Mohon tunggu...
Syekh Muchammad Arif
Syekh Muchammad Arif Mohon Tunggu... Konsultan - Menawarkan Wacana dan Gagasan Segar sertaUniversal

syekh muhammad arif adalah motivator dan bergerak di bidang konsultasi pendidikan dan pemerhati sosial dan keagamaan universal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penghormatan Habib: Syiar Islami atau Perbudakan Spiritual? Bagian Terakhir dari Dua Tulisan

25 November 2020   13:14 Diperbarui: 25 November 2020   14:09 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perhatian Al-Qur'an Terhadap Masalah Dzurriyah (Keturunan)

Allah berfirman: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. (QS. An-Nisa: 9)

Yang perlu digarisbawahi dalam ayat ini adalah kata "dzurriyah dhi'afan"(keturunan yang lemah). Sebagian ahli tafsir memaknainya sebagai anak-anak yang tidak mampu dan tidak memiliki pelindung (wali). Dan zahir ayat ini menggambarkan dan menunjukkan kasih sayang dan cinta pada anak-anak kecil dan anak-anak yang tidak mampu (yang tak mempunyai wali). Menurut hemat saya, secara lebih luas "dzurriyah dhi'afan"mungkin juga bermakna anak-anak yang lemah ekonomi, lemah kasih sayang (tak ada yang mengurus dan memperhatikannya) dan yang tak kalah pentingnya lemah pendidikan.

Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. At-Thur: 21)

Yang menarik dalam ayat ini ditegaskan bahwa dzurriyah (keturunan) yang mengikuti orang-orang tua mereka dalam keimanan digolongkan dan dikumpulkan oleh Allah bersama orang tua mereka, meskipun level keimanan mereka tidak sama dengan orang tua mereka.

Sebab, bila hanya dzurriyah yang keimanannya sama atau lebih tinggi daripada orang tuanya yang dimasukkan (bersama orang tuanya), maka di sini tidak ada minnah (kenikmatan/anugerah) dari Allah yang patut disyukuri. Ayat ini secara tidak langsung mengisyaratkan keberkahan dan pengaruh keimanan dan ketakwaan orang tua dan nenek moyang terhadap anak-anak dan keturunan.

Dan satu poin penting lagi dalam ayat ini adalah masalah ittiba' (mengikuti) leluhur dengan keimanan yang disebutkan secara mutlak (umum) dan tanpa qaid (syarat dan penjelasan) apapun. Ini memberi pesan bahwa kamu keturunan orang yang baik dan ini nikmat  dan anugerah dari Allah. Yang penting kamu beriman (bertauhid) selevel apapun akan diterima oleh Allah, meskipun kamu gagal menyamai level keimanan orang tuamu.

Kecintaan Kepada al-Qurba Sebagai Imbalan Dakwah Nabi saw

Perhatian Al-Qur'an tentang masalah keluarga dan keturunan tampak pada penegasan perihal kecintaan kepada al-qurba (ahlul bait Rasulullah saw) sebagai imbalan dakwah Nabi saw. Dalam hal ini, Allah memerintahkan Rasul saw untuk meminta "upah" ini kepada umatnya melalui ayat:

Katakanlah (Muhammad), "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang  kepada keluarga." (QS. Asy-Syura: 23)

Terkait dengan ayat tersebut, Sya'labi menulis: Dzil Qurba (keluarga) Nabi saw yang dimaksud adalah Ali, Fatimah, dan dzurriyah (keturunan) keduanya. (Tsa'labi, 1425 H, jilid 5, hal. 388). Fakhruddin ar-Razi berpandangan bahwa Dzil Qurba masih diperdebatkan.Tapi sebagian berpandangan mereka adalah Bani Hasyim. Syafi'i berpendapat, mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Ada juga yang berpandangan, mereka adalah keluarga Ali, Jakfar,Aqil dan keluarga Abbas dan keturunan Harist bin Abdul Muthalib dan ini pendapat Abu Hanifah. (Fakhruddin ar-Razi, 1401 H, jilid 8, hal. 171). Pendapat apapun yang terpilih, ini menunjukkan bahwa kedekatan secara nasab dengan Rasulullah saw itu membawa keberkahan dan kebaikan serta penghargaan khusus dari Allah Swt.

Poin menarik dari ayat ini adalah penggunaan kata "mawaddah" yang bermakna cinta yang diekspresikan. Mungkin hikmah shalawat kepada Nabi saw yang dikeraskan/dinyatakan adalah untuk menunjukkan kecintaan ini, tak perlu malu dan ragu.

Penisbahan Nasab Kepada Ibu

Sejarah mencatat bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak menghargai wanita dan nasab mereka hanya dikenal dan diakui melalui jalur ayah-ayah (kaum Adam) dan kakek-kakek mereka dan mereka membanggakan hal ini, bahkan tidak jarang mereka siap mati dan perang untuk menjaga nasab. Pemikiran Jahiliyyah ini berakhir dengan diutusnya Nabi saw dan kelahiran Siti Fatimah az-Zahra, anak semata wayang beliau yang bertahan hidup. Turunnya surat al-Kautsar menegaskan bahwa musuh-musuh Rasulullah saw abtar (tidak berketurunan), sebab mereka meyakini bahwa keturunan beliau akan berakhir dengan kelahiran Fatimah karena anak-anak laki beliau meninggal semua saat masih kecil, seperti Ibrahim dan Qasim. Tetapi mukjizat surat al-Kautsar menjungkirbalikkan prediksi musyrikin tersebut dan terbukti bahwa meskipun Bani Umayyah dan Bani Abbas melakukan tekanan dan pembantaian terhadap dzurriyyah (keturunan Nabi saw) namun generasi pelanjut dakwah beliau tetap ada dan tersebar di pelbagai penjuru dunia dan berada di front terdepan dalam pembelaan terhadap syariat datuknya serta menjadi pilar tauhid yang kokoh.

Penghormatan Habib dan Perbudakan Spiritual     

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim: 37).

Surat Ibrahim tersebut menegaskan bahwa kecintaan kepada keturunan yang baik dan saleh dari kalangan habaib adalah bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim yang memang meminta kepada Allah supaya anak keturunannya dicintai oleh banyak orang dan Baginda Nabi Muhammad garis keturunannya bersambung kepada Nabi Ibrahim.  Dan Nabi Ibrahim dikenal sebagai bapak tauhid dan kisah heroiknya yang mengalungkan alat penghancur berhala diabadikan dalam Al-Qur'an sehingga siapapun yang mencintai keturunan beliau yang saleh maka kecintaannya bernafas tauhid, bukan syirik apalagi dianggap sebagai perbudakan spiritual.

Meskipun di ayat yang lain diberitakan bahwa nikmat mahabbah (dicintai banyak orang ini) juga mengundang hasud dan iri mereka yang meminjam istilah Al-Qur'an---fi qulubihim maradh (di hati mereka mengendap penyakit) sebagaimana ayat berikut ini:

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar. (QS. An-Nisa': 54).

Dalam surat al-Kahfi ditegaskan bahwa Allah menurunkan inayah rabbaniyyah (perhatian khusus)-Nya terhadap dua anak yatim semata karena kesalahen ayah keduanya. Coba perhatikan ayat di bawah ini: Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya" (QS. Al-Kahfi: 82)

Ya, anak yatim tersebut dimuliakan dan dihormati serta "didewakan" dan dijaga hartanya dan jiwanya karena semata keimanan dan kesalahen ayahnya.

Fenomena Habib Tholeh

Adalah jelas bahwa menjadi habib itu bukan  ikhtiyari (pilihan) tapi iradah (kehendak) dan  hibah (anugerah) Ilahi. Sebagaimana maqam tahthir atau derajat kesucian (baca surat al-Ahzab: 33 dan tafsirnya) yang dianugerahkan kepada ahlul bait tidak diperoleh oleh semua orang tapi maqam spiritual agung ini berasaskan iradah Ilahiyyah.

Yang menjadi masalah adalah fenomena habib tholeh (tholeh adalah lawan dari saleh). Habib tholeh berarti orang yang nasabnya bersambung kepada Nabi saw tapi tapi akhlak dan perilakunya tidak mencerminkan akhlak nabawi. Di sini kita harus bersikap jujur, proporsional dan obyekjtif. Jangan sampai kesalahan habib tholeh merambat ke habaib semuanya.

Bagaimanapun habib tholeh juga manusia biasa yang mungkin saja berbuat khilaf dan dosa. Adalah tidak adil dan tidak benar dosa "seseorang" (habib tholeh) kita timpakan pada "banyak orang" (baca: habib yang saleh). Maka, mencintai dan memuliakan habib yang saleh adalah cinta karena Allah dan tetap memuliakan habib tholeh dan tidak mengikutinya semata karena kecintaan kepada Nabi saw.

Rasulullah bersabda: "Demi dzat yang menguasai jiwa ragaku, tidaklah seseorang marah (mencaci dan membenci) kepada keluargaku kecuali Allah akan menceburkan ke dalam neraka." (HR. Al-Hakim).

Almaghfurlah Mbah yai Maimun Zubair berkata: "Jangan sampai berani menghina Sayyid (keturunan nabi -penulis). Bagaimanapun, ada darah Kanjeng Nabi pada mereka. Kalau tidak suka, anggap saja seperti sobekan Quran. Yang namanya sobekan, tidak bisa dibaca. Tapi jika diterlantarkan/dihina, jelas haram!

Dalam sebuh keterangan disebutkan, hormatilah anak-anakku (keturunanku) yang saleh karena Allah dan yang tholeh (tidak baik) karena aku.

Sayyid Abdullah Al-Haddad  mengingatkan:

"Seluruh kaum Muslimin hendaknya memastikan kecintaan dan kasih sayang mereka kepada Ahlul Bait, serta menghormati dan memuliakan mereka secara wajar dan tidak berlebih-lebihan."

  • Kesimpulan

Menjadi habib adalah anugerah dan nikmat khusus dari Allah yang harus dijaga keimanan dan akhlak hasanah. Habib harus sadar diri dan mawas diri serta bertanggung jawab terhadap identitas dan predikatnya sebagai habib. Sebagai figur religius dan simbol agama, habib harus sebaik dan sesempurna mungkin karena bagaimanapun banyak umat yang mengidolakannya. Sebagaimana ditegaskan Habib Zen, habib di samping harus berilmu luas, juga harus berakhlak mulia.

Dan alhamdulillah, ada ribuan  habaib yang saleh dan baik di negeri ini yang tidak kenal lelah dalam membimbing umat dengan caranya masing-masing dan mereka layak untuk dijadikan panutan dan dihargai.

Kedudukan sebagai habib jangan sampai mendatangkan ghurur (bangga diri), takabur (sombong), intihaz (aji mumpung/memanfaatkan untuk tujuan duniawi). Justru kecintaan dan kecenderungan umat pada habib harus dilihat sebagai modal pertama dan bagus untuk kemudian digunakan dalam jalan membimbing umat ke arah itmam akhlak (menyempurnakan budi pekerti) dan isyraq qulub (pencerahatan hati) serta iqath 'aql (kebangkitan akal). Lagi pula habib tidak boleh lupa terhadap kunci kepribadian  Rasulullah saw, yaitu rahmat dan cinta. Dimanapun berada dan bersama orang kafir sekalipun, pasti semua merasa aman dan nyaman bersama Kanjeng Nabi saw. Dan habib pun harus mewarisi adab cinta ini dari kakeknya. Dan sesuai namanya  habib, yang berarti kekasih alias orang yang hatinya penuh cinta, seorang habib harus menjadi pengajar cinta yakni, adakwah bil hubb (dengan cinta), fil hubb (dalam irama cinta) dan lil hub (demi cinta). Dan asalafuna shaleh (para pendahulu kita) sering kali mereka mengubah orang bukan dengan lisannya tapi dengan dakwah bil hal keadaan sehari-hari dan keteladanannya).

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati. (QS. Al-Hajj: 32).

Kecintaan dan kebersamaan dengan orang-orang yang saleh memiliki dasar Al-Qur'an. Dan salah satu doa Al-Qur'an yang dianjurkan dibaca adalah meminta dzurriyyah thayyibah (keturunan yang baik), lihat surat Ali Imran: 38).

Dan akhirnya, menghormati habaib tanpa pandang bulu termasuk  mengagungkan syiar agama. Di sini diperlukan kebersihan hati dan keimanan hati dan takwa hati. Karena persoalan hormat dan cinta adalah persoalan hati. Dan urusan hati memang berat, meskipun secara zahir gampang. Inilah ujian umat terhadap keturunan Nabi saw dan namanya ujian, tidak semua lulus.

(Syekh Muhammad 'Arif, Muhibbbin Ahlul Bait).

Referensi:

Ash-Shihah, Beirut, Nasyr dar al-Ilm.

Tafsir Kabir Mafatih al-Ghaib, Beirut Nasyr Dar al-Fikr.

https://irw.one/menyikapi-fenomena-habaib-di-indonesia/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun