Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis Untuk Apa Sih?

11 November 2023   18:50 Diperbarui: 11 November 2023   18:55 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan penulis. Hobi juga bukan menulis. Mungkin bisa dikatakan, saya hanya penikmat tulisan.

Tulisan ini bukan panduan menulis. Jika Anda ingin tahu bagaimana cara menulis yang baik, sila cari dengan kata kunci. Ada banyak artikel lain tentang panduan menulis, bahkan cara untuk mendongkrak tulisan menjadi artikel utama pun tersedia.

Kali ini saya ingin sedikit bercerita hal tulis-menulis. Karena tayang di portal, maka anggaplah ceritanya secara umum tentang menulis di kompasiana (selanjutnya saya tulis K), kecuali disebut secara spesifik.

Sebelum bercerita lebih jauh, saya ingin mengangkat dua hal yang menarik perhatian akhir-akhir ini. 

Pertama tentang K-rewards (karewar), dan kedua tentang tampian jumlah viewer dengan ikon mata di kanan bawah gambar utama artikel.

Masalah karewar sebenarnya bukan terjadi kali ini saja. Seperti deja vu kalau membaca artikel tentang karewar. Dulu, saya tidak ingat berapa tahun lalu, polemik karewar sudah terjadi. Sebelum ini kalau tidak salah tentang artikel anime yang mendapat karewar cukup lumayan.

Maksud K mungkin baik. Memberi imbalan bagi penulis yang membantu K dalam bentuk menyumbang tulisan, dan menggaet banyak pembaca.

Banyaknya pembaca (atau setidaknya pengunjung) K tentu bagus untuk bisnis. Penulis senang mendapat duit (baca: reward), dan K juga terbantu dengan trafik yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan efek tambahan pendapatan, misalnya dari iklan.

Akan tetapi, kalau dari tahun ke tahun selalu saja ada masalah, mungkin "ramuan" untuk menentukan karewar kurang pas.

Tidak perlu belajar dari mbok penjual jamu untuk masalah ramuan. K hanya perlu meninjau kembali atau menemukan formula pas, agar karewar tepat sasaran. 

Apalagi terakhir K sepertinya "kecolongan" di karewar. Artinya memang ada "celah" yang perlu diperbaiki, agar orang tidak bisa memanfaatkannya. 

Di satu sisi, memang tidak ada sistem yang sempurna sih. Di sisi lain, kalau "celah" dibiarkan terus menerus, apa tidak takut "masuk angin" nantinya?

Mengenai ikon mata sebagai penanda jumlah viewer artikel juga sering jadi polemik. Ada pendapat beberapa kompasianer, kalau angka di ikon bukan dasar perhitungan, untuk apa ditampilkan?

Saya dapat mengerti keluhan ini. Analoginya, pastinya gondok jika waktu sekolah dulu, guru tidak memberi tahu berapa nilai untuk jawaban benar, dan berapa nilai untuk jawaban salah, berapa nilai untuk jawaban yang tidak sepenuhnya salah, tapi sebagian benar.

Akan tetapi saya juga mengerti perasaan K. Ceileh pakek perasaan. Siapa lu! Pacar bukan, sok ngerti (ini mungkin suara K).

Jika yang dipakai hitungan google analytics, maka agak runyam untuk menampilkan jumlah viewer secara real time. Sekarang saja sering bermasalah kok.

Harapan saya, dengan momentum 15 tahun K, mudah-mudahan ada perubahan (walaupun tidak perlu signifikan) tentang karewar dan tampilan viewer (ini sepertinya berhubungan dengan karewar sih).

Baiklah, sekarang saya ingin cerita tentang menulis.

Boleh kan kalau saya mulai dengan pertanyaan, apakah Anda merasakan bahwa menulis itu mudah? atau sebaliknya?

Jawaban tentu berbeda, berdasarkan banyak aspek. Lalu kalau pertanyaannya, mengapa menulis (di K)?

Tentu ada bermacam jawaban. Misalnya saja sebagai obat anti pikun, obat mengatasi kesepian, obat anti linglung, obat anti stres, obat awet muda, bahkan untuk obat kuat?

Beberapa orang mungkin berharap tulisannya masuk artikel pilihan, artikel utama, masuk ke nilai tertinggi, populer, keberuntungan karewar tiap bulan, viewer banyak, ingin dapat komentar yang lebih panjang dari artikelnya, dan sebagainya. Saya kira itu sah-sah saja.

Kita bisa menemukan beragam tulisan di K, karena anggotanya juga dari berbagai latar belakang. 

Meskipun semboyan K sudah berubah sejak tahun 2017 dari connecting and sharing, menjadi beyond blogging, namun kelihatannya slogan connecting masih kuat terasa.

Saat perubahan moto, Iskandar Zulkarnaen (COO kala itu) mengatakan ada 3 pilar beyond blogging. Yaitu, platform blog, pengolahan konten baik dan berkualitas, dan big data.

Tentang platform blog, tentu tidak perlu ada perdebatan. K memang portal jurnalisme warga (biasa), alias platform blog.

Akan tetapi, kita dapat berpolemik tentang konten baik dan berkualitas. 

Kualitas atas dasar apa, dan siapa yang menentukan itu? Apakah ada panduan, bagaimana artikel bisa dipandang berkualitas baik?

Sebagai portal warga, tentu tidak perlu ada kaidah penulisan se-level portal ilmiah dalam penulisan artikel. 

Salah satu syarat penting adalah, artikel menggunakan bahasa Indonesia. Boleh juga bahasa daerah, dengan terjemahan tentunya supaya orang mampu mengerti isinya. Artikel dengan bahasa Inggris pun saya kira tidak dilarang.

Curhat sedikit, sebenarnya belum lama ini saya melaporkan berita yang berkaitan dengan Jepang. Alasannya, ada beberapa deskripsi berdasarkan berita hoax. Akan tetapi tidak ada tanggapan sama sekali dari K. Artikel pun tetap ada sampai sekarang.

Mungkin laporan saya itu kualitasnya jelek, sehingga whoosh lewat begitu saja. Dari sini saya sedikit paham, bagaimana level kualitas yang diharapkan. Mungkin K bisa memberi saya sedikit "bocoran", bagaimana artikel yang berkualitas baik itu.

Kemudian tentang pilar terakhir big data, apakah ada arah dan tujuan jelas, bagaimana pemanfaatan jumlah 2,5 juta artikel (menurut statistik K dua tahun lalu)?

Mungkin sekali-kali jumlah dari jumlah artikel ini diolah, dan dibuat laporan misalnya artikel jenis apa terbanyak, kapan dalam sehari total anggitan artikel terbanyak, siapa yang membuat artikel terbanyak, dan sebagainya.

Atau big data ini dibiarkan begitu saja sebagai "pakan" gratis teknologi AI seperti ChatGPT yang sedang naik daun saat ini?

Beyond blogging bisa diartikan sebagai lebih dari sekadar blog. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin setara dengan istilah TTM (Teman Tapi Mesra). Teman, namun lebih dari sekadar teman.

Meskipun dari perspektif lain, dalam TTM posisinya mengambang alias nggak jelas. Teman bukan, pacar juga bukan. 

Jangan sampai, beyond pada beyond blogging statusnya juga mengambang alias nggak jelas. Apalagi, beyond yang diartikan jauh melampaui batas, jangan sampai kejauhan juga karena bisa nyasar!

Sebelum menutup tulisan, meskipun ini bukan panduan menulis, saya merasa hal penting yang perlu ada di tulisan adalah "ruh".

Dalam arti, pembaca sedapat mungkin dibuat agar mampu merasakan "fantasi", saat membaca rangkaian kata-kata yang berbaris bak gerbong kereta api.

Analoginya dengan kereta juga, tentu akan sangat mengasyikkan jika dapat menikmati pemandangan sekitar ketika bepergian dengan kereta api. Kalau tidak bisa menikmati pemandangan, misalnya Anda naik kereta api malam hari, tentu tidak mengenakkan, bukan?

Mau tidur, tetapi belum mengantuk. Mau lihat pemandangan, namun diluar hitam pekat tidak terlihat apa-apa. Tulisan tanpa "ruh" saya kira keadaannya sama seperti ini.

Anda mungkin punya ide banyak, dan ingin menyatukannya menjadi satu tulisan. 

Akan tetapi, menyambungkan berbagai macam ide menjadi satu alur menarik dan dapat membawa pembaca berfantasi merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Salah menggabungkan berakibat seperti benang kusut.

Seperti pidato Steve Jobs saat acara wisuda Universitas Standford tahun 2005. Connecting the dots, bisa dilakukan bila mencintai apa yang Anda lakukan.

Menyatukan (connecting) ide-ide cerita (dots) menjadi satu kesatuan, mudah dilakukan bila mencintai dan memahami apa yang Anda dilakukan. 

Anda dapat meniupkan "ruh", sehingga alur tulisan menarik dan membuat orang ingin membaca dan menikmati "gerbong kata", di kereta api yang anda kemudikan.

Saya berpendapat, menulis itu sama dengan fotografi. Perlu sense (saya tidak menemukan padanan kata tepat dalam bahasa Indonesia), untuk framing suatu peristiwa, dan menuliskannya dengan sudut pandang menarik.

Jika tidak, maka orang yang membaca atau melihat foto, seperti naik kereta api di malam gelap. Foto atau tulisan menjadi sama seperti berkas fotokopi, dibaca sekali kemudian ditumpuk dan ditaruh dalam laci atau di pojok ruangan gelap.

Anda bisa belajar bagaimana memberi ruh pada tulisan, melalui karya kesastraan klasik, dalam bahasa apa pun.

Saya gemar membaca kesusastraan Jepang era dahulu. Seperti tulisan Tanizaki Junichiro, Kawabata Yasunari, dan Mishima Yukio. Mereka ini piawai menggunakan ungkapan indah, yang membawa saya menikmati fantasi dalam setiap tulisannya.

Baik Tanizaki, Kawabata maupun Mishima, lihai menggunakan bahasa (Jepang), karena memang bahasa adalah unsur terpenting pada tulisan.

Tanpa pemahaman bahasa yang baik, bagaimana mungkin orang mampu menyampaikan gagasan (secara tertulis) kepada orang lain? Apalagi untuk sampai pada level membawa orang "menikmati" tulisan.

Sambil berjalan di suhu udara yang mulai dingin di Tokyo, saya terkadang memikirkan banyak hal. 

Maklumlah, jika suhu udara tidak dingin, tangan pasti memegang smartphone untuk membaca perkembangan dunia terkini. Agar tidak kudet saat ngobrol dengan teman sekerja pada jam makan siang.

Karena udara dingin, maka tangan pasti masuk saku celana, sambil mata memandang dedaunan mulai beganti warna. Sembari terkesima pemandangan inilah, terkadang pikiran melayang kemana-mana.

Saat seperti ini, ada satu pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya. Entah apakah Anda sudah ada jawaban, atau belum.

"Menulis, untuk apa sih?"

Selamat berakhir pekan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun