Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Antara Kucing, Teori Kuantum, dan Pilpres

27 Februari 2019   10:17 Diperbarui: 27 Februari 2019   18:15 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada Kucing yang ditaruh di dalam kotak yang tersegel rapat. Di dalam kotak ada partikel radioaktif, lalu ada geiger counter yang dihubungkan lagi dengan palu, ditambah juga tabung kaca yang penuh berisi racun. Jika radioaktif meluruh, maka akan menggerakkan geiger counter, yang bisa men-trigger palu hingga jatuh, sehingga memukul gelas yang berisi racun. Kemudian racun ini bisa membuat Kucing yang ada dalam kotak, mati.

Persentase radioaktif bisa meluruh sekitar 50%, sehingga kalau peluruhan terjadi, maka akan mengakibatkan Kucing mati. Namun bisa juga radioaktif tidak meluruh, sehingga Kucing masih bisa hidup. Kita tidak tahu Kucing sudah mati atau belum, sampai ketika kita membuka kotak dan melihat keadaan sang Kucing. 

Jadi status Kucing bisa hidup atau mati, selama kita belum membuka kotak. Disinilah Schrodinger ingin membuktikan paradoks teori kuantum, bahwa mustahil Kucing bisa mempunyai dua status, yaitu hidup sekaligus juga mati.

Eksperimen pemikiran Kucing Schrodinger (astronimate.com)
Eksperimen pemikiran Kucing Schrodinger (astronimate.com)
Kalau Kucing Schrodinger dipakai untuk membuktikan paradoks teori kuantum, saya kemudian berpikir, apa kita juga bisa pinjam bobby (Kucing Prabowo) untuk eksperimen (paling tidak eksperimen pemikiran) bahwa ujaran para pendukung dan orang-orang yang berada disekelilingnya sebenarnya adalah paradoks? Atau mungkin malah bisa dipakai untuk membuktikan tulisannya di buku Paradoks Indonesia?

Walaupun pernyataan-pernyataan yang bombastis (apalagi yang mengandung unsur hoax) memang "seksi", dan bisa menjadi magnet yang menarik bagi banyak orang (dalam hal ini para pemilih pada Pilpres nanti), namun kalau itu tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi malah membuat situasi yang sudah "panas" menjadi "makin panas", apakah ada gunanya, dan masih mau diteruskan? 

Saya tidak tahu jawabannya saat ini. Mungkin, kita bisa kita tanyakan kepada meong nanti. Entah meong punya siapa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun