Pikiran melayang ke masa-masa sekolah, saat melihat topil tentang pilihan ganda. Saya ingin ikut bercerita berdasarkan pengalaman, semasa masih menggunakan seragam celana panjang abu-abu.
Saya memilih pengalaman masa SMA selain karena paling berkesan, ini terutama menentukan atau paling tidak mendasari pengalaman belajar di tingkat selanjutnya.
Sedikit cerita tentang SMAnya, sebenarnya lokasinya tidak elit amat. Bayangkan saja, di dekatnya ada Depo Kereta Api Manggarai. Bisa dibayangkan betapa bisingnya keseharian di sana.
Gedungnya sekolah juga tidak megah. Hanya ada dua lantai kala itu. Kalau hujan deras, maka siap-siap sepatu basah karena pasti banjir. Selain dekat dengan Sungai Ciliwung, got di sekitar sekolah pasti mampat, sehingga air meluap kemana-mana.
Hanya ada satu saja keuntungannya, yaitu di lingkungan sekolah banyak sekali pohon besar, yang menjadikan lingkungan sekolah adem. Apalagi namanya sedikit keren, Taman Bukit Duri yang biasa kami sebut dengan singkatan Takitri.
Baiklah langsung saja ke pokok masalah. Dikatakan bahwa soal pilihan ganda tidak memicu atau mendorong orang untuk berpikir kritis.
Sampai disini dulu, saya belum paham. Bagaimana hubungan antara berpikir "kritis" dengan "pilihan ganda"? Saya menganggap ini dua hal yang berbeda.
Kritis adalah tidak mudah percaya, bisa juga tajam dalam penganalisisan, menurut KBBI daring. Sehingga berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis segala sesuatu, agar tidak mudah percaya begitu saja hal-hal yang didengar maupun dilihat.
Misalnya dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, seorang siswa yang berpikir kritis mampu berdiskusi dengan gurunya, jika sesuatu dianggapnya tidak masuk akal (baca: belum dimengerti). Guru dan murid kemudian akan bertukar pikiran, sampai ke titik temu masalah dan menyelesaikannya.
Berpikir kritis adalah suatu proses, yang tidak bisa terjadi begitu saja. Ada banyak hal yang menunjang, misalnya kebiasaan, lingkungan, dan lainnya. Disini saya tidak akan membahas secara detil satu per satu.
Sedangkan "pilihan ganda" adalah salah satu cara untuk evaluasi, seberapa jauh pemahaman seseorang atas suatu pokok pelajaran tertentu.
Saat mengerjakan pilihan ganda, tentu dibutuhkan proses berpikir. Namun, tidak juga diperlukan berpikir kritis disini.
Alasannya, berpikiran kritis seperti saya tulis sebelumnya, perlu ditunjang dengan dialog/diskusi dua arah. Bukan cuma satu arah.
Ini kan tidak mungkin, karena mana ada orang mau berdiskusi dengan kertas ujian yang notabene benda mati, saat ulangan pula? Bisa ditertawakan orang sekelas nanti.
Singkatnya, berpikiran kritis dan pilihan ganda itu lain dimensi. Berpikiran kritis pelu proses panjang dan perlu komunikasi dua arah, sedang untuk pilihan ganda hanya perlu pemikiran sendiri saja, dan waktunya juga singkat (terbatas).
Jika dikatakan pilihan ganda tidak menunjang pemikiran kritis, belum tentu juga.
Saya akan cerita pengalaman menjalani masa-masa "indah", di SMA yang sering kebanjiran seperti sedikit cerita diawal. Saya sebut indah (bukan nama orang lho), karena Anda pasti tahu bagaimana nano-nano nya masa SMA kan?
Guru-guru kami waktu itu, selalu mendorong murid-muridnya untuk bertanya dan berdiskusi. Saya mengalaminya di hampir di semua mata pelajaran.
Bahkan pernah 2 jam pelajaran penuh kami isi hanya dengan berdiskusi, karena topik yang diberikan oleh ibu guru sejarah saat itu sangat menarik.
Di pelajaran Matematika, kami juga sering berdiskusi dengan bahan buku Calculus karangan Purcell. Sering juga kami mengulik dari buku-buku tua pelajaran Aljabar tahun 70-an.
Saat pelajaran Fisika, kami sering berdiskusi menggunakan buku Schaum. Jarang sekali guru memakai buku pelajaran dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kala itu).
Saya merasa, guru-guru kami pandai mengakali (baca:memancing) siswa untuk berdiskusi. Kemudian kami sebagai murid, sangat menikmati proses belajar mengajar. "Menikmati" adalah kata koentji yang penting.
Kalau kita tidak menikmati prosesnya alias merasa tidak nyaman, maka bagaimana mungkin pembelajaran dengan cara berpikir kritis, dapat berjalan dengan baik? Iya, atau iya?
Ada tiga unsur penting untuk membentuk pola pikir kritis. Pertama guru sebagai penggerak/pendidik, kedua murid sebagai pelaksana/terdidik, dan ketiga komunikasi aktif antara keduanya.
Lalu, apakah tidak ada ulangan menggunakan pilihan ganda waktu SMA? Ada, bahkan banyak!
Saat ujian pilihan ganda, ada nggak yang hitung kancing baju atau pakai arah pulpen ketika jatuh digulirkan? Nggak ada!
Kenapa? Karena jika kita salah pilih atau asal-asalan memilih, maka bisa mengalami, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Alias, apes karena nilai bisa jadi minus.Â
Contoh untuk satu soal, kalau kita memilih pilihan dengan benar nilainya 3. Akan tetapi, jika kita melingkari pilihan yang salah maka nilainya minus 1. Kalau dibiarkan kosong saja, maka nilainya nol.
Jadi silakan gunakan kancing baju untuk ujian pilihan ganda. Kalau kancing baju lepas semua, atau malas menghitung, coba saja pilih A semua, atau B semua. Bisa tekor bandar karena nilai bisa jadi minus!
Pilihan ganda tidaklah tabu untuk dilakukan jika guru pandai menggunakan cara yang jitu. Entah pemaparan soalnya, entah cara pendekatannya, entah penghitungan nilainya (beri nilai minus kalau salah pilih), dan masih banyak lagi.
Dengan pengalaman proses belajar mengajar seperti itulah, maka kami sebagai lulusannya, sudah dibekali "sedikit" ilmu, untuk bisa berpikir secara kritis. Saya katakan sedikit karena proses ini harus berlangsung terus, terutama harus diteruskan saat belajar di pendidikan tinggi seperti universitas.
Kalau macet di tengah jalan, misalnya saat kuliah orang menjadi malas berproses dengan pemikiran kritis (entah karena lingkungan, fasilitas dan hal lain), maka sia-sia lah usahanya selama ini.
Sebelum menutup tulisan, ingin urun pendapat saja bahwa saya merasa kebanyakan masalah di Indonesia tidak diselesaikan esensinya.
Kalau masalahnya proses berpikir kritis, mungkin lebih tepat untuk memperbaiki proses belajar mengajar di sekolah. Entah meningkatkan kemampuan guru, memberikan stimulan yang tepat agar murid bisa berpikir kritis, dan masih banyak lagi jalan lain.
Bukan dengan menjadikan pilihan ganda sebagai kambing hitam. Karena kalau meniadakan pilihan ganda sebagai alat evaluasi, pasti menimbulkan masalah baru lagi.
Pengalaman semasa SMA, lingkungan memang berpengaruh besar pada proses belajar mengajar. Saya merasa beruntung karena bisa berada di lingkungan dengan orang-orang yang menjadi stimulan untuk belajar dan tentunya untuk berpikiran kritis.Â
Meskipun saat SMA saya harus lelah naik kereta KRL pulang pergi bercampur kambing, ayam, sayuran. Kami yang naik kereta bahkan punya panggilan "Anker, atau ANak KEReta!".
Saya bahkan pernah nyaris di-palak (dimintai uang secara paksa) anak-anak STM Manggarai karena saat pulang, saya berjalan ke arah Stasiun Manggarai, bukan ke Stasiun Tebet seperti biasanya.Â
Waktu itu saya lolos karena mereka melihat nama SMA, dan memang kami tidak pernah bermusuhan dengan sekolah manapun. Zaman saya sekolah, banyak sekali sekolah (terutama STM) yang tidak rukun sehingga sering terjadi tawuran.
Baiklah, saya ingin menutup tulisan dengan meniru lagu Maudy Ayunda, "untuk apa".
Untuk apa menutup lubang disini,
Namun lubang muncul di tempat lain.
Untuk apa lari dari esensi,
Labih baik langsung selesaikan pokok masalah.
Selamat berakhir pekan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI