Bising merajah aksara
Jejak sejakku lenyap di ubun-ubun kota
Langit belum mendekap purnama
Mungkin ia belum ingin
Namun Pasang lebih dulu tiba
Seketika membungkam Jakarta
Â
Menengok sebentang Rabu abu
Pada September yang dulu
Dimanakah serunai pualam?
Ilalang yang kutitipkan kisah panjang Rabu itu
Merunduk tersapu angin senja
Malam menghampiriku setelahnya
Dengan bulan separuh wajah
Â
Merambati sepucuk Rabu abu
Sekumpul tanya meledak dalam benak
Sementara kakiku menyusur jejak
Secepat kereta delapan kuda
Aku mengejar pertanda
Sembari membendung banjir sedapatnya
Genangan dimataku sendiri
Â
Meniti Rabu abu yang kiniÂ
Menanti kamis sebelas di bulan dua
Maka puisi adalah ucap yang puasa
Bahkan ia akan terus berbicara
Meski Tak didengar iramanya
Â
Aku tetiba terbangunÂ
Kamu, butiran air yang bergulir turunÂ
Tertatih letih di ujung daun Â
Apakah masih sama: bernama embun?Â
Â
Aku mulai tak mengenali
Kamu yang sengaja pergiÂ
Sebab musim tak pasti
Ataukah ini anomali?
Entah apa yang tepat menamai
Diantara itu ada jeda, tapi
Â
Aku menolak rebahÂ
Meski kaki ini patah
Aku tak akan menyerah
Dengan atau tanpa kamu
Masih ada aku pada sebait Rabu
Hingga nantiÂ
Gelap berganti cahaya
Sampai abu menghilang sendirinya
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H