Orang yang gemar merumpi dalam lingkungan dimana anggotanya variatif (misalnya, dari berbagai golongan, dan terutama selalu berpikiran positif), akan mendapat manfaat. Bukan itu saja, bahkan lingkungan positif dapat mengubah perilaku orang yang tadinya hanya berpikiran negatif, menjadi sebaliknya.
Kedua, ChatGPT dan rumpi itu sama-sama tidak terkontrol.
ChatGPT memang diciptakan oleh programmer. Mereka membuat segala macam proses dengan algoritma terstruktur. Programmer mampu mengontrol sampai batas mana nanti output (jawaban) yang bisa dibuat untuk pertanyaan tertentu.
Namun karena sifatnya yang self-learning, maka programmer tidak mempunyai kontrol penuh atas hasil akhir nantinya. Bisa saja terjadi, misalnya ada beberapa jawaban yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Begitu juga rumpi. Siapa sih yang dapat mengontrol orang merumpi? Anda bisa kena semprot nanti kalau coba-coba mengontrol, apalagi rumpian mak-mak.
Terakhir, verbalisasi merupakan koentji ChatGPT dan rumpi.
Jika kita ingin mendapatkan jawaban akurat dan berfaedah, kita harus mengungkapkan pertanyaan dengan kata-kata yang tepat. Jika tidak mampu verbalisasi dengan baik, maka jawaban ChatGPT menjadi tak akurat, bahkan tidak berguna.
Begitu juga dengan rumpi. Jika kita salah mengungkapkan sesuatu, atau pilihan diksi saat merumpi tidak tepat, maka bisa jadi lawan bicara menjadi tidak nyaman.
Suasana yang tadinya akrab pun, menjadi agak panas, bahkan apesnya berakhir pada pertengkaran.
Itulah tiga hal persamaan ChatGPT dan rumpi. Meskipun ada persamaan, namun saya pikir rumpi lebih unggul dibandingkan dengan ChatGPT.
Kenapa bisa berpikiran begitu?