Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Akankah "Digital Medicine" Menjadi "Best Medicine"?

27 Juni 2020   08:00 Diperbarui: 27 Juni 2020   16:29 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perusahaan Startup Medis Cure App yang membuat Obat Digital (nikkei.com)

Laughter is the best medicine

Kita mungkin sudah tahu bahwa tertawa (secara umum kita bisa mengatakan, hati yang bahagia) adalah obat yang mujarab untuk segala macam penyakit.

Sayangnya, zaman sekarang kita sudah sangat jarang tertawa. Mudah-mudahan, tertawa belum menjadi hal yang dilarang dalam tatanan new normal nanti.

Boro-boro tertawa. 

Kita sekarang lebih mudah menjadi geram saking seringnya berkutat dengan smartphone, karena terkadang menemukan berita aneh dan bahkan berita yang kebenarannya masih bisa dipertanyakan.

Walaupun hal tersebut tidak secara otomatis menutup kemungkinan, bahwa benda kecil ajaib itu dapat digunakan juga untuk menonton sesuatu yang bisa membuat Anda tertawa.

Tetapi jangan khawatir. Walaupun tidak bisa membuat kita tertawa, ternyata smartphone bisa digunakan untuk membantu penyembuhan.

Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang (MHLW) pada tanggal 19 Juni yang lalu memberikan persetujuan untuk peredaran obat digital bagi pengobatan kecanduan nikotin (rokok).

Cure App adalah nama perusahaan startup dalam bidang medis yang mengembangkan, atau menciptakan obat digital tersebut.

Kenapa disebut obat digital? Karena obat ini wujudnya adalah aplikasi, yang di-install pada smartphone pengguna (atau lebih tepat disebut pasien).

Sebelum saya bercerita lebih jauh tentang obat digital ini, mari kita cek kembali bagaimana obat yang selama ini kita kenal.

Hampir bisa dipastikan bahwa Anda mempunyai obat yang disimpan di rumah bukan? Bisa Anda ambil dan kemudian lihat kembali, saya yakin ada berbagai macam bentuk obat yang bisa ditemui.

Ada obat yang berbentuk cair, kemudian ada juga obat padat berupa tablet atau pil.

Ingatan melayang ketika masih kecil, saya sering menangis saat disuruh minum obat yang berbentuk puyer karena selain susah untuk diminum (sering menyebabkan saya terbatuk), rasanya itu lho, pahit pol!

Dalam Bahasa Jepang, kata kusuri yang artinya obat, mempunyai komponen huruf Kanji yang artinya dipotong atau diiris halus. Karena zaman dahulu saat huruf Kanji itu dibuat, umumnya obat berasal dari potongan atau irisan tumbuhan.

Jadi secara umum, kita selama ini tahu bahwa obat itu berwujud. Sehingga kita bisa menggunakan obat itu dengan cara mengoles, menyuntikkan, meminum atau menghirupnya.

Sekarang kita cek bagaimana obat digital.

Karena wujudnya adalah aplikasi, tentu cara penggunaannya adalah tidak dengan menelan smartphone yang berisi program itu kan?

Sebenarnya cara penggunaan obat digital amat mudah. Dan saya yakin Anda yang terbiasa bermain dengan smartphone bisa melakukannya.

Pasien bisa menjalankan program, kemudian memasukkan apa yang dirasa ketika ada keinginan yang kuat untuk merokok pada aplikasi obat digital.

Kemudian program akan memproses masukan itu menggunakan teknologi AI (Artificial Intelligence) dengan referensi data keadaan pengguna dan data dasar yang sudah dimasukkan pada aplikasi.

Data dasar diperoleh dari hasil penelitian maupun percobaan yang dilakukan atas pengamatan perilaku seseorang yang kecanduan merokok.

Sebagai output, contohnya obat digital bisa memberikan anjuran agar pasien berolah raga untuk menghilangkan keinginan merokok. Atau menganjurkan agar pasien memakan permen untuk mengurangi keinginan merokok.

Sebelum MHLW memberikan persetujuan untuk peredaran obat digital ini, tentu Cure App juga sudah melalukan berbagai macam uji coba klinis.

Hasilnya menunjukkan bahwa 64% dari orang yang menggunakan aplikasi ini selama 6 bulan, ternyata bisa mencegah mereka untuk merokok kembali, dibandingkan dengan pasien yang tidak menggunakan obat digital produksi mereka.

Kalau kita bandingkan obat digital dengan obat yang biasa kita kenal (saya akan sebut sebagai obat konvensional), memang ada beberapa perbedaan.

Pertama, dan mungkin perbedaan yang paling mencolok adalah, karena obat digital wujudnya adalah aplikasi, maka risiko efek samping tidak akan mudah kita kenali.

Berbeda dengan obat konvensional, dimana efek samping yang ditimbulkan bisa dengan mudah dikenali dan dirasakan oleh pasien dalam hitungan menit atau jam.

Data yang diperoleh dari obat digital ini juga bisa langsung disimpan di dalam program, kemudian digunakan untuk mengelola segala perkembangan penanganan penyakit yang bertujuan untuk penyembuhan pasien.

Data ini juga dengan mudah bisa digunakan untuk membantu pasien lain yang mempunyai penyakit sama.

Kemudian waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan obat digital, tidak selama waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan obat konvensional.

Waktu pengembangan yang singkat ini juga berbanding lurus dengan biaya yang dibutuhkan. Sehingga kita bisa mengatakan bahwa biaya pengembangan obat digital jauh lebih murah dibandingkan dengan obat konvensional.

Selain itu, obat digital juga bisa menghemat sumber daya tenaga medis yang bekerja di rumah sakit. Karena pasien tidak perlu datang untuk berobat, dan dia bisa langsung menggunakan obat digital kapan saja dan dimana saja.

Hal ini tentu meringankan beban rumah sakit, karena dengan demikian, tenaga medis bisa dialokasikan untuk mengurusi pasien lain yang banyak mengantri dan membutuhkan pertolongan atau penanganan lebih serius.

Walaupun banyak keunggulan obat digital seperti yang sudah saya bahas, akan tetapi ada juga keterbatasan dari obat digital.

Saat ini pengaplikasian obat digital hanya terbatas pada penyakit yang berhubungan dengan kesehatan mental,  maupun untuk memperbaiki perilaku yang jauh dari pola hidup sehat.

Oleh karena itu, belum banyak jumlah obat digital yang dibuat oleh perusahaan medis.

Selain obat digital untuk menyembuhkan ketergantungan nikotin, perusahaan startup medis lain di Jepang yang bernama SusMed membuat obat digital bagi pasien yang mengalami gangguan kesulitan tidur.

Ada juga obat digital yang sudah disahkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika (FDA) bagi pasien yang memiliki ketergantungan pada alkohol dan obat-obatan.

Namun dengan bantuan teknologi lain yang sedang berkembang saat ini, misalnya nanomedicine, saya yakin keterbatasan dari obat digital sedikit demi sedikit bisa dihilangkan.

Nanomedicine merupakan aplikasi nanotechnology pada bidang medis. Sebagai catatan, nanotechnology adalah teknologi tentang, atau teknologi yang diaplikasikan pada benda-benda yang berukuran nano (besar satu nano adalah sepermiliar meter).

Pada masa mendatang, dengan nanomedicine orang misalnya bisa membuat mesin biologi dan memasang nanosensor disana. Kemudian mesin ini dimasukkan ke dalam tubuh manusia.

Melalui obat digital, pasien bisa mengendalikan mesin biologi tersebut untuk menyembuhkan suatu penyakit, maupun untuk mengontrol pelepasan zat yang dibawa mesin untuk melawan sel-sel jahat di dalam tubuh manusia.

Yang pasti, obat digital menjanjikan masa depan yang cerah bagi dunia medis dimasa datang. Ini juga bisa menjadi titik balik sejarah obat, yang sudah dimulai sejak abad 4000 SM pada zaman peradaban Mesopotamia.

Alasannya adalah sebagai berikut.

Pada zaman itu obat dibuat dari tumbuhan (daun, batang dan akar) yang merupakan barang yang langka. Kemudian cara pembuatan obat ini terus dilanjutkan dalam peradaban kuno Tiongkok, juga pada masa Abad Pertengahan di Eropa. 

Awal abad ke-20, sedikit perubahan terjadi karena bahan-bahan kimia mulai digunakan untuk membuat obat. Yang tidak berubah adalah selama waktu itu, kita hanya mengenal obat yang mempunyai wujud. Sehingga kemunculan obat digital akan mengubah cara pandang kita pada obat, dan cara kita menggunakan obat.

Baiklah sebelum menutup cerita, saya ingin memberikan pandangan pribadi tentang pertanyaan yang saya gunakan pada judul.

Dengan pertimbangan kelebihannya dibandingkan dengan obat konvensional, dan juga melihat perkembangan teknologi lain yang bisa menunjang pengembangannya, maka obat digital saya pikir bisa menjadi obat terbaik bagi penyakit yang diderita oleh manusia pada masa mendatang.

Apalagi kita tahu bahwa semakin lama semakin bervariasi pula jenis penyakit yang menyerang manusia. Seperti penyakit yang disebabkan oleh Covid-19 yang saat ini menjadi pandemi di segala penjuru dunia.

Penyakit baru tentu membutuhkan cara penanganan yang baru juga. Data-data harus dikumpulkan secara lebih cepat dan efektif untuk penanganan penyakit yang lebih terpadu.

Pengembangan obat baru membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama dan saya kira obat digital bisa menjadi jawaban atas segala masalah tersebut.

Namun kita juga perlu ingat bahwa penggunaan obat digital (yang wujudnya adalah aplikasi pada smartphone) diharapkan tidak menimbulkan efek samping lain yang menyebabkan pengguna (pasien) menderita.

Misalnya jika pasien kecanduan rokok sudah bisa sembuh, namun malah kemudian muncul penyakit lain yaitu kecanduan bermain smartphone.

Apalagi kecanduan smartphone itu sampai menimbulkan gangguan, misalnya rasa pusing atau pengelihatan menjadi kabur akibat keasyikannya berlama-lama memandang layar smartphone.

Dengan kata lain, jangan sampai menjadi seperti yang dikatakan oleh peribahasa, "Lepas dari mulut Harimau, masuk ke dalam mulut Buaya".

Pada akhirnya kita harus ingat bahwa kemajuan teknologi itu hanya sebuah "alat". 

Bagaimana alat itu dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan diri sendiri maupun lebih luas lagi bagi seluruh umat manusia, itu adalah semata-mata keputusan, dan lebih penting lagi kemauan dari orang yang menggunakannya.

Selamat berakhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun