Mohon tunggu...
Syifa Susilawati
Syifa Susilawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Mahasiswi Sarjana - Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Bertemu" Laksamana Keumalahayati: Panglima Perempuan Armada Perang Aceh yang Ditakuti (1580-1605)

11 Juli 2023   08:46 Diperbarui: 27 Oktober 2023   22:26 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber  1: Wessels, C."Uit de missiegeschiedenis van Sumatra : Atjeh in de 16e en 17e eeuw". Bergmans,1939. Geraadpleegd op Delpher op 30-05-2023

Reputasi Keumalahayati yang tak kenal ampun terhadap para penjajah atau pengacau di negerinya membuat Inggris ragu untuk melintasi Kerajaan Aceh. Akhirnya, mereka memilih jalur damai. Pada tahun 1602, Ratu Elizabeth dari Inggris mengirim James Lancaster dengan surat permintaan izin kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa. Keumalahayati terus berjuang untuk melindungi perairan Aceh hingga akhir hayatnya. Ia gugur dalam pertempuran melawan armada Portugis yang dipimpin oleh Alfonso de Castro. Jasadnya dimakamkan di Gampong Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.

Kelompok-kelompok pejuang Aceh yang mahir menggunakan senjata tajam, terutama kelewang, seringkali membuat pasukan Belanda kewalahan dalam patroli-patroli mereka. Dalam bukunya yang berjudul Atjeh (1938), HC Zentgraaff mengungkapkan kemahiran mereka dengan senjata tersebut. Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, nenek moyang Malahayati, juga dikenal sebagai sosok yang gagah berani. Malahayati, sebagai seorang perempuan paruh baya, mewarisi keberanian dan kewibawaan Sultan tersebut, yang terlihat dalam penggunaannya yang mahir atas rencong. Inderanya yang tajam dan kecerdasannya patut diacungi jempol.

Malahayati adalah keturunan bangsawan Aceh, bahkan secara genealogis merupakan keturunan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M). Setelah gugur dalam pertempuran di Teluk Krueng Raya, jasadnya dimakamkan tidak jauh dari Benteng Inong Balee (Janda), di sebuah bukit kecil sekitar 500 meter dari Pelabuhan Malahayati dan sekitar 30 kilometer dari kota Banda Aceh. [15]

 

Sumber Pustaka:

[1] Sebutan untuk serambi depan rumah adat Aceh (Rumoh Aceh)

[2] Upacara adat orang aceh yang dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang anak

[3] Istilah kafir yang menjadi sebutan orang Aceh kepada penjajah Belanda.

[4] Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, Prof. Dr. Aquarini Prayatna, M.A., M.Hum., Ph.D., Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum. dalam Prosiding Seminar Nasional, "Menggali Kembali Feminisme Nusantara (Indonesia) dalam Sastra", Yogyakarta, 22 September 2021, Hlm. 8.

[5] Wildan, Mohd. Harun, Yenni Safrida, Fakta Sejarah dalam Novel Perempuan Keumala

Karya Endang Moerdopo. Jurnal Cendekia Vol IX, No.1 April 2015, Hlm. 25-36

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun