"Untuk membuat kuta tentu ada pemimpin dan pekerja dan mereka sudah mengerti teknik pertukangan. Sebab tidak mudah untuk mengangkat kayu ulin setinggi 7 meter lalu diatur berjejer dan berfungsi sebagai pagar (benteng)," ujarnya.] Media Indonesia, (29 Jul 2017).
Bukti lain adanya peradaban Dayak yang tinggi di Kalimantan adalah Kerajaan Nan Saruni. Kerajaan Nan Saruni diperkirakan sudah berdiri sejak jaman prasejarah dan bertahan selama ribuan tahun sebelum ditaklukan oleh kerajaan Majapahit (abad ke-14 M). Kerajaan Nan Sarunai adalah pemerintahan purba yang muncul dan berkembang di wilayah yang sekarang termasuk dalam daerah administratif Provinsi Kalimantan Selatan, tepatnya di antara wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong.
Kerajaan Nan Sarunai didirikan orang-orang Dayak Maanyan, salah satu sub suku Dayak tertua di Nusantara, khususnya di Kalimantan bagian tengah dan selatan. Apakah Nan Sarunai sudah layak disebut kerajaan atau belum memang masih menjadi perdebatan. Namun, yang jelas, pemerintahan di Nan Sarunai berlangsung sangat lama.
Nama Sarunai sendiri dimaknai dengan arti "sangat termasyhur". Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran Suku Dayak Maanyan pada masa silam, di mana mereka terkenal sebagai kaum pelaut yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika.
Sistem pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai pada masa purba belum diketahui dengan pasti. Namun, sebelum kerajaan ini berdiri, terlebih dulu terdapat beberapa komunitas dari Suku Dayak Maanyan yang memiliki pusat kekuasaan masing-masing. Pada suatu ketika, pusat-pusat kekuasaan itu berhasil dipersatukan dalam suatu pusat kekuasaan yang lebih luas.Â
Ketika penataan organisasi dalam gabungan komunitas Suku Dayak Maanyan tersebut berhasil dioperasionalkan, meski dengan bentuk yang masih sangat sederhana, maka kemudian terbentuklah sebuah negara suku yang dikenal dengan nama Kerajaan atau Negara Nan Sarunai. Selain itu, pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai dikategorikan sebagai peradaban yang masih primitif. Negara atau kerajaan "primitif" tidak bersifat tirani bagi yang diperintahnya (Georges Balandier, 1986:192).Â
Oleh karena itu, sebagai negara "primitif", maka staf administrasi tidak ditemukan dalam struktur pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai. Orang-orang Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai adalah masyarakat yang homogen.Â
Mereka menata kehidupan komunitasnya dengan sangat harmonis sesuai dengan aturan adat yang berisi hukum tradisional, termasuk larangan-larangan dalam hukum adat. Hubungan fundamental di dalam lingkungan Kerajaan Nan Sarunai tercipta berdasarkan genealogis yang disebut ipulaksanai yang berarti ''bersambung usus".Â
Dalam konteks sistem kekerabatan di lingkungan Kerajaan Nan Sarunai, ipulaksanai dapat dimaknai sebagai saudara atau kerabat. Dengan demikian, Kerajaan Nan Sarunai lebih cenderung berperan sebagai media untuk kepentingan rakyatnya. Hubungan antar personal di dalam lingkungan Kerajaan Nan Sarunai diikat oleh jalinan kekeluargaan berdasarkan satu keturunan.Â
Raja tetap memiliki kekuasaan tertinggi sebagai kepala suku maupun kepala pemerintahan. Otoritas tradisional yang berlaku di lingkungan Kerajaan Nan Sarunai adalah patrikalisme yang pengawasannya berada di tangan seorang individu tertentu yang memiliki kewenangan warisan.Â
Pemimpin Kerajaan Nan Sarunai mengendalikan pemerintahan dari sebuah rumah panjang bertipe rumah panggung yang dikenal sebagai Rumah Betang atau Rumah Lamin. Rumah Betang ini tidak lain merupakan istana bagi Raja Nan Sarunai. Rumah Betang mempunyai ciri khusus untuk membedakannya dari rumah-rumah biasa, yakni Rumah Betang tersebut berbentuk tanda plus.