Kalau dipikir-pikir, sebenarnya anjuran ini agak ironis. Karena sebelum terjadinya pandemi, jarak sosial sebenarnya sudah terjadi.
Coba saja kita ingat lagi keadaan sebelum COVID-19 menyerang dunia.
Sebelum terjadinya pandemi pasti Anda sering melihat sekumpulan orang yang sedang kongko di cafe, maupun sedang makan di restoran, dengan masing-masing anggotanya sibuk melihat atau memainkan gawai.
Bahkan kita bisa melihat, mereka duduk bersama namun masing-masing berdiam diri sambil terus memainkan gawai. Meskipun kemudian mereka sesekali berbicara satu sama lain, tetapi mata dan tangan tetap sibuk dengan gawai, tanpa punya waktu untuk memandang mata lawan bicara.
Di rumah pun, anggota keluarga sibuk dengan hape nya masing-masing, baik ketika sedang duduk bersama di ruang tamu, sedang menonton televisi, maupun ketika sedang duduk menikmati makan malam.
Secara fisik, mereka mungkin berdekatan. Namun, setiap anggota keluarga sibuk dengan lingkungan "sosial"nya masing-masing.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa tidak ada ikatan sosial yang terjadi antara kelompok orang yang kongko di cafe, maupun antara anggota keluarga yang saya tuliskan pada paragraf sebelumnya.
Bahkan untuk berkomunikasi dengan rekan/anggota keluarga yang ada di depan mata pun, tidak jarang mereka lebih suka menggunakan gawainya.
Lain dengan perilaku orang-orang tersebut, misa dengan cara live streaming karena situasi dan kondisi yang terjadi saat ini, tentu harus diartikan sebagai upaya untuk mencegah penularan virus dalam kelompok besar (istilah teknisnya adalah mencegah terciptanya cluster baru).
Penting untuk diingat bahwa misa dengan cara live streaming bertujuan untuk menjaga jarak sosial dan jarak fisik, bukan untuk meniadakan ikatan sosial.
Lalu kita juga tahu bahwa teknologi tidak melulu merugikan (menimbulkan efek negatif). Semuanya tergantung dari bagaimana dan apa tujuan kita menggunakan teknologi.