Mohon tunggu...
Nursyifa Azzahro
Nursyifa Azzahro Mohon Tunggu... Dosen - Linguist

Dosen Sastra Jepang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Alasan

12 November 2023   16:23 Diperbarui: 12 November 2023   17:48 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di balik sapa lembutmu, aku tahu ada gundukkan awan hitam yang sewaktu-waktu akan memecah keramahan. 

Saat senyum berbalut hasad, aku tahu betapa kehadiran ini tak kau harapkan. 

Tapi aku di sini untuk sebuah alasan. Sebuah alasan yang tetap memaksaku tinggal di ruang pengap dan beraroma busuk ini.

Selangkah demi selangkah kucoba tapaki dengan janji. Tentang kesetiaan bersama Mahacinta yang sejati. 

Meski engkau belum bosan dengan cacian itu, aku mencoba usap air lelah di bawah dahi yang menetes tiada henti. 

Kemarilah, duduklah di bangku ini! Kau kan rasakan betapa panasnya berada di sini.

Sehelai surat pengaduan ini telah rampung kutulis. Namun kemudian aku ragu, harus kepada siapa aku berikan ini? 

Sedangkan mereka semua tak sedikitpun memberi pintu pertanda sudi menerima dan membaca lembaran hitam ini. Lalu kusimpan kembali ia di dalam diam.

Lelah!

Namun kesabaran itu tiada mengenal ujung. Ia setia dalam lingkaran yang tak berakhir. 

Adakah waktu itu kan bergulir? 

Di mana ada satu manusia yang sudi membaca guratan pena yang masih kaku ini. Satu saja, satu saja... Aku butuh partner!

Aku mengadu dalam bisu. "mengapa aku sendiri?"

Namun seketika gelap mengepung. Lembaran ujung senyummu masih basah di kornea ini. 

Mengapa hanya senyum yang bicara? Itupun hanya sekedarnya saja. 

Lalu bagaimana dengan kita? 

Bukankah kita satu? 

Lalu apa bedanya naunganmu dengan naunganku?

Seharusnya kita punya satu alasan yang sama berada di sini. Dan kita akan tetap saling menjaga ukhuwah. Yang lantas tidak pergi untuk menerjemahkan satu senyum penuh dusta.

Aku sudah kehabisan akal menjamahmu dalam dakwah. Kau tetap memilih ia sebagai panutan. 

Namun Muhammad tak pernah mengajarkan untuk menyerah. Aku terdiam di depan rumahmu, rumahku, rumah kita. 

Seperti ada penghalang yang menahanku masuk. Aku terdiam dalam malam bertahta bintang. Ragu...


Lantas kau keluar dan menatapku pilu. Mencoba cermati makna yang terkandung dalam genangan air mata yang masih saja berat untuk menetes. 

Untuk kali pertama kau sempatkan waktu melihat dalam hatiku yang robek. Dalam percakapan bisu tengah malam itu, aku sudah tak mau lagi berharap engkau memberi pintu. 

Terlalu sakit, ketika harapan itu lagi dan lagi membiru. Benar saja, engkau pergi tanpa kata.

Hah, sudah kuduga!

Air mataku meninggi ketika mengingat semuanya. 

Dulu, saat kau belum terjun dalam dunia itu, kau masih ramah menyapaku. 

Tawapun begitu lepas mengiringi indahnya hari-hari bersamamu. 

Namun setelah hari itu, setelah kutemukan kau dalam barisan hitam tak bercelah, kau lupa tentang aku dan kenangan kita.

Mungkin kepalamu pernah terbentur lalu hilang ingatan. Atau harus kubenturkan lagi agar kau kembali seperti semula? 

Aku ini sahabatmu...

Kau sedang berlari dalam lorong gelap tak bertumpu. Kau tak melihat kegelapannya, dan aku harus menuntunmu kembali, kawan. 

Kau bukan yang dulu, kini kau manjakan nafsu untuk berkarya turuti naluri yang kau katakan inspirasi, kreasi dan ambisi.

Kau bukan yang dulu, kini kau setia pada pikiran kerucut yang semakin menyempit, mengecil dan membatasi kreasi berpikirmu. 

Kau katakan ini untuk Illahi? 

Tapi, coba lihat relmu! 

Adakah di sana kau temui ilhami?

Ini tentang ideologi, dan tak bisa kubiarkan kau pergi bersama ideologi mereka. 

Ini tentang janji yang menyesatkanmu. Bukan tentang isinya, namun caranya... Kau tahu, kawan. Aku kecewa mendengar perkataanmu kemarin.

"Jangan buat resensi dulu, kalau belum baca bukunya"


"Lalu kau akan tetap membacanya sekalipun itu adalah buku gelap?"


Don't judgje the book by its cover.

Yes, that's right. But If the cover shows porn's picture, will you still wanna read it? (Untuk beberapa hal, kita perlu mempertimbangkan covernya, kawan!)

Dari riwayat yang terlanjur rusak
Kucoba ukir toleransi
Di atas perang ideologi

Dua pintu itu adalah keputusan
Berbanding lurus dengan pilihan
Turuti intuisi kepercayaan

Kita berada dalam jembatan bimbang
Percaya bahwa dunia begitu menakutkan dan memesona
Karena terkadang desain teramat menipu

'hidup begitu dekat dan ketiadaan begitu megah' (Goenawan M)
Kau tau kawan?
Ada kalanya kita menikmati kemegahan

Bandung, 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun