Lantas kau keluar dan menatapku pilu. Mencoba cermati makna yang terkandung dalam genangan air mata yang masih saja berat untuk menetes.Â
Untuk kali pertama kau sempatkan waktu melihat dalam hatiku yang robek. Dalam percakapan bisu tengah malam itu, aku sudah tak mau lagi berharap engkau memberi pintu.Â
Terlalu sakit, ketika harapan itu lagi dan lagi membiru. Benar saja, engkau pergi tanpa kata.
Hah, sudah kuduga!
Air mataku meninggi ketika mengingat semuanya.Â
Dulu, saat kau belum terjun dalam dunia itu, kau masih ramah menyapaku.Â
Tawapun begitu lepas mengiringi indahnya hari-hari bersamamu.Â
Namun setelah hari itu, setelah kutemukan kau dalam barisan hitam tak bercelah, kau lupa tentang aku dan kenangan kita.
Mungkin kepalamu pernah terbentur lalu hilang ingatan. Atau harus kubenturkan lagi agar kau kembali seperti semula?Â
Aku ini sahabatmu...
Kau sedang berlari dalam lorong gelap tak bertumpu. Kau tak melihat kegelapannya, dan aku harus menuntunmu kembali, kawan.Â