Akan tetapi, menyambungkan berbagai macam ide menjadi satu alur menarik dan dapat membawa pembaca berfantasi merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Salah menggabungkan berakibat seperti benang kusut.
Seperti pidato Steve Jobs saat acara wisuda Universitas Standford tahun 2005. Connecting the dots, bisa dilakukan bila mencintai apa yang Anda lakukan.
Menyatukan (connecting) ide-ide cerita (dots) menjadi satu kesatuan, mudah dilakukan bila mencintai dan memahami apa yang Anda dilakukan.Â
Anda dapat meniupkan "ruh", sehingga alur tulisan menarik dan membuat orang ingin membaca dan menikmati "gerbong kata", di kereta api yang anda kemudikan.
Saya berpendapat, menulis itu sama dengan fotografi. Perlu sense (saya tidak menemukan padanan kata tepat dalam bahasa Indonesia), untuk framing suatu peristiwa, dan menuliskannya dengan sudut pandang menarik.
Jika tidak, maka orang yang membaca atau melihat foto, seperti naik kereta api di malam gelap. Foto atau tulisan menjadi sama seperti berkas fotokopi, dibaca sekali kemudian ditumpuk dan ditaruh dalam laci atau di pojok ruangan gelap.
Anda bisa belajar bagaimana memberi ruh pada tulisan, melalui karya kesastraan klasik, dalam bahasa apa pun.
Saya gemar membaca kesusastraan Jepang era dahulu. Seperti tulisan Tanizaki Junichiro, Kawabata Yasunari, dan Mishima Yukio. Mereka ini piawai menggunakan ungkapan indah, yang membawa saya menikmati fantasi dalam setiap tulisannya.
Baik Tanizaki, Kawabata maupun Mishima, lihai menggunakan bahasa (Jepang), karena memang bahasa adalah unsur terpenting pada tulisan.
Tanpa pemahaman bahasa yang baik, bagaimana mungkin orang mampu menyampaikan gagasan (secara tertulis) kepada orang lain? Apalagi untuk sampai pada level membawa orang "menikmati" tulisan.
Sambil berjalan di suhu udara yang mulai dingin di Tokyo, saya terkadang memikirkan banyak hal.Â