Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Antara Kucing, Teori Kuantum, dan Pilpres

27 Februari 2019   10:17 Diperbarui: 27 Februari 2019   18:15 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Kucing-kucing yang tengah antri di depan kotak. (cardcow.com)

Untuk urusan nomor/angka "cantik", ternyata bukan hanya kesukaan orang Indonesia saja. Orang Jepang juga suka nomor/angka "cantik" lho.

Di Jepang, tanggal 22 Februari minggu lalu dikenal dengan nama lain yaitu "Hari Kucing" (atau neko-no-hi dalam Bahasa Jepang). Alasannya, kalau tanggal itu ditulis dengan angka menjadi 222 (beda tipis kan sama 212?), pelafalannya diplesetkan menjadi "nyan-nyan-nyan". Sebagai catatan, "nyan" adalah suara Kucing dalam Bahasa Jepang.

Jepang memang tergolong bangsa yang juga gemar memelihara hewan piaraan. Walaupun, ada beberapa apartemen menetapkan peraturan yang ketat atau bahkan melarang penghuni memelihara hewan piaraan. 

Menurut data, walaupun persentase penduduk yang memelihara Anjing (12.84%) lebih besar dibandingkan dengan persentase penduduk yang memelihara Kucing (9.71%), namun populasi Kucing (9,5 juta ekor) di Jepang, lebih besar dari populasi Anjing (8,9 juta ekor). Ada beberapa pulau di Jepang yang terkenal akan Kucingnya, dan ada pulau dimana populasi Kucing melebihi populasi orang yaitu di Tashirojima, Prefektur Miyagi.

Omong-omong tentang Kucing, tentunya pembaca tahu bahwa Prabowo juga penggemar Kucing.

Kucingnya mempunyai akun instagram dengan jumlah follower yang lumayan banyak. Lebih hebat lagi, bobby---nama kucing Prabowo---mendeklarasikan dirinya sebagai "cat-izen" pertama di Indonesia.

Kita tinggalkan urusan meong sejenak. Saya ingin mengajak pembaca melihat alam semesta. 

Saat ini para ilmuwan sedang mencoba menguak beberapa hal yang masih menjadi misteri pada alam semesta. Cara yang mereka lalukan tentunya bermacam-macam. Salah satunya adalah menggunakan ilmu-ilmu yang ada, misalnya Fisika. Dan jika kita berbicara tentang Fisika, tentu kita tidak bisa melupakan tentang teori kuantum, yang merupakan salah satu fondasi besar dari Fisika modern, selain teori relativitas umum.

Teori relativitas umum berusaha menguak misteri alam semesta dari sudut pandang dengan skala (sangat) besar, misalnya gravitasi. Sedangkan teori kuantum dari sudut pandang dengan skala yang (sangat) kecil, misalnya atom dan semua unsur pembentuknya.

Perkembangan teori kuantum dimulai saat Max Planck membuat asumsi bahwa energi yang dilepaskan (dalam wujud berbagai warna) ketika benda dipanaskan, merupakan kelipatan dari satuan unit individual yang disebut quanta. Planck juga disebut sebagai Bapak teori kuantum, dan berhasil meraih hadiah Nobel untuk bidang Fisika pada tahun 1918.

Salah satu prinsip penting dalam teori kuantum adalah prinsip ketidakpastian, dicetuskan oleh Heisenberg, yang juga berhasil meraih hadiah Nobel untuk bidang Fisika pada tahun 1932. Prinsip ketidakpastian jika dijelaskan secara ringkas adalah, jika ada partikel (atom) dapat kita ketahui kecepatan (momentum)nya, maka kita tidak bisa mengetahui lokasinya. Begitu juga sebaliknya. Tidak mungkin dua unsur tersebut (kecepatan dan lokasi) bisa bersamaan diketahui/diukur secara akurat.

Teori kuantum yang mengamati segala sesuatu dari sudut pandang dengan ukuran atom ini, menemukan bahwa dunia atom ternyata memang aneh dan banyak unsur yang ambigu. Apalagi setelah Niels Bohr menginterpretasikan teori kuantum dengan superposition, yaitu partikel bisa berada dalam berbagai macam keadaan pada saat yang bersamaan, sampai pada saat partikel itu diamati/diukur. Interpretasi itu biasa juga dinamakan sebagai Copenhagen Interpretation.

Tetapi, kalau masalah aneh dan ambigu sih, saya pikir tidak hanya dalam dunia atom (yang kecil) dalam teori kuantum saja. Dunia kita sekarang, dimana kita hidup dan bersosialisasi saat ini pun, banyak hal-hal yang aneh dan ambigu. Apalagi menjelang Pilpres yang kurang dari satu setengah bulan lagi. 

Tentang keanehan itu tentunya saya tidak perlu jelaskan lagi disini, karena pembaca pasti sudah banyak tahu beritanya melalui Internet. Jika menyebutkan beberapa diantaranya, misalnya "puisi" aneh ini, atau hoax terbaru tentang pelarangan azan. Saat ini, orang-orang (atau kelompok ini) dengan nyali yang lebih kecil dari ukuran atom, merasa "gagah" dengan berlindung di balik tameng "puisi", supaya bisa mengatakan bahwa mereka sedang memainkan bahasa kiasan. Walaupun kita tahu isinya cuma ejekan.

Hebatnya, bahkan mereka sudah tidak malu lagi, apalagi takut, untuk "menyeret-nyeret" Tuhan, alias menggunakan tameng agama untuk melampiaskan ego-nya.

Saya kurang paham juga, untuk apa berita-berita aneh (termasuk hoax) itu disebarkan. Kalau tujuannya untuk mempengaruhi pemilih pada pilpres yang akan datang, saya pikir juga tidak begitu banyak efeknya. Para pemilih itu, tentunya sudah (jauh-jauh hari) menentukan pilihannya. Berdasarkan apa mereka memilih, tentunya juga tergantung dari pribadi masing-masing.

Meminjam istilah yang digunakan pengamat politik, memang ada beberapa swing voter, yaitu pemilih yang masih "galau" untuk menentukan siapa yang akan didukungnya pada piplres nanti. 

Namun, kalau untuk menarik simpati dan mengharapkan swing voter itu untuk memberikan dukungan pada capres/cawapres yang mereka calonkan dengan berita yang aneh-aneh (terlebih hoax), apa kita semua juga tidak khawatir akan perkembangan kepribadian mereka nanti? Apalagi, katanya generasi milenial merupakan segmen yang memberikan kontribusi banyak pada persentasi swing voter ini.

Tentunya kita harus menjauhkan generasi milenial dari hal-hal yang sifatnya negatif, terutama berita hoax dan ujaran kebencian. Kalau kita semua menginginkan Indonesia yang lebih baik dan maju lagi di masa depan, saya pikir kita semua harus mau memberikan pendidikan yang positif untuk semua orang, terlebih bagi generasi muda kita.

Sekarang kita kembali ke urusan meong yang sempat saya singgung diawal tulisan.

Paradoks teori kuantum tentang superposition itu sebenarnya telah dibuktikan dengan eksperimen pemikiran yang digagas oleh Schrodinger. Karena dia memakai Kucing sebagai objeknya, maka eksperimen itu populer dengan nama Kucing Schrodinger.

Cerita singkat Kucing Schrodinger itu begini. 

Ada Kucing yang ditaruh di dalam kotak yang tersegel rapat. Di dalam kotak ada partikel radioaktif, lalu ada geiger counter yang dihubungkan lagi dengan palu, ditambah juga tabung kaca yang penuh berisi racun. Jika radioaktif meluruh, maka akan menggerakkan geiger counter, yang bisa men-trigger palu hingga jatuh, sehingga memukul gelas yang berisi racun. Kemudian racun ini bisa membuat Kucing yang ada dalam kotak, mati.

Persentase radioaktif bisa meluruh sekitar 50%, sehingga kalau peluruhan terjadi, maka akan mengakibatkan Kucing mati. Namun bisa juga radioaktif tidak meluruh, sehingga Kucing masih bisa hidup. Kita tidak tahu Kucing sudah mati atau belum, sampai ketika kita membuka kotak dan melihat keadaan sang Kucing. 

Jadi status Kucing bisa hidup atau mati, selama kita belum membuka kotak. Disinilah Schrodinger ingin membuktikan paradoks teori kuantum, bahwa mustahil Kucing bisa mempunyai dua status, yaitu hidup sekaligus juga mati.

Eksperimen pemikiran Kucing Schrodinger (astronimate.com)
Eksperimen pemikiran Kucing Schrodinger (astronimate.com)
Kalau Kucing Schrodinger dipakai untuk membuktikan paradoks teori kuantum, saya kemudian berpikir, apa kita juga bisa pinjam bobby (Kucing Prabowo) untuk eksperimen (paling tidak eksperimen pemikiran) bahwa ujaran para pendukung dan orang-orang yang berada disekelilingnya sebenarnya adalah paradoks? Atau mungkin malah bisa dipakai untuk membuktikan tulisannya di buku Paradoks Indonesia?

Walaupun pernyataan-pernyataan yang bombastis (apalagi yang mengandung unsur hoax) memang "seksi", dan bisa menjadi magnet yang menarik bagi banyak orang (dalam hal ini para pemilih pada Pilpres nanti), namun kalau itu tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi malah membuat situasi yang sudah "panas" menjadi "makin panas", apakah ada gunanya, dan masih mau diteruskan? 

Saya tidak tahu jawabannya saat ini. Mungkin, kita bisa kita tanyakan kepada meong nanti. Entah meong punya siapa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun