Judul di atas saya tulis bukan karena saya habis membaca (kembali) buku "Thus Spoke Zarathustra" yang dikarang oleh Nietzsche yang terkenal karena ada frasa "God is Dead". Â Bukan juga karena ikutan Johnny Rotten, dedengkot Sex Pistols yang pernah bilang "Rock is Dead." Itu hanya pertanyaan atau rasa terkejut dalam hati saya, karena menerima bermacam komentar setelah sharing foto-foto yang saya ambil dengan kamera analog, beberapa saat yang lalu.
Inti dari berbagai komentar yang saya terima adalah, kok mau-maunya sih pada zaman yang serba digital ini masih pakai kamera analog. Memang nggak rempong atau ribet? Kan mahal cuci cetaknya? Kuno ah! Dan masih banyak lagi.
Sebenarnya, postingan foto di sana adalah pemandangan di suatu tempat yang saya potret beberapa tahun yang lalu. Tetapi karena saya baru punya waktu untuk memindainya akhir-akhir ini, jadi ya postingnya juga baru sekarang.
Kalau boleh berkata jujur, saya tidak begitu tahu pasti alasan, kenapa saya (masih) menggemari kamera analog? Sama seperti alasan, kenapa saya menggemari fotografi?Â
Kalau dipikir-pikir, saya memulai fotografi (atau mungkin lebih tepatnya, membeli kamera), sebenarnya karena ingin suatu media sekadar untuk merekam semua tempat yang sudah saya singgahi (maupun kegiatan yang sudah saya lakukan), untuk kemudian melihatnya kembali jika saya ingin bernostalgia dengan tempat atau kegiatan tersebut. Juga untuk memudahkan saya berkomunikasi (sekaligus membagi informasi) dengan keluarga atau teman di tanah air.
Melalui hasil membaca beberapa informasi dari sana sini, juga setelah mengobrol dengan beberapa teman, kemudian saya membeli kamera digital yang menjadi kamera pertama  saya yaitu Nikon Coolpix.Â
Beberapa bulan kemudian saya membeli kamera analog Nikon F801s, yang juga menjadi kamera analog pertama saya. Kemudian setelah beberapa tahun "kalap" membeli di sana sini, dan karena pernah terkena "penyakit" GAS (Gear Acquisition Syndrome) yang agak "akut", maka saat ini saya memiliki beberapa kamera digital dan setumpuk kamera analog, yang mungkin lebih tepat disebut kumpulan junk kamera analog dari berbagai merek.
Pada kamera digital, sensor digital adalah media yang digunakan untuk merekam cahaya yang masuk. Sedangkan pada kamera analog, lembaran tipis celluloid film yang dilapisi dengan gelatin digunakan untuk media perekamannya (yang biasa disebut dengan film saja).
Desain kamera analog sebenarnya yang paling dekat dengan prinsip kamera, karena tidak ada tambahan macam-macam fungsi seperti pada kamera digital, yang mungkin tidak begitu kita perlukan.Â
Cara kerja dari kamera analog juga tidak banyak berubah jika kita merunut perkembangan kamera, mulai dari Kamera Pinhole yang sudah ditemukan pada abad sebelum masehi, sampai pada alat yang ditemukan pada sekitar abad 15 yang bernama Kamera Obscura.Â
Kemudian ini diperbaiki lagi dengan penemuan Kamera Daguerreotype, yang merupakan cikal bakal kamera (analog) yang kita biasa gunakan saat ini.Â
Ada beberapa pembaharuan di tipe kamera ini, salah satunya adalah memperpendek waktu pengambilan gambar dari berjam-jam menjadi sekitar 30 menit saja.
Meskipun begitu, pada beberapa kamera analog, ada juga sensor yang berperan untuk mengatur beberapa dari parameter diatas secara otomatis, misalnya pada kamera analog saku (compact).Â
Kamera saku biasanya digolongkan pada jenis kamera point-and-shoot, yaitu pengguna hanya tinggal menekan tombol. Sedangkan pengaturan kamera (parameter setting), secara otomatis akan dihitung dan ditentukan dari sensor (dan film) yang terpasang pada kamera.
Menurut jumlah lensa yang digunakan, kamera analog dapat dibagi menjadi SLR (Single-Lens Reflex),dan kamera TLR (Twin-Lens Reflex). Kamera SLR menggunakan lensa yang sama (satu lensa) untuk view dan untuk perekaman gambar, sedangkan TLR menggunakan lensa yang berbeda (dua lensa) untuk view dan perekamannya.
Dinamai 35 mm karena memang lebar pita filmnya adalah 35 mm dan mempunyai lubang di kedua sisinya yang biasa disebut lubang perforasi, dan digunakan untuk menggulung pita film. Selain itu ada film 110 (biasa disebut one-ten), 120 (biasa disebut medium format atau brownie), dan juga beberapa jenis film yang sudah hilang dari peredaran seperti 127, dan APS (Advanced Photo System).
Selain dari ukuran film, menurut jenisnya ada juga film negatif dan film positif. Lalu ada juga film instan, yaitu film yang langsung jadi, yang lebih kita kenal dengan nama polaroid. Kamera tipe instan ini kembali mulai digemari saat ini, terutama setelah produsen kamera Fuji Film mengeluarkan kamera instax seri SQ yang merupakan hybrid dari kamera instan dan kamera digital.
Walaupun diparagraf terdahulu saya mengatakan tidak tahu pasti alasan kenapa memakai kamera analog, tetapi saya ingat pernah merasa kesal karena sewaktu ingin memotret, ternyata lupa untuk mengisi daya baterai, atau lupa memasang media (CF/SD card). Lalu ada juga rasa "bosan" akan hasil dari kamera digital yang menurut saya terlalu kaku (stiff) yang menyebabkan mata lelah jika memandang hasilnya terlalu lama (mungkin ini alasan pribadi, selain karena saya tidak mau berlama-lama memandangi layar komputer).
Kamera analog yang saya punya, kebanyakan tidak memakai baterai. Sehingga saya tidak perlu khawatir tetang kelupaan mengisi daya baterai. Bahkan, jika baterai habis pun, kamera masih bisa berfungsi walaupun ada keterbatasan misalnya tidak bisa mengatur shutter speed.Â
Tidak hanya suara, namun dengan pilihan produsen film yang berbeda, kita juga bisa merasakan hasil yang bervariasi dari foto yang kita ambil. Ini bisa diperoleh hanya dengan mengganti film yang kita pasang di kamera (dengan kata lain, tidak perlu mengganti kamera).Â
Berbeda dengan kamera digital, di mana kita harus mengganti kamera jika ingin menikmati hasil dari sensor digital yang berbeda (walaupun ada kamera digital yang sensornya unitnya bisa diganti seperti Ricoh GXR).
Kamera analog sempat menjadi booming beberapa tahun yang lalu. Sekarang, dunia kamera analog sudah kembali senyap. Bahkan beberapa produsen film sudah gulung tikar, atau membatasi produksi filmnya.Â
Di Jepang sendiri, baik di toko elektronik besar seperti Yodobashi maupun Bic Camera, maupun di toko kecil dekat rumah, stok film yang dijual terlihat makin menipis. Etalase yang disediakan untuk memajang film dari berbagai jenis juga semakin kecil dan sempit, lalu letak etalasenya pun semakin menyempil di sudut toko.
Tidak ada desain kamera analog yang "wah" dan kekinian seperti kamera digital. Ditambah, kamera analog itu (lebih) berat dibandingkan dengan kamera digital. Jadi, biar saya saja deh yang menentengnya, karena anda belum tentu kuat.
Karena kamera analog kebanyakan sudah tidak diproduksi, jadi saat ini kita hanya bisa membeli kamera analog bekas. Sehingga kebanyakan, kamera analog bentuknya sudah lusuh serta kuno modelnya, ditambah dengan berbagai macam "luka" karena benturan dan gesekan di badan kamera. Meskipun begitu, jika diambil dari segi positifnya, ini membuat saya bisa seperti orang Jepang yang menikmati filosofi "wabi-sabi" dengan kamera analog (kuno) dan juga dengan hasilnya.
Namun, tidak perlu dikatakan lagi bahwa menanti hasil dari cucian film itu juga merupakan suatu kenikmatan tersendiri, seperti menanti kekasih yang baru pertama kali akan ketemu darat (langsung). Terkadang penantian berakhir dengan senyum kecut jika hasilnya jelek tidak seperti yang diharapkan. Sebaliknya, kalau hasilnya bagus, tentunya bisa senyum gembira.
Walaupun begitu, saya akan terus memotret dan belum ingin mengucapkan sayonara pada kamera analog.Â
Lagipula, saya masih ingin menikmati "kerepotan" mengambil foto dengan kamera analog. Di dalam kerepotan itu, mungkin saya bisa kembali mengambil pelajaran lain yang berharga, karena memang dalam kehidupan nyata manusia sehari-hari, sebenarnya penuh dengan "kerepotan" dan tantangan. Supaya saya bisa berteriak (sekali lagi dalam hati yang kali ini agak lantang).
"Analog is NOT dead!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI