Mohon tunggu...
Syehri Ally Reza
Syehri Ally Reza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Desain Produk Universitas Pembangunan Jaya

Mahasiswa S1 Universitas Pembangunan Jaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksistensi Agama Nusantara ditengah Globalisasi

9 Juni 2023   15:26 Diperbarui: 9 Juni 2023   15:34 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, salah satu bentuk kemajemukannya ialah adanya keberagaman agama yang dipeluk dan kepercayaan yang diyakini oleh penduduknya. Ada lima agama besar di Indonesia seperti islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konguchu. Selain lima agama besar tersebut terdapat juga agama atau aliran kepercayaan nusantara, yaitu agama yang telah lebih dulu ada sebelum masuknya agama-agama besar di Indonesia. Sebelum mengenal adanya agama, masyarakat nusantara telah memiliki keyakianan dan kepercayaan terhadp kekuatan diluar dirinya yang disebut gaib, mistis, roh, semesta dan keyakinan pada leluhur yang kemudian menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat.

Agama Kepercayaan Nusantara berkembang di Indonesia sejak zaman prasejarah. Beberapa dari agama asli masih hidup baik yang murni maupun telah gabungan (sinkretis) dengan agama asing, diantaranya seperti agama Hindu Bali, Kejawen serta Masade (Islam Tua). Akan tetapi kepercayaan asli yang telah hilang bisa hidup sebagai agama rakyat di antara umat Islam atau Kristen di dalam praktik adat di luar agama resmi, misalnya syamanisme Melayu dan kepercayaan kaum Abangan Jawa.

 

Eksistensi Agama Nusantara

 

Berdasarkan data dari Kementrian Dalam Negeri jumlah penganut aliran kepercayaan di Indonesia berumlah 126.515 penduduk, hanya sekitar 0.05 % dari total penduduk Indonesia. Menurut penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin sedikitnya pemeluk agama atau kepercayaan nusantara. Salah satu faktor yang mempengaruhi semakin sedikitnya jumlah penganut agama atau kepercayaan nusantara ialah adanya penyebaran agama-agama lain seperti islam dan Kristen, banyak masyarakat penganut agama atau kepercayaan nusantara yang mulai tertarik dan memutuskan untuk berpindah agama.

Faktor berikutnya yang mempengaruhi semakin sedikitnya jumlah penganut agama atau kepercayaan nusantara ialah hanya diakuinya 6 agama resmi di Indonesia, melalui penerbitan Penetapan Presiden No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh presiden soekarno. Dalam penjelasanya pemerintah hanya mengakui 6 agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius), sehingga masyarakat mulai terkelompok memilih salah satu agama resmi yang diakui negara, selain itu agama menjadi tanggung jawab pemerintah yang berada dalam Kementerian Agama RI, meskipun aliran kepercayaan maupun kebatinan diakui dan diatur dalam UUD 1945.

Selain beberapa faktor tersebut adanya globalisasi juga mempengaruhi eksistensi agama nusantara. Salah satu dampak negatif dari adanya globalisasi ialah adanya krsis identitas di tengah penganut agama atau keprcayaan nusantara. Globalisasi mengancam nilai-nilai yang dulu begitu kuat mengikat komunitas atau kelompok masyarakat. Di hadapan arus informasi dari internet dan industri komunikasi lainnya, nilai-nilai lama dipertanyakan, dan nilai-nilai baru bermunculan. Agama atau kepercayaan nusantara dianggap sesuatu yang kuno dan tidak lagi relevan di era saat ini.

Agama Kepercayaan Nusantara dan Globalisasi

Menurut Kenichi Ohmae, seorang cendekiawan jepang, bahwa globalisasi adalah Borderless World (dunia tanpa batas) yang mengundang kerjasama besar antar bangsa, sekat-sekat geografis, etnis, dan agama tidak menjadi rintangan. Realitas pengaruh Globalisasi dapat dengan mudah kita lihat pada aspek perkembangan teknologi komunikasi, transformasi dan informasi yang sedemikian cepat. Salah satu dari konsekuensi adanya globalisasi adalah  adanya proses  menyerupai antara satu sama lain  pada  tingkatan yang lebih besar  dari apa yang pernah dilakukan dimasa yang lalu yang tidak hanya bersifat fisik. Hal ini disebut dengan   homogenisasi dalam pengertian  berkembanganya sifat kesamaan.

Lalu bagaimana globalisasi dapat mempengaruhi agama nusantara? Tentu bisa, globalisasi mendorong adanya perubahan, perubahan perubahan yang terjadi pada umumnya mengarah atau berkiblat ke barat sebagai poros kemajuan teknologi. Budaya serta kebiasaan barat yang tidak sesuai terkadang berbentrokan dengan adat istiadat ataupun aturan dalam agama nusantara, yang membuat penganut agama nusantara mulai meninggalkan kepercayaannya karena dianggap kolot dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Globalisasi seperti dua belah mata pisau, bisa jadi menguntungkan atau sebaliknya. Bagaimana kita yang harus cermat dalam menyaring informasi dan budaya yang masuk, dan menambah kecintaan terhadap budaya dan nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

Agama Nusantara yang masih eksis hingga kini

Agama Kepercayaan Nusantara memiliki filosofi yang sangat dalam dan kompleks. Salah satu konsep utamanya adalah kepercayaan pada kekuatan alam dan lingkungan sekitar. Selain itu, agama ini juga mengajarkan nilai-nilai seperti kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap leluhur dan nenek moyang. Nilai-nilai ini harus tetap dijaga ditengah kuatnya arus modernisasi dan gemuran budaya barat. Ada beberapa agama nusantara yang masih bertahan ditengah gempuran modernisasi dan globalisasi yang terjadi.

Arat Sabulungan

Arat Sabulungan adalah kepercayaan asli bagi masyarakat suku bangsa Mentawai yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia, teristimewa orang Sakuddei di pulau Siberut.[1][2] Secara bahasa, Arat berarti adat, Sa berarti sekitar, dan bulungan artinya daun.Sabulungan lahir karena acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan tuhan yang disebut dengan Ulau Manua.

Arat Sabulungan mengajarkan agar adanya keseimbangan antara alam dan manusia. Artinya, manusia sudah semestinya memperlakukan alam dan seisinya seperti tumbuh-tumbuhan, air, dan hewan seperti mereka memperlakukan dirinya sendiri. Ajaran mengenai keseimbangan manusia dan alam terefleksi dari bagaimana alam dimaknai oleh penganutnya. Alam dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa sehingga harus dihormati. Jika sikap hormat itu tidak ada, maka manusia akan ditimpa malapetaka.

Agama Buhun

Merupakan salah satu agama tertua asli Nusantara yang bertahan di tatar Sunda bagian utara.Buhun adalah ajaran kuno para leluhur Sunda pra-Hindu dan sudah ada jauh sebelum agama-agama dari daratan Asia masuk ke kepulauan Nusantara,

Ajaran Buhun murni atau biasa disebut Kepercayaan Jati Buhun, memiliki ajaran yang terdiri dari Pikukuh-pikukuh atau ketetapan-ketetapan yang disampaikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Kepercayaan Buhun terdiri dari beberapa aliran, berbeda dengan Sunda Wiwitan sebagai aliran kepercayaan terbesar di Indonesia yang tersebar di beberapa wilayah selatan Banten dan Jawa Barat mulai dari Kanekes di Banten yang penduduknya dikenal sebagai Suku Baduy, kemudian Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Kampung Sindang Barang di Kabupaten Bogor dan Cigugur di Kabupaten Kuningan. Sedangkan untuk aliran kepercayaan Buhun pada saat ini hanya dianut oleh beberapa orang saja yang tersebar di beberapa wilayah kecil di wilayah Utara Jawa Barat.

 

Agama Marapu

Agama asli suku sumba, Indonesia adalah agama asli yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Agama ini merupakan sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam bahasa Sumba, arwah-arwah leluhur disebut Marapu yang artinya adalah "yang dipertuan" atau "yang dimuliakan". Itulah sebabnya agama yang mereka anut juga disebut Marapu.

Kepercayaan terhadap roh Makam raja Melolo di desa Tambaka pada masa Hindia BelandaDalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara (hukum dan tata cara) yang telah ditetapkan oleh para leluhur.

Orang Sumba percaya bahwa roh nenek moyang ikut menghadiri upacara penguburan dan karenanya hewan dipersembahkan kepada mereka. Roh hewan untuk roh nenek moyang dan daging atau jasad hewan dimakan oleh orang yang hidup. Sama halnya dengan upacara yang lain [Kebamoto, 2015] Dan marapu sangat di pertahan kan oleh sebagian besar orang sumba.

Agama Kejawen

Sebuah Seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi suku bangsa Jawa. . Kejawen (Jawa: Kajawn; Carakan: ; Pegon: ) adalah pandanganan hidup yang dianut di sebagian Pulau Jawa oleh suku Jawa. Kejawen merupakan kumpulan pandangan hidup dan filsafat sepanjang peradaban orang Jawa yang menjadi pengetahuan kolektif bersama, hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku Sejak dahulu kala, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan: Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya: Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:

Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)

Mamayu Hayuning Kulawarga (sebagai rahmat bagi keluarga)

Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)

Mamayu Hayuning Bhawana (sebagai rahmat bagi alam semesta)

Hari-hari penting kejawen tidak lepas dari "Kelahiran -- Pernikahan -- Mangkat" (kematian), yang ketiganya adalah kehidupan dalam tradisi Jawa. Orang Jawa akan mendapatkan nama pada ketiga peristiwa tersebut, yaitu nama saat kelahiran, nama saat pernikahan, nama saat mangkat (nama kematian dengan menambahkan "bin"/"binti" nama orang tua di belakang nama kelahiran) Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) untuk membentuk orang Jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam jenis karya tulis seperti kakawin, macapat, babad, suluk, piwulan, kidung, dan primbon.

 

Isu Legalitas Agama Nusantara

Pada masa pasca kemerdekaan, Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan dalam deklarasinya hanya diakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu, sehingga membagi masyarakat menjadi kelompok-kelompok menjadi agama resmi yang diakui oleh negara, kecuali bahwa agama merupakan tanggung jawab pemerintah di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia, meskipun baik kepercayaan maupun kebatinan diakui dan diatur dalam UUD 1945.

Korban UU No. 1/PNPS/1965 dan pendirian lembaga keagamaan resmi adalah pemeluk agama atau kepercayaan di luar enam agama tersebut. Belum lagi orang yang tidak beragama. Pada awal Orde Baru, orang diharuskan memiliki agama dan jika tidak, orang dengan mudah disalahkan untuk PKI (Partai Komunis Indonesia), dan segera setelah tahun 1965 banyak orang "menjadi sipil. hamba". Agama". Bahkan kepercayaan agama dilihat sebagai budaya dan bukan agama. Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang hidup di wilayah geografis tertentu karena asal usulnya, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang berbeda, memiliki kedaulatan atas tanah dan sumber daya alamnya, serta mengatur dan mengelola pembangunan berkelanjutan.

Hidup dengan Hukum dan Lembaga Adat (Pransefi, 2021:29).

Pada tahun 2016, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan salinan Putusan No. 97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan penyelenggaraan manajemen penduduk yang terorganisir dan mengingat jumlah pemeluk agama yang besar dan beragam dalam masyarakat Indonesia, agama. elemen -terkait harus dimasukkan dalam data Kependudukan dimasukkan. Keyakinan ini hanya dimungkinkan dengan mendaftarkan pemangku kepentingan sebagai "beriman" tanpa menyatakan keyakinan yang diwakili dalam KK atau e-KTP, serta penganut agama lain. 

 

KESIMPULAN

Pada era globalisasi saat ini eksistensi agama nusantara semakin menurun ditengah masyarakat, dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat menjadikan agama nusantara semakin jauh dari peradaban di Indonesia. Agama nusantara merupakan sebuah budaya dan ciri khas Indonesia yang sangat kental dengan nilai, tetapi sayang sekali jika agama nusantara ini semakin terbelakang. Di anggap ketinggalan zaman, hampir dari seluruh masyarakat Indonesia meninggalkan adat dan budaya nya sendiri dan mengikuti budaya barat yang cenderung di anggap lebih maju. Sayang sekali jika agama nusantara serta budaya yang kental di dalam nya harus di tinggal kan begitu saja, padahal agama nusantara merupakan aset Indonesia yang sangat berharga untuk memperkenalkan atau menunjukan jati diri atau ciri khas kita sebagai bangsa Indonesia. Nilai-nilai seperti kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap leluhur dan nenek moyang. Nilai-nilai ini harus tetap dijaga ditengah kuatnya arus modernisasi dan gemuran budaya barat.

Untuk masalah legalitas, agama nusantara masih di akui oleh negara, namun dengan ditetapkannya 6 agama sebagai agama pokok di negara Indonesia ini, makin banyak masyarakat yang mulai meninggalkan budaya serta agama nusantara itu sendiri dan memilih salah satu dari 6 pokok agama yang sudah di atur di dalam UUD. Alangkah baik nya jika agama nusantara tetap dipromosikan atau di angkat sebagai ciri khas bangsa Indonesia atau jati diri dari bangsa Indonesia sendiri, sehingga masyarakat Indonesia sendiri mengenal betul akan negara nya sendiri dan bangsa asing pun dapat mengetahui seberapa unik dan Indah nya bangsa Indonesia ini, sehingga makin banyak orang yang ingin mempelajari negara kita dan mencintai negara kita lebih dalam lagi.

Akbar S. Ahmed and Hasting Donan (eds.) Islam Globalisasi and Posmodernity (New York: Routledge, 1994) hlm. 2.

Ali A. Mazrui, "Globalisasi, Islam and the West: Between Homogenization and Hegemonization", hlm. 3-4. Lihat juga tulisan Bilal Sambur, Islam ini Today's Global City. dalam Hamdard Islamicus Vol. XXIII. No. 3. hlm.23-28.

Pradnya, I. M. A. S. (2021). Eksistensi Aliran Kepercayaan Nusantara di Era Postmodern. Proseding Mistisisme Nusantara Brahma Widya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun