Saya suka jalan-jalan. Entah dekat, entah jauh, yang penting bisa melupakan kepenatan jiwa dan raga setelah lima hari bekerja.
Menjauhkan diri dari kehidupan rutin sehari-hari dengan cara jalan-jalan membuat orang, bebas. Dalam arti, pada satu sisi, kita tidak perlu memikirkan hal-hal rutin seperti menyiapkan sarapan pagi, menyisir rapi rambut dan memakai baju formal, kewajiban menenteng tas agak berat karena berisi berkas kantor, laptop dan tetek bengeknya.
Pada sisi lain, jika jalan-jalannya ke daerah yang belum pernah saya kunjungi, maka akan timbul rasa khawatir. Perasaan ini terjadi karena rasa cemas, misalnya bagaimana nanti kalau tersesat? Atau mungkin rasa gelisah tidak dapat menemukan rumah makan, jika perut terasa lapar.
Perasaan bebas dan khawatir kelihatannya bertentangan. Akan tetapi, justru karena berlawanan itulah, maka jika keduanya menjadi satu, saya merasakan sensasi luar biasa mengasyikkan.
Tentu tidak adil jika sensasi itu saya nikmati sendirian, bukan? Oleh karena itu, saya akan bercerita tentang Jepang (termasuk pengalaman jalan-jalan), melalui foto-foto yang saya ambil.
Sebelum meneruskan lebih jauh, saya ingin mengingatkan agar tidak dituduh PHP (pemberi harapan palsu).
Cerita saya sudah pasti tidak sehebat Isabella Bird, seorang pengembara, fotografer dan penulis. Dia berkelana ke pelosok Jepang dan menuliskan pengalamannya dalam buku "Unbeaten Tracks in Japan: Travels of a Lady in the Interior of Japan".
Pemahaman saya tentang Jepang tidak sedalam Lafcadio Hearn. Dia banyak menulis pengalaman hidupnya, juga hal-hal yang berhubungan dengan Jepang, terutama tentang cerita alam gaib.
Mungkin Anda pernah membaca cerita-cerita alam gaib Jepang yang ditulis pada era Meiji oleh orang bernama Koizumi Yakumo. Ini adalah nama Hearn, setelah naturalisasi menjadi warga negara Jepang. Sebagai catatan, pemakaman Zoshigaya di Tokyo adalah tempat peristirahatan terakhirnya.
Oh ya, saya mencatut kata jepangologi dari japanology. Hanya saja ada sedikit perbedaan dari istilah asal. Yaitu, tidak ada hal keilmuan yang ingin saya ceritakan.
Semua cerita berdasarkan pengalaman pribadi, Â obrolan dengan orang Jepang, maupun dari koran dan buku-buku yang pernah saya baca. Singkatnya, anggap saja cerita saya ini sifatnya trivia alias remeh-temeh.
Baiklah, kita mulai saja cerita dari foto pertama. Ini saya abadikan di game center lawas di Tokyo.
Boleh jadi Anda mengira mayoritas masyarakat Jepang itu serius. Ada anggapan bahwa mereka tidak memiliki sifat humoris sedikit pun.
Tidak ada yang salah sebenarnya jika beranggapan demikian. Saya mengamini pendapat itu, setidaknya untuk urusan pekerjaan.
Lain cerita jika kita berbicara urusan keseharian diluar pekerjaan. Usai bekerja, misalnya ketika berbincang di perjalanan pulang ke rumah, atau saat bermain di akhir pekan, mereka termasuk orang yang gemar humor juga lho.
Memang tidak semua orang Jepang suka humor, namun sebagian besar teman Jepang saya, suka humor.
Nah, game center seperti pada foto adalah satu bukti bahwa orang Jepang itu tidak selalu serius. Selain menciptakan gim (tentu Anda tahu konsol gim Nintendo dan Play Station), mereka gemar main gim pada saat luang.
Tahun 80 sampai dengan 90-an adalah era keemasan gim. Saat itu, selain game center menjamur, kafe juga menyediakan mesin gim berbentuk meja.
Alasannya, dengan bentuk meja, maka selain dapat berfungsi sebagai tempat untuk menaruh makanan atau minuman, sekaligus orang bisa bermain gim. Contoh permainan yang tren saat itu adalah, gim space invader. Mereka main gim ini, sambil menyeruput kopi maupun teh di kafe favorit masing-masing.
Dulu ada banyak tempat yang menaruh mesin gim lawas seperti pada foto. Sayangnya, saat ini hanya tersisa beberapa diantaranya di Tokyo. Misalnya di Akihabara, Nakano dan Odaiba.
Jika biasa main gim terutama yang jadul, Anda pasti dengan mudah mengenali dua mesin pada foto.Â
Ada gim Street Fighter II (suto-tsu dalam bahasa Jepang) dan gim Puyo-puyo di sebelahnya. Kedua gim ini tenar di Jepang pada zamannya.
Berikutnya adalah foto keramaian orang di stasiun Shinjuku (selanjutnya saya tulis Shinjuku saja). Saya yakin Anda sudah pernah mendengar atau bahkan punya pengalaman mengunjungi tempat ini.
Foto saya ambil malam hari, sekitar pukul 21:00. Sebagai tambahan, saat pagi, siang dan sore pun, keramaian orang tidak jauh berbeda.
Data tahun 2019 menunjukkan bahwa ada sekitar 3,5 juta orang lebih menggunakan stasiun Shinjuku dalam satu hari. Bisa dibayangkan betapa padatnya Shinjuku kan?
Ini dapat dimaklumi karena selain sebagai salah satu pusat perkantoran di Tokyo, Anda bisa menemukan berbagai macam tempat hiburan dan berbelanja di Shinjuku.
Mari kita lihat apa yang tersedia disana berdasarkan pintu keluar dari stasiun kereta.
Di area sekitar pintu keluar timur, ada banyak toko, restoran, bahkan tempat hiburan. Salah satu pusat perbelanjaan terkenal adalah Isetan. Dari pintu timur juga, Anda bisa pergi ke pusat hiburan yang ramai dan paling terkenal terutama pada malam hari, yaitu distrik Kabukicho.
Jika Anda ke sana, jangan lupa untuk mengunjungi juga satu area yang disebut Golden-gai. Di sini Anda dapat menikmati suasana retro bak zaman keemasan Showa.
Jika keluar dari pintu barat, Anda bisa melihat banyak gedung perkantoran. Misalnya gedung perkantoran Mitsui, Sumitomo, dan Nomura.
Kantor Pemerintahan Kota Tokyo yang sekarang dikepalai oleh Koike Yuriko, bisa diakses dari pintu barat. Ada ruang observasi gratis di tingkat teratas gedung ini lho.Â
Dari ketinggian gedung, pemandangan kota Tokyo dapat dinikmati. Kita seperti melihat miniatur Tokyo, dengan bangunan kecil disekeliling dan mobil mini berjalan secara teratur diantaranya. Bahkan jika cuaca cerah, Anda bisa melihat Gunung Fuji.
Sebagai pusat bisnis, selain gedung perkantoran, di sekitar pintu barat ada banyak hotel. Salah satunya adalah Hotel Keio Plaza. Hotel ini merupakan hotel tertinggi pertama yang dibangun di area ini, sebelum keberadaan hotel lain.
Di pintu selatan, ada stasiun bus yang bisa membawa Anda ke seantero tujuan di Jepang. Saya mengambil foto di sini, dimana Anda dapat melihat stasiun kereta di kiri dan Shinjuku Busta (nama gedung stasiun bus) di sebelah kanan.
Jika ingin berbelanja di area selatan, Anda bisa pergi ke Takashimaya. Kalau mau jalan-jalan dan menghindar dari keramaian sambil menikmati suasana bekas tempat peristirahatan kaisar yang dibangun sejak era Edo, maka Taman Shinjuku Gyoen adalah jawabannya. Dari pintu selatan, tempat ini dapat dicapai dengan jalan kaki sekitar 15 menit.
Shinjuku memang tidak mungkin dipisahkan dengan keramaian karena latar belakang sejarahnya. Daerah ini merupakan perhentian pertama saat bepergian dari Nihonbashi ke arah Kofu (sekarang disebut sebagai Prefektur Yamanashi) melalui jalur yang disebut Koushu-kaido.
Dahulu orang bepergian menggunakan kuda atau berjalan kaki. Pergi boleh dimaknai untuk keperluan administrasi/pemerintahan, bisa juga untuk melakukan bisnis seperti berdagang (distribusi barang).
Pada zaman kapan pun dalam kehidupan sehari-hari, pasti tidak dapat terlepas dari kegiatan bisnis dan administrasi. Anda bisa menyaksikan tingkah perangai para pelaku bisnis dan administrasi sekaligus, saat berkunjung ke Shinjuku.
Foto terakhir pada edisi pertama jepangologi, saya ambil di daerah Asakusa.
Ada dua hal yang ingin saya ceritakan melalui foto. Pertama tentang keseharian di Asakusa, dan kedua tentang uang 100 yen yang dibuat saat Olimpiade berlangsung di Tokyo tahun 1964 (koin pada foto).
Anda tentu tidak asing lagi dengan Asakusa, terutama mengenai kuil terkenal yang berlokasi disana.
Jika membaca buku, majalah, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan Jepang, maka foto lampion besar berwarna merah banyak diambil sebagai ilustrasi.
Lampion (cho-chin) tergantung di gerbang utama menuju Kuil Sensou-ji. Gerbang dengan lampion merah yang biasa Anda lihat di buku atau artikel mengenai Jepang, mempunyai nama lengkap fuuraijin-mon. Tulisan merah pada lampion dibaca kaminari-mon.
Nama fuuraijin-mon, diambil dari patung yang diletakkan di sebelah kiri dan kanan pintu gerbang. Ada patung dewa angin (fuujin) dan di sebelahya ada patung dewa petir (raijin).
Asakusa dan Kuil Sensou-ji tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat saat itu, sejak didirikan sekitar 1400 tahun lalu. Daerah ini terutama mempunyai peran penting sebagai pusat kebudayaan.
Contohnya, ada banyak bangunan seni pertunjukan di sana. Banyak juga tempat minum teh yang dibuka di sekitar Asakusa.
Potret keseharian orang-orang di Asakusa, termasuk berbagai kegiatan seni yang berlangsung, banyak dilukis oleh seniman ukiyo-e terkenal. Salah satunya adalah karya Utagawa Hiroshige yang berjudul "Meisho Edo-hyakkei".
Bahkan kabarnya, Shogun ke-8 Tokugawa Yoshimune, pernah mampir untuk menikmati pertunjukan seni di Asakusa, sepulangnya dari acara berburu.
Sisi unik dari area Asakusa adalah, keseharian pada era Edo, masih bisa Anda rasakan sampai saat ini.Â
Anda dapat menikmati hidangan di restoran yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Sambil berjalan-jalan, Anda dapat juga menikmati camilan khas Asakusa, yang digemari oleh orang-orang di era Edo.
Kebiasaan orang membeli oleh-oleh khas Jepang seperti kipas bergambar Gunung Fuji, bahkan menikmati hiburan di sekitar area Rok-ku, bisa Anda alami sampai sekarang.
Terakhir, tentang uang logam 100 yen cetakan tahun 1964.Â
Saya membeli uang ini di toko yang menjual koin, uang kertas dan perangko lawas di daerah Nakano. Harganya kalau saya tidak salah ingat, sekitar 1000 yen.
Tahun 1964 bukan hanya momen penting bagi Jepang sebagai negara, namun juga bagi rakyatnya. Dengan terselenggaranya olimpiade pertama di Asia, mereka  bisa menunjukkan bukti kesuksesan ekonomi dan teknologi kepada dunia, setelah keterpurukan pada Perang Dunia ke-2.
Ekonomi yang melaju cepat mengakibatkan hal positif yaitu naiknya taraf hidup rata-rata orang. Bukan itu saja, peluncuran kereta api super cepat Shinkansen saat dilangsungkannya olimpiade, merupakan bukti awal kedigdayaan Jepang di bidang teknologi.
Kehidupan sehari-hari rakyat Jepang saat itu juga berubah. Televisi, pendingin ruangan dan mobil merupakan tiga barang yang digemari masyarakat  Jepang.Â
Dengan berlangsungnya olimpiade di Tokyo, penjualan televisi berwarna yang merupakan teknologi baru saat itu, naik secara drastis!
Begitulah sekelumit cerita tentang Jepang, sekaligus kehidupan sehari-harinya, berdasarkan tiga foto yang saya sajikan.Â
Seperti sudah saya tulis sebelumnya, jejak kehidupan masa lalu, masih dapat kita temukan di Jepang (terkhusus di Tokyo). Nampaknya nostalgia masa lalu memang digemari orang Jepang.Â
Saya kira hal ini ada sisi positifnya juga. Salah satunya adalah, mereka tidak merasa puas dengan pencapaian masa lalu, sehingga masyarakatnya terus bekerja giat.
Karena hasil dari kerja keras, tentu akan mempunyai efek yang signifikan, bukan saja bagi kemajuan negara.Â
Akan tetapi, bisa kita lihat dari kemudahan dan kepuasan, saat melakukan berbagai macam aktivitas setiap hari.
Sampai bertemu kembali pada cerita berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H