Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Fotografi dan Kamera Analog yang Tidak Pernah Mati

25 Agustus 2018   09:43 Diperbarui: 25 Agustus 2018   13:30 1965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sakura di Chidorigafuchi (Mamiya M645, Velvia50. DokPri)

Walaupun diparagraf terdahulu saya mengatakan tidak tahu pasti alasan kenapa memakai kamera analog, tetapi saya ingat pernah merasa kesal karena sewaktu ingin memotret, ternyata lupa untuk mengisi daya baterai, atau lupa memasang media (CF/SD card). Lalu ada juga rasa "bosan" akan hasil dari kamera digital yang menurut saya terlalu kaku (stiff) yang menyebabkan mata lelah jika memandang hasilnya terlalu lama (mungkin ini alasan pribadi, selain karena saya tidak mau berlama-lama memandangi layar komputer).

Kamera analog yang saya punya, kebanyakan tidak memakai baterai. Sehingga saya tidak perlu khawatir tetang kelupaan mengisi daya baterai. Bahkan, jika baterai habis pun, kamera masih bisa berfungsi walaupun ada keterbatasan misalnya tidak bisa mengatur shutter speed. 

Yasukuni Shrine (FED3, Fuji Presto400. DokPri)
Yasukuni Shrine (FED3, Fuji Presto400. DokPri)
Selain itu, saya amat menyukai suara kamera analog disaat menekan tombol (shutter) untuk mengambil gambar. Masing-masing kamera analog mempunyai suara "click" yang berbeda, tergantung jenis kamera dan juga produsen pembuatnya. 

Tidak hanya suara, namun dengan pilihan produsen film yang berbeda, kita juga bisa merasakan hasil yang bervariasi dari foto yang kita ambil. Ini bisa diperoleh hanya dengan mengganti film yang kita pasang di kamera (dengan kata lain, tidak perlu mengganti kamera). 

Berbeda dengan kamera digital, di mana kita harus mengganti kamera jika ingin menikmati hasil dari sensor digital yang berbeda (walaupun ada kamera digital yang sensornya unitnya bisa diganti seperti Ricoh GXR).

Kamera analog sempat menjadi booming beberapa tahun yang lalu. Sekarang, dunia kamera analog sudah kembali senyap. Bahkan beberapa produsen film sudah gulung tikar, atau membatasi produksi filmnya. 

Di Jepang sendiri, baik di toko elektronik besar seperti Yodobashi maupun Bic Camera, maupun di toko kecil dekat rumah, stok film yang dijual terlihat makin menipis. Etalase yang disediakan untuk memajang film dari berbagai jenis juga semakin kecil dan sempit, lalu letak etalasenya pun semakin menyempil di sudut toko.

Tokyo Imperial Palace (Kiev-60, Kodak Portra. DokPri)
Tokyo Imperial Palace (Kiev-60, Kodak Portra. DokPri)
Ditambah harga film dan juga ongkos cuci cetak yang mahal, menjadikan cost performance memotret dengan kamera analog jadi jelek dan kurang diminati. Tapi untungnya, saya bukan termasuk tipe orang yang selalu mengambil banyak foto setiap saya pergi ke suatu daerah yang baru.

Tidak ada desain kamera analog yang "wah" dan kekinian seperti kamera digital. Ditambah, kamera analog itu (lebih) berat dibandingkan dengan kamera digital. Jadi, biar saya saja deh yang menentengnya, karena anda belum tentu kuat.

Karena kamera analog kebanyakan sudah tidak diproduksi, jadi saat ini kita hanya bisa membeli kamera analog bekas. Sehingga kebanyakan, kamera analog bentuknya sudah lusuh serta kuno modelnya, ditambah dengan berbagai macam "luka" karena benturan dan gesekan di badan kamera. Meskipun begitu, jika diambil dari segi positifnya, ini membuat saya bisa seperti orang Jepang yang menikmati filosofi "wabi-sabi" dengan kamera analog (kuno) dan juga dengan hasilnya.

Sakura di Chidorigafuchi (Mamiya M645, Velvia50. DokPri)
Sakura di Chidorigafuchi (Mamiya M645, Velvia50. DokPri)
Yang saya suka dengan kamera analog adalah bisa membuat saya melatih kesabaran. Coba bayangkan, biasanya saya baru habis memakai satu film setelah beberapa bulan, bahkan terkadang tahunan. Dan setelah filmnya habis dipakai pun, kita harus sabar menunggu hasil laboratorium pencucian film. Jadi terbayang bagaimana harus sabarnya kan? Malah terkadang, saya sendiri sudah lupa foto apa yang saya ambil di dalam filmnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun