Penggunakan hashtag ini menurut saya mencerminkan ketidakpercayaan diri. Tariki-hongan (bergantung pada kekuatan lain, dalam hal ini hashtag) kalau pakai istilah bahasa Jepang.
Setelah sedikit kritik (sedikit saja ya biar nggak sakit perut), sekarang saya mau usul.Â
Apakah ada rencana kompasiana untuk membuat versi metaverse dari blog keroyokan kita ini? Siapa tahu dengan cara itu, ada lebih banyak pembaca, terutama orang muda yang tertarik untuk mampir. Syukur jika mereka bisa ikut bergabung dan membagikan tulisan disini.
Usulan itu berdasarkan contoh kasus di Jepang. Sekolah versi metaverse di Saitama, ternyata bisa menarik anak-anak yang punya masalah pergi ke sekolah di dunia nyata. Metaverse dapat memberikan stimulan efek positif bagi anak-anak, sehingga mau mengikuti pendidikan yang diperlukan untuk masa depan mereka.
Blog keroyokan seperti kompasiana dibuat dalam versi metaverse mungkin terasa agak berlebihan. Boleh dibilang itu diluar kebiasaan yang berlaku.
Tentu saya tidak menafikan pendapat tersebut. Jika saya kembali pada masalah mekanika kuantum lagi, seorang Einstein pun berpendapat bahwa teori kuantum merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima dengan akal sehat. Kuantum itu suatu hal aneh, ungkap penggagas teori relativitas itu.
Akan tetapi, dibandingkan dengan menggukanan slogan (hashtag) pasaran yang tidak ada (tidak terasa) bentuk nyatanya, membuat suatu hal yang belum dilakukan oleh platform lain di Indonesia (dalam hal ini kompasiana versi metaverse), merupakan hal yang layak dicoba.
Bukankah begitu kompasianer yang budiman?
Selamat ulang tahun ke-14 kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H