Selesai makan, mereka bergegas hendak pulang, saat itulah sejarah kelam itu dimulai.
Sebuah momen di mana Manhattan will never be the same again. The Manhattan as we know it will never be the same again. Gedung kembar hancur berkeping-keping ditabrak pesawat yang dikendalikan teroris.
"Diiringi tetes darah dan air mata, ribuan nyawa melayang dalam hitungan detik. hari itu menjadi Kekalahan sebuah peradaban, kalahnya manusia yang beradab," kenang Michael pilu.
Hanya beberapa blok dari posisi mereka, terdengar bunyi gelegar dan reruntuhan gedung. Getaran tanah di bawah kaki sangat terasa beriringan dengan bisingnya gemuruh suara ledakan di telinga. Tak ada satu kata pun yang keluar baik dari Michael maupun temannya. Mereka hanya terpaku, dan melongo heran.
Lanjut Michael, lalu dari arah berlawanan, terlihat orang-orang mulai berlarian, wajah dan tubuh mereka tertutup debu dan berdarah-darah.
Ia juga melihat teman kantornya secara spontan membuka kemeja putihnya lalu menolong seorang ibu yang berdiri dekatnya, wajahnya penuh luka.
Orang Polandia ini lalu memberikan dan membiarkan kemejanya dipakai untuk mengusap wajah Ibu yang penuh dengan debu serta darah.
Hanya beberapa jam atau menit setelah kejadian itu, sontak semua hubungan terputus dan serempak jalur komunikasi macet total.
Artinya, Michael dan temannya tidak bisa pulang ke New Jersey, tempat kami tinggal untuk bertugas, sebab tidak ada bus, mobil, atau pun kereta yang boleh (dibolehkan) jalan. Hubungan New York dan New Jersey putus sementara.
Pengalaman yang mencekam, dengan sisi kemanusiaan yang tak luput. Untuk cerita selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.
**
15 tahun sudah musibah terburuk bagi Amerika itu menjadi sejarah, banyak duka menjadi cerita. Itulah ragam catatan dan ingatan Kompasianer tentang tragedi kemanusiaan Nine Eleven.