Mohon tunggu...
Syifa Chairunnisa
Syifa Chairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Wanita awal 20-an yang ingin belajar menulis dan hal-hal baru serta mampu menyajikan konten kreatif

Mahasiswi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta - Singer and Travel Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menilik Lebih Jauh Sudut Stasiun Bogor

17 Desember 2021   06:53 Diperbarui: 17 Desember 2021   06:58 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah salat subuh, ia bergegas dengan jarak tempuh hampir dua jam menuju Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Stasiun Bogor setiap harinya. Ia biasa pulang ke rumah saat fajar telah tenggelam di lautan.

"Pokoknya habis subuh berangkat pulangnya biasa jam 7 darisini sampe rumah jam 8-an, Abah ga bisa mandi air dingin harus selalu masak air panas takut sakit. Kemarin juga anak ngajak salat gerhana Abah ga ikut badan lagi sakit jadi langsung tidur habis mandi".

Terik matahari mulai memasuki celah-celah tiang (JPO) Stasiun Bogor, angin pun sedikit berhembus menerbangkan spanduk-spanduk yang terpasang di sisi tangga. Bising klakson kendaraan cukup memekakkan telinga. Beginilah tempat berdagang Abah Tohir, tak mengeluh justru Abah Tohir bersyukur masih diberi rezeki setiap harinya.

Tarif jasa timbang berat badan yang dipasangnya memang hanya Rp 3.000. Namun, Abah Tohir terlihat tidak mau diberi uang lebih cuma-cuma. Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, Abah Tohir meminta pelanggan menaiki alat timbang. "Ayo ditimbang dulu", tuturnya sambil mengajak guyon pelanggan.

Dengan kondisi sedikitnya orang yang berlalu-lalang di sepanjang (JPO) akibat pandemi, Lelaki yang tak sempat mendapat ijazah SD ini tetap bersemangat menjual jasa timbang berat badan.

Pendapatan yang tidak seberapa itu berharap bisa mencukupi kehidupan lima anak dan satu cucunya. Abah Tohir rela pulang-pergi dengan jarak jauh untuk berjualan. "Biasanya cuma dapet Rp 50.000 sehari, Rp 20.000 nya buat ongkos angkot, sekarang apalagi sepi corona", imbuh Kakek berusia 87 tahun itu.

Meskipun resiko diusir SATPOL PP, namun Abah Tohir tetap semangat mencari nafkah demi anak-anak dan cucunya. Ia terlihat sangat menyayangi cucunya itu karena dihampir setiap pembicaraan terselip nama Ica.

"Kemarin Ica pengen berenang sama temen-temennya, Alhamdulillah baju renang kebeli kasian Ica gaada ibunya Abah yang rawat", dengan mata sedikit berkaca-kaca abah melanjutkan kembali ceritanya. "Kadang Ica juga ikut kesini neng nemenin Abah" tambahnya.

Selain tujuan mencari nafkah, dibanding berdiam diri dirumah Abah Tohir memutuskan untuk menghabiskan waktunya menjajakan jasa timbang berat badan saja di (JPO) Stasiun Bogor karena hal itu membuatnya senang. (SUC)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun