Lelaki dengan penampilan rambut putih yang memenuhi kepala, kumis dan alis. Juga kerutan di hampir seluruh wajahnya serta gigi yang tertinggal sedikit ini menjajakan jasa timbang berat badan di salah satu sudut Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Stasiun Bogor.
SYIFA ULYA CHAIRUNNISA, Bogor.
Abah Tohir yang ditemui pada Jum'at, (28/05/21) ini menyambut dengan senyuman dari kejauhan. Siapa sangka, lelaki yang telah memasuki usia lansia ini fisiknya terlihat lebih muda dari umur sebenarnya.
Mungkin karena gaya berpakaian Abah Tohir yang sedikit nyentrik dengan syal merah polkadot mengelilingi lehernya, jam tangan di lengan kiri dan batu akik di jari kanan lengkap dengan topi yang menghiasi kepala ia terlihat lebih muda. "Abah sekarang umur 87 neng, lahir tahun 33", ungkap Abah Tohir.
Bermodalkan satu alat timbang berat badan disertai tulisan "Mari timbang badan Rp 3.000" menjadi usaha jasa yang unik di tengah masyarakat kini. Jangan salah, tarif jasa timbang berat badan seharga Rp 3.000 itu mampu menghidupkan kelima anak dan satu cucunya bernama Ica yang masih tinggal serumah dengan Abah Tohir.
"Punya anak 5 tinggal sama abah ada juga cucu kadang dibawa kesini neng nemenin namanya Ica kelas 5 SD kasian ditinggal ibunya, abah sedih", tambah Abah Tohir sambil menyeka air matanya perlahan.
Abah Tohir yang tinggal di Desa Ciampea Kabupaten Bogor itu mengaku baru menginjak 5 tahun menjual jasa timbang berat badan. Saat masih muda dulu, ia bekerja di salah satu bank daerah Jakarta Pusat. Dengan suatu alasan, Abah harus keluar dari tempat bekerjanya. Sempat lama juga berjualan es kelapa yang laku disukai orang, namun usaha Abah berhenti
Di sudut JPO yang beralaskan semen dengan luas kurang dari 2 meter itulah Abah Tohir menghabiskan hari-harinya. Ia mengaku senang membuka jasa timbang berat badan disini karena bisa ngobrol bersama teman sesama pedagang juga pelanggan yang datang.
"Senengan gini neng Abah bisa ketemu temen kalo dirumah pusing, istri juga kan udah gaada", jelasnya dengan tatapan sedih namun tetap mengembangkan senyumnya ramah.
Kegigihan dan semangat Abah Tohir mampu menjadi teladan bagi anak muda zaman sekarang. Lelaki kelahiran 1933 itu mengadu nasibnya dari sebelum fajar menyingsing.
Setelah salat subuh, ia bergegas dengan jarak tempuh hampir dua jam menuju Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Stasiun Bogor setiap harinya. Ia biasa pulang ke rumah saat fajar telah tenggelam di lautan.
"Pokoknya habis subuh berangkat pulangnya biasa jam 7 darisini sampe rumah jam 8-an, Abah ga bisa mandi air dingin harus selalu masak air panas takut sakit. Kemarin juga anak ngajak salat gerhana Abah ga ikut badan lagi sakit jadi langsung tidur habis mandi".
Terik matahari mulai memasuki celah-celah tiang (JPO) Stasiun Bogor, angin pun sedikit berhembus menerbangkan spanduk-spanduk yang terpasang di sisi tangga. Bising klakson kendaraan cukup memekakkan telinga. Beginilah tempat berdagang Abah Tohir, tak mengeluh justru Abah Tohir bersyukur masih diberi rezeki setiap harinya.
Tarif jasa timbang berat badan yang dipasangnya memang hanya Rp 3.000. Namun, Abah Tohir terlihat tidak mau diberi uang lebih cuma-cuma. Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, Abah Tohir meminta pelanggan menaiki alat timbang. "Ayo ditimbang dulu", tuturnya sambil mengajak guyon pelanggan.
Dengan kondisi sedikitnya orang yang berlalu-lalang di sepanjang (JPO) akibat pandemi, Lelaki yang tak sempat mendapat ijazah SD ini tetap bersemangat menjual jasa timbang berat badan.
Pendapatan yang tidak seberapa itu berharap bisa mencukupi kehidupan lima anak dan satu cucunya. Abah Tohir rela pulang-pergi dengan jarak jauh untuk berjualan. "Biasanya cuma dapet Rp 50.000 sehari, Rp 20.000 nya buat ongkos angkot, sekarang apalagi sepi corona", imbuh Kakek berusia 87 tahun itu.
Meskipun resiko diusir SATPOL PP, namun Abah Tohir tetap semangat mencari nafkah demi anak-anak dan cucunya. Ia terlihat sangat menyayangi cucunya itu karena dihampir setiap pembicaraan terselip nama Ica.
"Kemarin Ica pengen berenang sama temen-temennya, Alhamdulillah baju renang kebeli kasian Ica gaada ibunya Abah yang rawat", dengan mata sedikit berkaca-kaca abah melanjutkan kembali ceritanya. "Kadang Ica juga ikut kesini neng nemenin Abah" tambahnya.
Selain tujuan mencari nafkah, dibanding berdiam diri dirumah Abah Tohir memutuskan untuk menghabiskan waktunya menjajakan jasa timbang berat badan saja di (JPO) Stasiun Bogor karena hal itu membuatnya senang. (SUC)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H