Sedangkan "pilihan ganda" adalah salah satu cara untuk evaluasi, seberapa jauh pemahaman seseorang atas suatu pokok pelajaran tertentu.
Saat mengerjakan pilihan ganda, tentu dibutuhkan proses berpikir. Namun, tidak juga diperlukan berpikir kritis disini.
Alasannya, berpikiran kritis seperti saya tulis sebelumnya, perlu ditunjang dengan dialog/diskusi dua arah. Bukan cuma satu arah.
Ini kan tidak mungkin, karena mana ada orang mau berdiskusi dengan kertas ujian yang notabene benda mati, saat ulangan pula? Bisa ditertawakan orang sekelas nanti.
Singkatnya, berpikiran kritis dan pilihan ganda itu lain dimensi. Berpikiran kritis pelu proses panjang dan perlu komunikasi dua arah, sedang untuk pilihan ganda hanya perlu pemikiran sendiri saja, dan waktunya juga singkat (terbatas).
Jika dikatakan pilihan ganda tidak menunjang pemikiran kritis, belum tentu juga.
Saya akan cerita pengalaman menjalani masa-masa "indah", di SMA yang sering kebanjiran seperti sedikit cerita diawal. Saya sebut indah (bukan nama orang lho), karena Anda pasti tahu bagaimana nano-nano nya masa SMA kan?
Guru-guru kami waktu itu, selalu mendorong murid-muridnya untuk bertanya dan berdiskusi. Saya mengalaminya di hampir di semua mata pelajaran.
Bahkan pernah 2 jam pelajaran penuh kami isi hanya dengan berdiskusi, karena topik yang diberikan oleh ibu guru sejarah saat itu sangat menarik.
Di pelajaran Matematika, kami juga sering berdiskusi dengan bahan buku Calculus karangan Purcell. Sering juga kami mengulik dari buku-buku tua pelajaran Aljabar tahun 70-an.
Saat pelajaran Fisika, kami sering berdiskusi menggunakan buku Schaum. Jarang sekali guru memakai buku pelajaran dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kala itu).