Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

ChatGPT dan Rumpi

17 Juni 2023   20:18 Diperbarui: 17 Juni 2023   20:43 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(diolah dari DALL'E)

"Jeng, ayok kita kocok arisannya!"

Begitulah ajakan ibu-ibu, yang saya dengar saat liburan di Indonesia. Para ibu satu lingkungan kemudian berkumpul di depan rumah. Setelah semua berkumpul, salah satu dari mereka mengocok botol kecil berisi nama-nama, untuk menentukan siapa yang beruntung.

Selain riuh rendah ketika gulungan kertas keluar (artinya, momen keputusan atas siapa yang berhak membawa pulang uang arisan), rumpi adalah kegiatan yang tidak mungkin dilupakan.

Justru kalau boleh dikatakan, acara pokok dari arisan adalah rumpi. Bisa membawa pulang uang arisan itu anggap saja bagai mendapat durian runtuh.

Pada tulisan ini saya ingin bercerita, bahwa ChatGPT itu sebenarnya tidak berbeda jauh dengan rumpi lho.  

Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin bercerita sedikit tentang ChatGPT.

Baca juga: Bakso dan Metaverse

ChatGPT merupakan salah satu implementasi terbaru dalam teknologi pemrosesan bahasa alami (natural language processing/NLP) yang dikembangkan oleh OpenAI. Model ini menggunakan kecerdasan buatan untuk memahami dan menghasilkan teks dengan cara yang menyerupai interaksi manusia.

Basis dari ChatGPT sebenarnya sudah ditemukan oleh peneliti Google pada tahun 2017. Namanya arsitektur model transformer. Itulah  sebabnya ada nama GPT (Generative Pre-trained Transformer) disana.

Mekanisme model transformer adalah pemrosesan acak dan berlapis antara data yang berwujud kata-kata. Bagian relevan dari teks akan dicari dari berbagai kata secara acak dan paralel.

Ini berbeda dengan metode chat AI yang digunakan tahun sebelum 2017. Misalnya saat era booming AI ke-3 tahun 2000-an, umumnya menggunakan mekanisme hubungan antar kalimat berulang yang teratur (bahasa kerennya, recurring model).

Jika kita tilik lebih jauh, hasil dari ChatGPT terlihat natural karena saat pemrosesan, kalimat akan diurai menjadi kata, dan kemudian diurai lagi menjadi unit  lebih kecil disebut "token".

Satu kalimat utuh, dipenggal dalam beberapa token, yang bentuknya bisa berupa kata tunggal, pecahan suku kata, karakter huruf, tanda baca, dan sebagainya.

Kumpulan token kemudian diproses menggunakan model transformer, untuk menghasilkan kalimat sesuai dengan pertanyaan atau input pada antarmuka ChatGPT berbasis web (biasa juga disebut prompt).

Ada banyak proses lain yang tidak akan saya tulis karena nanti terlalu detail. Misalnya, untuk menghasilkan jawaban natural, perlu juga dilakukan penghitungan probabilitas untuk memprediksi token selanjutnya berdasarkan konteks.

Termasuk penggunaan parameter agar model dapat memprediksi dan memberikan jawaban yang bisa memberikan kesan alamiah, proses pelatihan menggunakan teks dalam jumlah besar, pengaturan kompleksitas, dan hal-hal lain.

Baiklah, kita kembali lagi pada pokok bahasan. Pada tulisan kali ini, saya akan menuliskan tiga kesamaan antara ChatGPT dan rumpi.

Pertama, ChatGPT dan rumpi itu sebenarnya sama-sama tergantung pada sumber data (lingkungan). Kita tinjau ChatGPT dahulu.

Untuk menghasilkan jawaban tepat dan alami, maka ChatGPT membutuhkan "latihan" untuk belajar pola-pola data (informasi) yang masing-masing berdiri sendiri dan tak saling berkaitan. Kemudian kumpulan sumber informasi sedapat mungkin berasal dari berbagai macam sumber.

Ini untuk menjamin bahwa jawaban nantinya tidak melenceng jauh, dan terutama tak condong kepada hal (pendapat) tertentu. Dengan kata lain, melalui sumber data yang lebih bervariasi dan independen, maka jawaban akan lebih objektif dan dapat diandalkan.

Kalau sumber data yang digunakan untuk latihan ternyata condong kepada hal tertentu (misalnya afiliasi politik tertentu) dan sumbernya juga tak variatif, maka jawaban tentu saja bisa tidak valid dan kurang dipercaya.

Sama halnya pada rumpi. Orang-orang yang merumpi pada lingkungan sama, cenderung mempunyai pola dan perilaku sama. Jika suka merumpi tentang gosip, maka kita hanya  mendapat hal-hal tentang gosip saja. Tidak ada lainnya.

Orang yang gemar merumpi dalam lingkungan dimana anggotanya variatif (misalnya, dari berbagai golongan, dan terutama selalu berpikiran positif), akan mendapat manfaat. Bukan itu saja, bahkan lingkungan positif dapat mengubah perilaku orang yang tadinya hanya berpikiran negatif, menjadi sebaliknya.

Kedua, ChatGPT dan rumpi itu sama-sama tidak terkontrol.

ChatGPT memang diciptakan oleh programmer. Mereka membuat segala macam proses dengan algoritma terstruktur. Programmer mampu mengontrol sampai batas mana nanti output (jawaban) yang bisa dibuat untuk pertanyaan tertentu.

Namun karena sifatnya yang self-learning, maka programmer tidak mempunyai kontrol penuh atas hasil akhir nantinya. Bisa saja terjadi, misalnya ada beberapa jawaban yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.

Begitu juga rumpi. Siapa sih yang dapat mengontrol orang merumpi? Anda bisa kena semprot nanti kalau coba-coba mengontrol, apalagi rumpian mak-mak.

Terakhir, verbalisasi merupakan koentji ChatGPT dan rumpi.

Jika kita ingin mendapatkan jawaban akurat dan berfaedah, kita harus mengungkapkan pertanyaan dengan kata-kata yang tepat. Jika tidak mampu verbalisasi dengan baik, maka jawaban ChatGPT menjadi tak akurat, bahkan tidak berguna.

Begitu juga dengan rumpi. Jika kita salah mengungkapkan sesuatu, atau pilihan diksi saat merumpi tidak tepat, maka bisa jadi lawan bicara menjadi tidak nyaman.

Suasana yang tadinya akrab pun, menjadi agak panas, bahkan apesnya berakhir pada pertengkaran.

Itulah tiga hal persamaan ChatGPT dan rumpi. Meskipun ada persamaan, namun saya pikir rumpi lebih unggul dibandingkan dengan ChatGPT.

Kenapa bisa berpikiran begitu?

Begini alasannya. ChatGPT hanya melayani metode tanya jawab berbasis teks. Saat ini ChatGPT belum mampu memberikan layanan multimodal. Dalam arti, kemampuannya belum bisa mengakomodasi pertanyaan dan memberikan jawaban dalam bentuk video, gambar, grafik dan suara.

Kalau rumpi? Kita tahu paling tidak ada suara, gambar/video (pergerakan orang) disana kan? Sudah lebih dari dua macam moda pada rumpian.

Apalagi jika kita berbicara tentang rumpian mak-mak. Pastinya seng ada lawan.

Apakah nanti orang-orang di OpenAI dapat membuat saingan, atau paling tidak bisa menciptakan chat dengan basis model rumpi transformer? Kita tunggu saja ya.

Selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun