Mungkin Anda bingung dan bertanya dalam hati. Mengapa nama pada cerita sejarah dan sepintas tidak ada hubungannya dengan makanan, namun diceritakan sebagai cerita kuliner?
Ya, Anda tidak salah kalau bingung. Saya pun pertama kali bingung.
Ternyata makanan jingis-kan (begitu cara orang Jepang melafalkannya) adalah daging kambing yang dimasak dengan kuah kecap encer manis, dicampur sayuran taoge, paprika dan bawang bombai.
Daging umumnya digunakan dari kambing muda. Perbedaan yang bisa dirasakan dibandingkan saat menyantap satai kambing di kampung halaman, saya tidak mencium bau khas kambing.Â
Saya tidak tahu persis alasannya, mengapa daging kambingnya tidak berbau.
Tentu tidak perlu diceritakan lagi bagaimana enaknya daging kambing. Sebagai orang Indonesia, besar kemungkinan Anda pernah merasakannya.
Kalau mau menuliskan, mungkin satu saja perbedaannya. Ada sensasi berbeda ketika makan daging kambing dicampur saus encer coklat manis dan dimakan langsung dari teppan (alas penggorengan besi).
Suara daging kambing, bercampur dengan sayuran dan saus mendidih di atas teppan, bak orkestrasi di balik panggung yang mengiringi kita menyantapnya.
Alasan tentang bagaimana suhu badan bisa naik sesudah makan daging kambing, mungkin tidak perlu ditulis karena sekali lagi, Anda pasti pernah mengalaminya.
Momen badan terasa panas, ditambah sensasi perbedaan suhu badan dan suhu sekitar, hanya bisa dirasakan dengan makan jingis-kan di musim dingin!
Bahkan saya harus mencopot jaket luar saat meneruskan perjalanan setelah menikmati jingis-kan, karena badan terasa amat panas dan berkeringat.