubahan yang sangat revolusif. Bahkan ada banyak orang yang mengira bahwa itu adalah hari kiamat. Tusnami Aceh pun menjadi nestapa yang sangat panjang dan tak terlupakan.
Setelah bencana itu, kemudian masyarakat Aceh khususnya dan mungkin juga masyarakat  Indonesia umumnya kembali mengenang  tragedy bencana tsunami yang memilukan, pada setiap tanggal tersebut. Setiap tahun, hingga kini, setiap tanggal 26 Desember dijadikan sebagai hari untuk mengenang tragedi yang memilukan itu.Â
Tahun ini, dua hari lalu, masyarakat Aceh memusatkan kegiatan acara mengenang tragedy itu dipusatkan di daerah Leupung, Aceh Besar, sebuah kecamatan yang kala itu lebih dari setengah jumlah penduduknya hilang dan meninggal akibat tsunami. Untuk memperingati dan mengenang kembali musibah tersebut, banyak cara orang untuk mengenangnya. Ya, pada peringatan 13 tahun bencana tsunami tersebut, banyak sekali cara orang mengingatnya. Ada kegiatan bersama yang dipusatkan di Leupung tersebut, ada pula dengan cara mengadakan zikir dan doa di masjid-masjid.Â
Pemerintah Aceh dalam hal ini bahkan menggelar acara zikir Internasional dengan menghadirkan ulama dari 5 negara, termasuk Ustad  Abdul Samad yang saat ini semakin dinantikan banyak orang.  Ada banyak yang datang ke kuburan massal untuk mengirimkan doa da nada pula dengan cara-cara lain, mengadakan acara simulasi bencana, hingga ada yang menggelar acara menari yang kemudian menuai kritikan. Pokoknya, masyarakat Aceh tetap mengenang dan berusaha untuk tidak melupakannya, karena ada kemungkinan orang Aceh akan banyak yang lupa akan bencana itu.
Bagi para penulis yang selama ini menggeluti dunia menulis, maka momentum ini juga menjadi momen yang tidak boleh dilupakan. Para penulis dari berbagai latar belakang, kompetensi dan perspektif, menulis banyak tulisan mengenai tsunami dan 13 tahun bencana tsunami tersebut. Tulisan-tulisan tersebut bisa kita simak dei berbagai media, cetak maupun online, tidak terkecuali Kompasiana.com. Ada banyak tulisan yang mengulas hal ini. Ini pertanda bahwa tidak selayaknya kita melupakan peristiwa itu.
Nah, bagi penulis, sebagai orang yang juga mengalami dan kehilangan orang-orang tercinta serta semua harta benda, setiap kali tanggal 26 Desember itu, ikut merasakan bagaimana gejolak hati dan dan jiwa. Nah, beberapa kali penulis melakukan kegiatan ziarah ke kuburan atau pusara, namun sejak dua tahun lalu, penulis tidak lagi mendatangi atau ziarah ke kuburan. Karena penulis saat itu tidak menemukan jasat anak-anak dan isteri, sehingga penulis tidak tahu di mana pusara mereka. Sama halnya seperti apa yang para yatim dan piatu di Pidie yang tidak tahu mau berziarah kemana.
Mungkin akan banyak yang bertanya, apakah penulis tidak berdoa dan merasa perlu ke pusara mereka? Pasti penulis punya alasan. Salah satunya adalah penulis tidak tahu dan tidak menemukan pusara mereka yang pasti. Sebagai seorang yang bergelut di dunia menulis, penulis pun  berniat untuk berbagi pada hari itu. Namun ada kala mood tidak bisa diajak kompromi.  Namun, seperti biasa, penulis suka merangkai kata-kata dalam untaian kata yang mungkin seperti dikatakan orang untaian itu adalah puisi. Entahlah, karena penulis bukan seorang penyair, namun tidak ada salahnya menyampaikan untaian kata itu sebagai pelipur lara. Ya, sebagai pengobat rindu terhadap anakku  almarhum kedua anakku, Albar Maulana Yunisa dan Amalina Khairunisa serta istriku Salminar, yang semuanya pergi kembali ke hadirat Allah dalam bencana itu. Inilah untaian kata yang aku gubah pada hari 13 tahun bencana tsunami itu.Â
Tiga Belas Tahun Tak Berpusara
Oleh Tabrani Yunis
Hari ini, tiga belas tahun sejarah kita
Tiga belas tahun kita terpisah raga
Tiga belas tahun kita tak bersua
Tiga belas tahun tak ada tawa
Tiga belas tahun itu kau dan ibu ada dalam jiwa
Kau pergi bukan untuk ku lupa
Kau pergi hanya raga
Karena jiwa kita selalu bersama
Sering ada dalam doa
Pada setiap rindu menyapa
Menyelinap dalam doa dan asa
Maafkan hari ini aku tak ke pusara
Seperti orang-orang datang berdoa
Bukan aku lupa
Aku tak pernah menemukan purasa
Walau sudah tiga belas tahun terus meraba
Maafkan kalau hari ini aku tidak mencarimu
Karena aku tahu Allah telah menyelamatkanmu
Tidak seperti aku galau tak menentu
Hingga suatu saat kita bertemu
Bila semua amal dan ibadahku mampu membawaku bersamamu
Banda Aceh, 26 Desember 2017
Tentu bukan hanya itu untaian kata yang pernah penulis rangkaikan, berikut merupakan nyanyian hati nurani yang merasa kehilangan orang-orang tercinta. Ya, aku mencoba mengirimkan mereka sepucuk surat. Walau aku tahu, mereka mungkin tidak pernah bisa membacanya. Â
Surat Cinta buat Anak dan istriku
Oleh Tabrani Yunis
Maafkan aku,
Kalau tak pernah menuliskan sepucuk surat cinta buat mu anak dan istriku
Bukan tak ada cinta nan membara
Bukan jiwa nan kekeringan
Bukan pula cinta semakin gersang
tak tumbuh dalam jiwa
tapi, anak-anak dan istriku
hari ini, tak pernah lagi cukup air mata tuk menorehkan kata
di warkah nan ku bentang di depan mata
tak cukup lagi kata tuk lukiskan
betapa sesungguhnya cintaku sangat dalam
pada bening mata mu
Betapa rindu menghujam sudut hati
pada ceria senda gurau mu
pada sapaan selamat datang
ketika pintu rumah kau buka dengan jemarimu
Maafkan aku, kalau tak mampu menuliskan surat cinta buat kalian, anak-anak
dan istriku
Tapi, wahai anak-anak dan istriku
hanya untaian doa yang kupanjatkan
keharibaan Allah
Ku mohon dapat disampaikan ke relung hatimu
sebagai ganti sepucuk surat cinta buat mu
Anak-anak dan istriku
yang telah pergi bersama catatan sejarah tsunami
Tabrani Yunis
Banda Aceh, 16 Mai 2005
Seringkali rindu itu sulit untuk diungkapkan. Sering tidak mampu melihat dengan mata telanjang dana menggunakan kaca mata plus atau minus, kecuali melihat dan merabanya dengan hati, karena hati bisa mendekatkan mereka. Lalu, hati menuangkannya dalam kata-kata seperti berikut ini.
 Â
Hari Rinduku
Oleh Tabrani Yunis
Â
Hari ini, kucoba benamkan rinduku dalam  ombak
Biar luluh bersama cintamu
Biar makin dalam
Menusuk kalbu
Hari ini,
Ku coba rangkaikan kata
Semoga jadi doa
Mengantarkan perjalanan kalian pulang ke rumah Ilahi
Hari ini, rindu semakin dalam
Kala wajah mu menjelma
Hiasi  pelupuk mata
Warnai dinding-dinding  hati
Hari ini,
Ku coba lupakan  semua keceriaan
Yang kau semai di sudut hati
Namun sanubari tak kuasa
Membuang keindahan yang pernah ada
Dan tak pernah terganti
Banda Aceh, 20 Mai 2005
Ada fenomena yang tidak biasa penulis alami. Setiap kali melihat laut, selalu saja muncul pertanyaan-pertanyaan yang bertanaya di mana anak-anak dan istriku. Bahkan aku pernah menangis ketika naik kapal laut kala menatap laut. Lebih parah lagi, penulis ikut membenci laut, padahal laut tidak pernah berbuat salah pada kita. Agar rindu dan rasa marah tidak meluap menjadi sesuatu yang membahayakan diri, maka penulis menuangkannya dalam beberapa untaian kata.
Pada Gumpalan Pasir Putih di Babah dua
Pada gumpalan pasir putih di babah dua
Ku ceritakan tentang luka menganga,
Tatkala  laut murka menerjang
ombak  dan gelombang menerkam alam
membawa serta nan ku cinta
Pada pasir putih nan ditampar-tampar gelombang di babah dua
ku mengadu tentang gelombang pasang membawa hilang
buah cinta yang ku sayang
Pada gelombang nan menjilat garis pantai di babah dua
Kubisikan tentang bulir air mata dan tangis lirih nan menyeka mata
Tatkala mata duka tak lagi mampu menatap relung hati
Yang kehilangan buah hati
Kepada ombak dan riak di babah dua kubertanya
Kemana gerangan tlah kau bawa dua buah cinta
Kemana kau bawa pendaming setia
Gumpalan pasir putih
Gelombang dan ombak di babah dua
Mengapa tak pernah rela berikan jawaban?
Banda Aceh 24 Oktober 2007
Suatu ketika, di kala sedang mengikuti training human right di Montreal, Canada di tahun 2012, tiba-tiba saat bangun pagi, kala mendengar suara burung yang bernyanyi di dahan, rasa rindu di waktu pagi datang menggelora. Naluri berkata, maka terungkaplah dalam untaian kata yang sangat singkat.
Rindu di Suatu pagi
Oleh Tabrani Yunis
Rinduku menggumpal
Pada seonggokan katayang pernah kau ucapkankala melanjutkan perjalanan abadidi suatu pagi
Kanada, 10 Juni 2012
Begitulah cara penulis melampiaskan rasa rindu pada mereka yang pernah menjadi bagian hidup selama hidup bersama. Meluapkan rasa rindu lewat tulisan, lewat untaian kata. Alhamdulilah, rasa rindu itu terobati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H