Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Melihat Kembali Tragedi WTC 11 September

11 September 2016   20:41 Diperbarui: 10 September 2018   13:55 1427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awan Kelabu menyelimuti Amerika Serikat pada 11 September 2001. Di hari yang nahas itu, serangkaian serangan bom bunuh diri mengguncang Amerika, menargetkan sejumlah kota. Puncaknya, menara kembar World Trade Center New York City runtuh ditabrak pesawat yang dibajak teroris.

Kejadian yang diduga melibatkan kelompok militan Al Qaida itu menewaskan ribuan orang, membuat terguncang masyarakat Amerika, menggemparkan dunia, membuat kepanikan, dan trauma mendalam, bahkan masih terasa hingga sekarang.

Kini, 15 tahun setelahnya, Amerika memang telah bangkit dan kembali tertata, namun duka dan luka masih terasa meski telah lebih dari satu dasawarsa.

Memori luka mengeja banyak cerita yang berceceran di mana-mana bahkan sampai ke media warga Kompasiana di Indonesia.

Sejumlah kenangan, kesaksian, pengalaman, cerita, dan obituari terkait pristiwa terorisme bersejarah itu juga sampai Ke Kompasiana, sejumlah warga biasa.

Orang-orang Indonesia berbagi cerita tentang salah satu musibah terburuk yang menimpa Amerika itu, dari beberapa tulisan yang terkumpul di Kompasiana, inilah intisarinya:

1. Kisah Nyata 11 September 2001, Pengalaman Pahit Seumur Hidupku

Bagi Kompasianer Joe, peristiwa 11 September 2001 akan menjadi kisah perjalanan seumur hidup, dan bila memasuki bulan September seperti sekarang, Joe merasa masih trauma dan teringat akan peristiwa 15 tahun lalu itu pasalnya, Joe adalah salah satu saksi yang merasakan langsung tragedi berdarah itu.

Diungkapkan Joe dalam artikelnya, saat itu ia bekerja 3 blok dari 9 West side Hwy (nama Jalan besar di depan Gedung World Trade Center), tepatnya di Barclay street. Jarak tempuh dengan jalan kaki dari Stasiun Kreta Api bawah tanah dari Gedung World Trade Center ini kurang lebih 15 menit dengan sebutan Trinity Area.

Baru satu jam lebih Joe dan teman-teman kantornya bekerja, mereka mendengar suara deru mesin pesawat yang begitu keras. Joe berpikir suara itu adalah suara Helikopter yang biasa berputar-putar di wilayah untuk melayani turis mengelilingi Battery Park area dengan istilah New York Sky tour.

Namun dalam hitungan menit saja, mereka merasakan seperti Gempa bumi besar, dan emergensi alarm di gedung berbunyi kencang. Pihak pengelola gedung segera memberitahukan untuk segera keluar dari dalam gedung karena ada hal yang sangat gawat di sekitar wilayah perkantoran.

"Para pekerja di Gedung perkantoran kami saat itu diberitahukan untuk tidak menggunakan lift karena listrikpun hanya memakai genset dari gedung," demikian ungkap Joe.

Ada beberapa teman sekantor Joe waktu itu, berusaha untuk meninggalkan wilayah itu karena gumpalan debu dan asap yang sangat pekat serta material lain yang mereka rasakan dan lihat pada waktu itu.

Namun angkutan umum yang dihentikan oprasionalnya saat itu memaksa Joe dan teman-temannya keluar ke mana saja mencari tempat yang sekiranya aman dengan mengandalkan jalan kaki.

Pengalaman yang menarik dan mencekam, untuk cerita selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.

2. Sepotong Cerita Tragedi 9/11

Selasa 11 September 2001, Bambang A Haryanto yang saat itu tinggal dan bekerja di negeri Paman Sam hendak berangkat kerja setelah mengantar anaknya yang saat itu duduk di bangku TK.

Ungkap Bambang, dalam perjalanan ke kantor tidak terdapat hal-hal yang aneh. Semuanya terlihat normal. Lalu lintas pagi di Queens Boulevard sebagaimana biasa cukup padat oleh kendaraan yang sebagian besar menuju distrik bisnis tersibuk di AS: Manhattan.

Pemandangan yang tidak biasa mulai terlihat ketika Bambang melintasi jembatan Queensborough sekitar pukul 9 pagi itu. Ketika perlahan melintasi jembatan itulah dari kejauhan sebelah kiri Bambang melihat asap mengepul dari salah satu menara kembar.

Semakin mendekati pertengahan Queensborough Bridge, asap terlihat semakin jelas dan tampak api menyala.

Saat itu ia hanya menduga bahwa kemungkinan telah terjadi kebakaran di salah satu gedung tertinggi di New York tersebut.

Anehnya, sejauh itu belum terdapat breaking news. Radio yang terdapat di mobil masih menyiarkan lagu-lagu pop seperti biasa.

Lalu kemudian memang tersiar breaking news di radio yang menyebutkan bahwa telah terjadi kebakaran pada salah satu menara kembar akibat pesawat yang crashed.

Namun situasi lebih jelas ditayangkan secara close up oleh siaran langsung di televisi. Pemandangan paling mengenaskan adalah ketika terlihat orang-orang yang sudah tidak tahan oleh panasnya api dan mungkin putus asa karena mengira tidak akan mendapatkan pertolongan lagi, hingga kemudian melompat dari jendela-jendela menara kembar WTC dan menerjunkan dirinya ke bawah, papar Bambang.

Situasi mencekam dan mengerikan terjadi lagi pada saat menara pertama runtuh yang tidak lama berselang disusul oleh ambruknya menara kedua.

Ketika itu hampir tidak dapat dipercaya bahwa gedung pencakar langit yang begitu kokoh dan dirancang lentur untuk tahan gempa dapat hancur berkeping-keping bersama seluruh orang-orang dan isi didalamnya. Kenangnya.

Pengalaman yang mencekam, untuk ulasan selanjurnya bisa dibaca di artikel tersebut.

3. Kisah Duka World Trade Center, New York [Tajuk Ide - 22]

Duka, luka, dan tragedi ternyata tetap tak sanggup menafikan naluri kemanusiaan. Hal itu dituliskan Wislan Arif dalam artikelnya.

Dalam artikel tulisannya Wislan menuliskan temuan benda-benda yang tersisa dari tragedi nahas itu. Wislan yang mengutip majalah National Geographic edisi September 2010 itu menuliskan kembali apa saja benda-benda sisa bernilai kemanusiaan yang ditemukan pasca tragedi berdarah itu, di antaranya secarik kertas dengan kata-kata cinta dari seorang wanita; seuntai tasbih atau rosario ---benda yang lazim menyertai seseorang yang selalu mengingat Sang Pencipta-nya (konon titipan dari seorang istri untuk sang suami); uang kertas USD 2 milik wanita yang bekerja di lantai 98 WTC; dan ada pula Alkitab yang telah melebur dalam cairan besi yang telah membeku.

Artikel yang menarik, untuk ulasan selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.

4. Pengalaman Pilu saat Tragedi 11 September di New York

11 September 2001, di hari kelabu itu, Michael Sendow sedang makan siang bersama teman kantornya sehabis menyelesaikan suatu pekerjaan di sekitar menara WTC.

Selesai makan, mereka bergegas hendak pulang, saat itulah sejarah kelam itu dimulai.

Sebuah momen di mana Manhattan will never be the same again. The Manhattan as we know it will never be the same again. Gedung kembar hancur berkeping-keping ditabrak pesawat yang dikendalikan teroris.

"Diiringi tetes darah dan air mata, ribuan nyawa melayang dalam hitungan detik. hari itu menjadi Kekalahan sebuah peradaban, kalahnya manusia yang beradab," kenang Michael pilu.

Hanya beberapa blok dari posisi mereka, terdengar bunyi gelegar dan reruntuhan gedung. Getaran tanah di bawah kaki sangat terasa beriringan dengan bisingnya gemuruh suara ledakan di telinga. Tak ada satu kata pun yang keluar baik dari Michael maupun temannya. Mereka hanya terpaku, dan melongo heran.

Lanjut Michael, lalu dari arah berlawanan, terlihat orang-orang mulai berlarian, wajah dan tubuh mereka tertutup debu dan berdarah-darah.

Ia juga melihat teman kantornya secara spontan membuka kemeja putihnya lalu menolong seorang ibu yang berdiri dekatnya, wajahnya penuh luka.

Orang Polandia ini lalu memberikan dan membiarkan kemejanya dipakai untuk mengusap wajah Ibu yang penuh dengan debu serta darah.

Hanya beberapa jam atau menit setelah kejadian itu, sontak semua hubungan terputus dan serempak jalur komunikasi macet total.

Artinya, Michael dan temannya tidak bisa pulang ke New Jersey, tempat kami tinggal untuk bertugas, sebab tidak ada bus, mobil, atau pun kereta yang boleh (dibolehkan) jalan. Hubungan New York dan New Jersey putus sementara.

Pengalaman yang mencekam, dengan sisi kemanusiaan yang tak luput. Untuk cerita selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.

**
15 tahun sudah musibah terburuk bagi Amerika itu menjadi sejarah, banyak duka menjadi cerita. Itulah ragam catatan dan ingatan Kompasianer tentang tragedi kemanusiaan Nine Eleven.

**
Ya, kita memang perlu mencatat peristiwa dan merawat ingatan untuk mengambil pelajaran agar tak lagi mengulang kesalahan yang membawa duka. Namun kehidupan di depan harus tetap berlanjut sekarang dan seterusnya.

Semoga cukup sekali tragedi nahas itu terjadi, semoga kejadian serupa tidak terulang kembali.

Salam Kompasiana!
*Penulis masih belajar, mohon koreksinya :)
*Tulisan sejenis lainnya bisa dibaca dalam tag Intisari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun