Mohon tunggu...
Syifa Susilawati
Syifa Susilawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Mahasiswi Sarjana - Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Bertemu" Laksamana Keumalahayati: Panglima Perempuan Armada Perang Aceh yang Ditakuti (1580-1605)

11 Juli 2023   08:46 Diperbarui: 27 Oktober 2023   22:26 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Padang hijau membentang di pegunungan bukit barisan dan teluk krueng jaya. Matahari membiaskan cahayanya yang kemuning ke tiap dedaunan yang rimbun di pohon dekat puncak bukit. Aroma hujan sisa semalam masih menguap dari rerumputan pagi menyiratkan kehangatan, cahaya matahari memeluk tiap jengkal pepohonan yang kedinginan sejak malam oleh hujan yang sangat deras. Tidak jauh dari pohon rindang yang terik oleh kehangatan matahari, terdapat sebuah makam yang diteduhi saung kecil yang menyirakatkan kesederhanaan. Makam sosok perempuan yang terlahir di tengah peraduan suara kelewang, dentuman suara Meriam dan  senapan dalam situasi perang terpanjang, perang aceh (berakhir tahun 1903). Puncak bukit yang memberikan lawatan pemandangan dataran banda aceh dari ketinggian itu seolah membawa sesiapa saja yang menyapu matanya ke sekeliling bukit itu ke dalam lautan memori sejarah perang panjang yang mengendap di tanah. Tanah yang hari ini masih dipijak dan telah berganti masa hingga hampir 5 abad lamanya. "Kini kape belanda kafir itu telah minggat dari banda Aceh!", barangkali begitu kalimat yang akan terlontar Laksamana Malahayati dan 3000 orang pasukan inong balee (janda) yang berhasil membunuh jenderal belanda, Cornelis De Houtman itu pada 1599.

Kelahirannya

Lampiet, tahun 1550.

Di Seuramoe Keue[1] Rumoh Aceh, rumah panggung dengan tinggi bangunan 3 meter dan berukuran memanjang ini, seorang wanita yang sedang mengandung dengan usia kehamilan yang tinggal menunggu kontraksi akhir itu tampak tengah terengah-engah bersandar di bilik kayu rumah hunian milik salah satu petinggi kesultanan aceh. Semestinya sang suami yang merupakan panglima ternama dalam perang aceh itu mempersiapkan Peucicap[2] untuk menyambut kelahiran anaknya, namun kini dirinya tampak harus lebih bersiaga dengan kelewang di tangan kanannya dan rencong di ikat pinggangnya untuk mensiasati kemungkinan-kemungkinan serangan mendadak pasukan marsose Belanda. Hari ini ia menemani istrinya. 

 Tidak lama, gerimis mulai turun. Suara air yang yang berjatuhan ingin mengenalkan suara khas air yang kelak akan menemani tiap jengkal kehidupan. Saat itu pula kelahiran berlangsung begitu saja. Tangisan seorang bayi perempuan terdengar pertama kalinya ke dunia, suara nyaringnya seakan menyoraki riuhnya genderang perang aceh, dan bernada seakan mengungkapkan, inilah aku yang akan menjadi bagian penting dari pejuang pemberani yang akan mengusir penjajah. Suaranya memantul dan begitu memenuhi seisi ruang Seuramoe Kuoe. Semakin nyaring tangisan sang bayi ketika sang ayah menggendongnya ke pangkuan. Dengan air mata haru, sang ayah yang merupakan panglima Aceh itu, Laksamana Mahmud Syah membisikinya, "Nak,  teruskan tangisan itu sebagai simbol perlawanan yang akan kau gandrungi di paruh kehidupan perjuangan buat menakuti pasukan marsose. Kelak kau akan menjadi pejuang sebagaimana buyutmu, Raja pertama sekaligus pendiri kesultanan Aceh Darussalam , Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah". Ialah Malahayati atau nama kecilnya, disebut Keumala Hayati.

  

Masa Kecil

Tumbuh di lingkungan yang penuh dengan semangat perlawanan terhadap kape-kape[3] penjajah, perempuan ini tumbuh menjadi seorang yang penuh dengan keberanian dan militansi.  Sekalipun begitu, ia tetap hidup dengan pakaian yang melekatkan keanggunan wanita aceh dengan selendang kerudung menutupi kepalanya. Ayah, kakek buyutnya merupakan seorang laksamana. Maka sejak kecil ia hidup di tengah keluarga yang memberi semangat untuk menjadi laksamana. Keumalahayati, akhirnya belajar di Akademi Militer di Ma'had Baitul Maqdis secara formal bersama para laki-laki, termasuk salah satunya Mahmuddin yang kemudian akan menikah dengannya.[4]    

Kakek dari garis keturunan ayahnya adalah Muhammad Said Syah, yaitu putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah sendiri merupakan anak dari pendiri Kerajaan Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah.[5]

Pertempuran Teluk Haru

Malam itu, seribu prajurit yang gugur sebagai syuhada. Kemenangan Aceh dalam pertempuran laut armada selat malaka aceh melawan portugis menyebabkan gugurnya dua orang laksamana.[6] Satu diantaranya, Mahmudsyah seorang panglima armada perang selat malaka aceh. Kawan Malahayati di Asykar Baital Maqdis yang pada saat itu telah menjadi suaminya, ia gugur di pertempuran Selat Malaka melawan Portugis.[7] Berkat kekalahan itu, kelak Malahayati akan akan menjadi pemimpin armada perang yang membuat sistem pertahanan yang kuat di daratan maupun lautan. Mereka memiliki benteng di Teluk Lamreh Kraung Raya dan 100 kapal.[8]

Disamping kabar kemenangan yang menggembirakan itu, Malahayati yang pada saat itu sudah diangkat oleh Sultan Al Mukammil sebagai Komandan Protokol Istana Darud Dunia (Istana Kesultanan Aceh Darussalam) tampak geram dan marah terhadap penjajah yang sudah menyebabkan suaminya terbunuh. Akhirnya ia bertekad dan memohon kepada sang Sultan agar membentuk sebuah armada aceh yang prajuritnya terdiri dari para Wanita janda, yang suaminya gugur dalam perang teluk haru.[9]

Permohonan itu diwujudkan. Lalu dibentuklah Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda) dan Malahayati bertindak sebagai panglimanya. Benteng pertahanan armada ini terletak di Teluk Lamreh Kraung Raya. [10]

Cornelis de Houtman tewas berlumuran darah di bilah rencong Malahayati

 

 

Sumber  1: Wessels, C.
Sumber  1: Wessels, C."Uit de missiegeschiedenis van Sumatra : Atjeh in de 16e en 17e eeuw". Bergmans,1939. Geraadpleegd op Delpher op 30-05-2023

Armada Inong Balee dengan 100 kapal perang dilengkapi Meriam-meriam dan lila-lila melaju dan menghadang kapal "dagang" belanda yang dipersenjatai. Mulanya pada juni tahun 1599, kedatangan kapal belanda itu secara resmi diterima dengan wajar sebagai armada dagang, namun mereka dalam perkembangannya melakukan pengkhianatan kepada sultan, melakukan manipulasi dagang, mengacau, menghasut yang akhirnya membuat situasi di pelabuhan itu menjadi kacau balau. [11]

Pertempuran setelah Teluk Haru yang menyebabkan suami Malahayati wafat dan menandai kekalahan Portugis, perjuangan rakyat  Aceh belum selesai. Mereka harus menghadapi upaya invasi dari Belanda. Situasi semakin memanas ketika armada pimpinan Cornelis de Houtman dihadang oleh Malahayati. Kapal-kapal penuh senjata itu disamarkan menjadi kapal dagang. Ketika hendak menyerang armada kapal belanda, Malahayati berkumpul di benteng pertahanan Inong Balee. Lalu segera ketika subuh hari, mereka masuk ke geladak-geladak kapal belanda, Malahayati berlari dengan pasukan dari armada inong balee yang berjumlah sekitar 2000 orang itu menyerang pasukan belanda. Lalu beberapa saat kemudian, kekacauan terjadi di geladak-geladak kapal. Tak lama kemudian, di tangannya, Cornelis de Houtman harus berlumuran darah karena berhasil ditikam oleh rencong milik malahayati. Sedangkan saudaranya, Frederick de Houtman berhasil ditawan oleh prajurit Inong Balee dan diserahkan kepada sultan.

"Di kapal van Leew telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya oleh Laksamana Malahayati sendiri, sementara sekretaris rahasianya menyerang Frederijk de Houtman dan ditawannya serta dibawa ke darat. Davis dan Tomkins menderita luka...", Marie can C. Zeggelen.[12]

Setelah peristiwa itu datang pula tantangan baru dari Jacob van Neck yang harus dihadapi oleh Armada perang aceh, Malahayati dengan memerintahkan penangkapan Laksamana Belanda itu pada tahun 1601. Perlawanan sengit dari armada Malahayati membuat Belanda menyerah. Penguasa negeri kincir, Maurits van Oranje mengirim utusan diplomatik beserta surat permintaan maaf kepada Kerajaan Aceh. Kedua utusan tersebut ditemui oleh Malahayati sendiri dan berbuah kesepakatan gencatan senjata. Belanda setuju membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi atas tindakan Paulus van Caerden, sementara Malahayati membebaskan sejumlah tahanan Belanda yang ditawan pasukannya.[13]

Perlu catatan panjang untuk menuliskan sejarah perjuangan dan kebesaran sosok Laksamana Malahayati. Ia sebetulnya tidak hanya berpangkat Laksamana, tetapi ia juga menjabat sebagai Panglima Armada Inong Bale Kerajaan Aceh Darussalam, Komandan Potokol Istana Darud Dunia, diplomat dan Kepala Rahasia kerajaan. Negara-negara besar baik di Eropa maupun Amerika Serikat sepanjang sejarah tidak ada yang mampu mengungguli Malahayati, tidak ada yang memiliki sosoknya. Laksamana Keumalahayati, memiliki peran dan jasa yang sangat penting bagi Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sebagai The Guardian of Acheh Kingdom yang disegani dan dihormati oleh musuh maupun teman. Prestasinya membuatnya masuk dalam jajaran 7 Warlord Women In The World dan Best Female Warrior At All Time. Keumalahayati menduduki posisi penting sebagai Chief Of The Imperial Guard Troop, Commander Secret Government, dan Chief Of Protocol Of Sultan Alaidin Riayatsyah Al Mukammil. Selain sebagai admiral dan komandan Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, ia juga memimpin pasukan sebagai palace guard. Keumalahayati juga berperan sebagai diplomat bagi Sultan dan menjadi negosiator ulung dalam hubungan luar negeri. Dia memimpin pasukan Armada Inong Bale, yang terdiri dari 2000 hingga 3.500 lebih prajurit.[14]

Reputasi Keumalahayati yang tak kenal ampun terhadap para penjajah atau pengacau di negerinya membuat Inggris ragu untuk melintasi Kerajaan Aceh. Akhirnya, mereka memilih jalur damai. Pada tahun 1602, Ratu Elizabeth dari Inggris mengirim James Lancaster dengan surat permintaan izin kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa. Keumalahayati terus berjuang untuk melindungi perairan Aceh hingga akhir hayatnya. Ia gugur dalam pertempuran melawan armada Portugis yang dipimpin oleh Alfonso de Castro. Jasadnya dimakamkan di Gampong Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.

Kelompok-kelompok pejuang Aceh yang mahir menggunakan senjata tajam, terutama kelewang, seringkali membuat pasukan Belanda kewalahan dalam patroli-patroli mereka. Dalam bukunya yang berjudul Atjeh (1938), HC Zentgraaff mengungkapkan kemahiran mereka dengan senjata tersebut. Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, nenek moyang Malahayati, juga dikenal sebagai sosok yang gagah berani. Malahayati, sebagai seorang perempuan paruh baya, mewarisi keberanian dan kewibawaan Sultan tersebut, yang terlihat dalam penggunaannya yang mahir atas rencong. Inderanya yang tajam dan kecerdasannya patut diacungi jempol.

Malahayati adalah keturunan bangsawan Aceh, bahkan secara genealogis merupakan keturunan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M). Setelah gugur dalam pertempuran di Teluk Krueng Raya, jasadnya dimakamkan tidak jauh dari Benteng Inong Balee (Janda), di sebuah bukit kecil sekitar 500 meter dari Pelabuhan Malahayati dan sekitar 30 kilometer dari kota Banda Aceh. [15]

 

Sumber Pustaka:

[1] Sebutan untuk serambi depan rumah adat Aceh (Rumoh Aceh)

[2] Upacara adat orang aceh yang dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang anak

[3] Istilah kafir yang menjadi sebutan orang Aceh kepada penjajah Belanda.

[4] Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, Prof. Dr. Aquarini Prayatna, M.A., M.Hum., Ph.D., Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum. dalam Prosiding Seminar Nasional, "Menggali Kembali Feminisme Nusantara (Indonesia) dalam Sastra", Yogyakarta, 22 September 2021, Hlm. 8.

[5] Wildan, Mohd. Harun, Yenni Safrida, Fakta Sejarah dalam Novel Perempuan Keumala

Karya Endang Moerdopo. Jurnal Cendekia Vol IX, No.1 April 2015, Hlm. 25-36

[6] A. Hasjmy, Wanita Aceh: sebagai negarawan dan panglima perang, PT Bulan Bintang, 1996, Jakarta. Hlm. 9

[7] Tantri Setyorini, 7 Fakta tentang Malahayati, laksamana wanita pertama dunia yang bikin kagum, 10 November 2017, Merdeka.com.

[7] Ibid.

[8] A. . Hasjmy, Wanita Aceh: sebagai negarawan dan panglima perang, PT Bulan Bintang, 1996, Jakarta.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Dalam buku Oude Glorie

[12] Ibid.

[13] Cut Rizka Al Usrah (2015). Laksamana Keumalahayati Simbol Perempuan Aceh (Peranan Dan Perjuangannya Dalam Lintasan Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam 1589-1604. Tesis. Universitas Negeri Medan

[14] Cut Rizka Al Usrah (2015). Laksamana Keumalahayati Simbol Perempuan Aceh (Peranan Dan Perjuangannya Dalam Lintasan Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam 1589-1604. Tesis. Universitas Negeri Medan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun