Mohon tunggu...
Syech Reihan
Syech Reihan Mohon Tunggu... -

seorang sarjana yang mencoba peruntungan dengan menggadaikan ilmunya dengan harapan masuk surga, karena ia lelah melihat perilaku pemimpin negara yg gak bisa dipercaya, selalu bertikai diantara mereka. bukan mencari kebenaran tapi hanya sekedar membuat sensasi untuk meraih simpati dari penduduk negeri ini.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menjelang Asyura

1 Desember 2010   06:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:08 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu pagi, Ummu Al-Fadhl bin Harits, mengeluh kepada Rasulullah karena mengalami mimpi yang membuatnya tidak bisa tidur semalam dan terus menangis karena melihat sebagian anggota tubuh Nabi berada di rumahnya. Rasulullah pun tersenyum sembari memberinya kabar gembira bahwa cucunya akan segera lahir dan ia akan menjadi ibu angkat karena akan menyusuinya. [1]

Pada suatu hari Rasulullah membisikan pada Fathimah as, bahwa Jibril memberitahu beliau bahwa ia akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Beliau berpesan, bila ia lahir, jangan menyusuinya sebelum aku datang, meskipun harus menunggu sebulan. Kelak setelah terlahir dan sebelum disusui oleh ibunya, Rasulullah menjulurkan lidahnya yang suci, lalu bibir mungil bayi sempurna itu mengisp dan mengulumnya. Seusai itu, Rasulullah berkata kepada putrinya, “Allah swt telah menetapkan bahwa kepemimpinan akan berlanjut dari bayi ini.”[2]

Imam penyandang banyak gelar, seperti al-Rasyid, al-Wafi, al-Zaki dan as-Syahid ini, menurut sebagian besar sejarawan, dilahirkan di Madinah pada tanggal 3 Sya’ban tahun ke3 Hijriyah[3], atau pada tahun ke 4 Hijriyah. [4]

Ketika mendengar bahwa putrinya, Sayyidah Fahtimah, telah melahirkan bayi yang dinanti-nanti itu,  Rasululllah, sebagimana disebutkan dalam I’lam Al-wara, segera bergegas ke rumah menantunya, Ali as. Sesampainya di sana, ia menyuruh Asma binti Umays, wanita yang mengabdikan dirinya sebagai pembantu Fatimah, untuk menyerahkannya. Nabi-pun mengendongnya lalu membungkusnya dengan sepotong kain putih lalu mendekapnya, kemudian mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi yang yang berpendar-pendar itu. Tiba-tiba raut wajah Manusia teragung itu menampakkan kesedihan dan matanya melinangkan air bening. Ketika ditanya sebabnya oleh Asma’, beliau menjawab: “Hai Asma’, ia akan dibunuh oleh gerombolan pembangkang setelah wafatku. Allah tidak akan memberikan syafaatku kepada mereka.”

Beberapa saat kemudian, Rasulullah menegur menantunya, ‘Hai Ali, apa nama yang kau berikan untuk anakku ini? Suami Fathimah itu dengan nada santun menyahut: “Wahai utusan Allah, aku tidak akan pernah mendahului Anda untuk memberinya sebuah nama.”[5]

Berdasarkan prinsip kemaksuman yang meniscayakan semua keputusan Nabi adalah wahyu, maka beliaupun, atas petunjuk wahyu Allah swt,  memberinya sebuah nama momnumental yang belum pernah disandang oleh siapapun, yaitu Al-Husain. Hingga kini pun nama Husain yang diawali dengan Al adalah hak personal dan abadi cucu Nabi yang dibantai di Nainawa itu.

Pada hari ketujuh sejak kelahiran, sebagaimana disebutkan dalam Al-Irsyad, Rasulullah mengunjungi rumah putrinya, Fathimah Al-Batul as, lalu melakukan serangkaian upacara ritual dan sosial yang sangat diagungkan dalam Islam, yaitu memnyembelih seekor kambing (disebut dengan aqiqah) lalu dibagikan kepada orang-orang miskin, terutama tetangga, lalu mencukur rambut dan menimbang potongannya dengan perak untuk dibagikan kepada orang-orang miskin, dan diakhiri dengan khitan.

Kasih sayang dan perhatian yang dicurahkan Nabi kepada Al-Husain, demikian pula Al-Hasan as bukanlah semata-mata karena hubungan emosional belaka, namun sebagai pelajaran bagi kita yang semestinya memberikan perhatian dan mengungkapkan kegembiraan saat dianugerahi seorang cucu. Lebih dari itu, Nabi saw dalam berbagai kesempatan, sebagaimana disebutkan dalam ratusan riwayat, memberikan pernyataan tentang kedudukan penting Al-Husain dan pujiannya. Hal itu semata-mata sebagai upaya dini untuk mempersiapkan Al-Husain sebagai pemimpin dan penerusnya, sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah dan biografi tokoh Islam dari berbagai aliran dan mazhab, antara lain Mustadrak karya Al-Hakim, Tarikh Ibn Asakir, I’lam Al-Wara, Majma’ Az-Zawa’id, Kanzul-Ummal, Siyar A’lam An-Nubala’, Shahih At-Turmudzi, Musnad Ahmad, bahkan dalam Shahih Muslim

Saat Rasulullah saw wafat

Masa kebersamaan Imam Husain dengan Rasulullah merupakan masa paling indah dalam sejarah Islam yang merupakan potret sebuah jalinan yang harmonis dalam sebuah keluarga sahaja, mandiri dan bersih. Al-Husain telah menjadi alumnus ketiga, setelah ayah dan saudara dalam akademi Risalah teragung. Betapa tidak, sejak bayi hingga remaja, ia menghirup semerbak wahyu yang setiap saat menghampiri rumah kakeknya, dan merasakan kehangatan karena cahaya Kenabian yang senantiasa mengubangi lingkungan hidupnya, Di akademi berbentuk rumah sangat sederhana inilah, ia tidak hanya diajarkan namun dicetak dengan aneka karakter mulia, seperti keberanian, pengorbanan, kedermawanan, kemandirian, keteguhan, kelembutan, kepandaian, kebijaksanaan dan kesantunan.

Dalam berbagai kesempatan dan persitiwa, Rasulullah saw juga menjadikan kecintaan kepada Al-Hasan dan Al-Husain sebagai bukti keterikatan kepada agama dan ketaatan kepada Allah. Anjuran-ajuran senada ini semua tidak lain adalah penegasan atas sikap dan keputusan beliau bahwa ketataatan kepada penerus beliau adalah sama dengan ketataatan kepada beliau. Sehingga apabila kecintaan demikian tidak ditanamkan sejak dini, maka sangat mungkin para penerus beliau tidak dapat melaksanakan tugas secara maksimal karena tidak diperlakukan sebagai orang yang dicintai. Oleh karena itulah, Rasulullah tidak henti-hentinya menunjukkan kecintaannya yang lebih dari sekedar ekspresi emosional dan menganjurkan setiap Muslim untuk membangun hubungan cinta spiritual dengan beliau dan para penerus kepemimpinan beliau.

Dakwah-dakwah yang telah dilaksnakan secara sempurna oleh Nabi sejak masa pertama Hijrah dan hambatan-hambatan eksternal dan internal yang dialaminya telah disaksikan dari dekat oleh Al-Husain dan dijasikan sebagai pelajaran-pelajaran berharga dan bekal tak ternilai kelak ketika ia memegang hak imamah dan wishayah.

Namun, masa kebersamaan ini terasa sangat singkat karena Nabi termulia dan manusia teragung itu harus meninggalkan umat, terutama cucunya yang amat dicintai dan dipersiapkannya, akibat ulah ganggungan fisik dan non fisik sekelompok manusia yang memang harus ada sebagai bagian dari lakon kebatilan sepanjang drama kehidupan. Muammad saw yang terbujur sakit akibat ulah sekelompok orang –kata sebagian sejarawan- tiba-tiba dilucuti haknya sebagai tuan rumah. Suaranya yang parau saat meminta secarik kertas dan setangkai pena dihalangi oleh tamun-tamu tak diundang yang berlagak lebih dari putri dan cucu-cucunya. Gerombolan ini bahkan seakan tak sabar menanti hembusan terakhir nafas manusia teragung ini dengan menganggapnya ‘hilang ingatan’ atau pikun. Gerombolan mantan pemakan bangkai ini sengaja menggagalkan sebuah suksesi damai dengan merekayasa kebisingan di rumah baliau dengan teriakan agar tuan rumah yang lunglai di atas ranjang reot itu tidak terganggu dan gagal melaksanakan niat sucinya, yang akan sangat merugikan kepentingan segerombolan orang oportunis itu.

Rasullullah pun mengusir para perusuh itu karena telah melampaui batas toleransi, demi mengesahkan suskesi kepemimpinan dalam lingkungan orang-orang yang terpercaya. Dengan nafas tersengal, Ali dipanggil dan disuruhnya duduk di samping ranjangnya, lalu berpesan: “Kau adalah penerus kepemimpinanku. Aku titipkan dua mata hatiku dan dua tiang peyangga agamaku di dunia ini”. Ali tak kuasa menahan linangan air hangat yang mengguyur mata dan pipinya seraya menggenggam tangan mertua, guru dan ayahnya.[6]

Ketika rasa nyeri di lambungnya kian parah, Rasulullah memanggil Al-Husain, yang sejak tadi duduk sedih di samping ibunya yang menimang Zainab. Al-Husain pun merapatkan tubunya ke samping ranjang beliau. Kakek yang penuh sayang itu menarik tubuh Al-Husain lalu mendekapnya erat-erat lalu selama beberapa menit pingsan. Ketika siuman, ia menciumi kedua mata sembab Al-Husain yang tak hentinya mengalirkan butir-butir bening kesenduan, seraya bekata dengan nada terbata-bata: “Demi Allah, aku akan meminta pertanggungjawaban kepada para pembunuhmu di hadapan Allah.”[7] Dada Al-Husain seakan tersekat dan bibirnya bergetar menahan luapan kesedihan dan berusaha meringankan beban hati kakeknya tidak menangis dengan keras, tapi ia gagal karena kedua matanya dan saudaranya bak mata air yang terus menyembur.

Fathimah Az-Zahra, yang sejak tadi sibuk melayani dan menyuapi ayahnya, kini tak kuasa menyembunyikan rasa keterasingan yang akan dirasakannya beberapa saat lagi. Betapa tidak, riuh tadi menjadi bukti yang cukup bahwa akan terjadi penelikungan. Umat Muhammad telah membunuh Muhammad!

Saat Fathimah wafat

Kepergian Rasulullah saw merupakan babak pertama derita Ahlul-Bait, terutama Al-Hasan dan Al-Husain. Fatimah bagai pesakitan yang diertawai dan didustakan patron-patron Abu Sufyan dan antagonis-antagonis penindas perempuan. Sejak wafat Nabi, Fathimah terlihat pucat, dadanya sesak, tubuhnya kurus dan matanya senantiasa basah. Fathimah sering kali mengajak Al-Hasan dan Al-hasan ke Baqi’ lalu menengadahkan wajah yang sedih ke langit seraya menumpahkan keluh kesahnya. Ia baru pulang setelah dijemput dan dirayu oleh Ali, suaminya.[8]

Tak lama kemudian wanita termulia sepanjang sejarah itu jatuh sakit akibat serangkaian gangguan fisik dan mental. Di atas ranjang, Fathimah dengan nafas tersengal, menarik lengan suaminya seraya berbisik: “Tidak lama lagi kau akan menjadi duda setelah kematianku. Anak-anak kita masih banyak, terutama Zainab. Kawinlah dengan Ummul-Banin, karena ia akan melahirkan anak yang kelak akan melindungi putrimu Zainab.” Ali tersedu-sedu mendengar ungkapan tulus istri yang amat dicintainya. “Maafkan aku, karena tak dapat menemanimu mengaruhi kehidupan yang tentu akan sangat sulit bagimu.”  Tak lama kemudian jiwa suci itu melayang menemui Allah di samping suaminya.

Sesaat kemudian Al-Hasan dan Al-Husain diperbolehkan masuk. Mereka terkejut melihat ibundanya tak bergerak. Kepada Asma’, mereka bertanya: “Mengapa ibu kami tidur pulas”. Meledaklah tangis Asma’ yang sejak tadi berusaha mengendalikan rasa sedihnya, seraya berkata: “Ibumu tidak tidur, namun jiwanya terbang menemui kakekmu, Rasululullah”.

Saat Ali dikhianati

Berdasarkan rekomendasi rapat luar biasa di Saqifah, Haidar, yang dideklarasikan sebagai pengganti di Ghadir Khum oleh Rasulullah, harus dikucilkan. Kekal iapun harus diganggu dan disibukkan dengan keculasan Thalhah, Zubair, keserakahan Muawiyah dan kroninya, dendam Aisyah. kepandiran Khawarij dan kepengecutan para pendukung palsu.

Skenario pertama adalah menanggap Ali sebagai penanggjawab pembunuhan terhadap Utsman bin Affan, atau bahkan sebagai dalang di balik peristiwa itu. Dengan dalih dan slogan membela Utsman, Muawiyah melancarkan pemberontakan dan menjadikan Damasukus sebagai basis perlawanan dengan kekuatan harta hasil korupsi pada masa pemerintahan saudara misannya. Namun, skenario ini tidak berjalan dengan lancar, karena ternyata Ali didaulat secara aklamasi sebagai khalifah keempat.

Ternyata skenario Saqifah masih berlanjut karena tujuan, yaitu membumihanguskan Ali dan keturunannya, belum tercapai. Iapun harus berhadapan dengan istri Nabi, Aisyah, yang terprovokasi oleh aktor-aktor ambisius yang enggan berhadapan secara langsung dengan Ali. Dirancanglah perang buatan bernama ‘perang onta. Ali yang jawara dalam medan tempur harus ‘meladeni’ pasukan yang dikomandoi oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah. Skenario inipun tidak membuahkan hasil yang terlalu menggembirakan. Suatu saat Amr bin Ash berpapasan dengan Aisyah. Amr berseloroh dengan nada kesal: “Oh, alangkah indahnya bila kau terbunuh saat bertempur melawan Ali di perang Jamal..” Aisyah memprotes: “Bukankah kita mitra saat itu? Mengapa kau mengharapkan kematianku?” Amr membongkar: “Sejak semula kami telah merancang rencana ini dengan matang agar kau terbunuh dalam perang Jamal. Dengan demikian, kami tidak lagi terganggu oleh keberadaan Ali karena ia akan dicap sebagai pembunuh istri Nabi. Namun, Ali tidak terpengaruh. “

Akhirnya, cara kekerasan yang lebih keji ditempuh, diciptakanlah gangguan-gangguan baru, seperti kelompok khawarij, disusupkanlah ke dalam barisan Ali para pendukung palsu, dan dibentuklah sebuah persusahaan hadis palsu yang didanai secara besar-besaran dengan satu tujuan merusak citra mulia Ali, bahkan keluarganya, termasuk mengkafirkan ayahnya, Abu Thalib, yang sangat berjasa dalam dakwah Nabi, sekaligus memasukkan Abu Sufyan dalam daftar para pembela Islam. Skenario ini berjalan lancar meski tidak terlalu efektif, karena sebagian kecil sahabat Nabi yang tulus melancarkan kampanye tandingan membersihkan nama baik Ali di seluruh jazirah, seperti Abu Zar, Miqdad, Salman dan lainnya.

Skenario terakhir adalah mengajak Ali berdamai dengan juru runding tunjukan kubu Muawiyah, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Ali yang telah kehilangan banyak pendukung akibat serentetan perang dan pemberontakan dan pengkhianatan yang terrencana, tidak dihadapkan pada satu pilihan.

Ternyata pakta damai adalah skenario paling ampuh. Ali secara sepihak diturunkan dari khilafah yang sejak semula bersifat semu dan ‘mainan’. Meski telah berkuasa dan menari-nari diatas kehoramatan Islam, keberadaan Ali dan keluarganya masih dianggap sebagai ancaman bagi Muawiyah dan para aktor Saqifah. Gerbang kota ilmu itu pun dirobohkan di Kufah pada malam lailatul-Qadr di masjid Kufah, lalu akibat racun yang memasuki tubuhnya, dua hari setelah itu, Maula Al-Muttaqin Ali bin Abi Thalib menghempus nafas mulia setelah mengucapkan ‘Demi Tuhan Pemelihara Ka’bah, aku sungguh beruntung..”.

Ringkasnya, sejak rapat penelikungan di Saqifah, pedagang hadis bermunculan bak cendawan di musim hujan. Para bromocorah yang dianggap thulaqa’ mulai mengambil-alih pusat-pusat informasi,. Kemesuman dan maksiat kembali membisingkan malam-malam Mekkah dan Madinah. Para mantan budak dari Afrika kini diperlakukan lagi sebagai setengah manusia, para imigran dari Persia, Afrika dan para tunawisma mengalami keyatiman massal. Bilal menyepi, Ammar mengungsi ke rumah-rumah Bani Hasyim, Salman diintimidasi, Malik bin Nuawirah dimurtadkan, dan Abu Zar dikirim ke altar kematian dicekik dahaga. Mereka menyempurnakan lakon Saqifah  dengan serangkaian kebiadaban. Al-Husain yang kian matang dalam episode-episode kehidupan kakek, ibunda dan ayahnya, menyaksikan itu semua dengan mata kepala. Semuanya telah direkamnya dan dianalisis untuk membuahkan sebuah kebijakasanaan dan keputusan yang tepat dan revolusioner di kemudian hari.

Muawiyah telah bercokol dengan congkak di atas mimbar Rasululah. Khilafah  yang merupakan simbol kelanggengan wilayah Allah telah dijadikan sebagai podium pembodohan dan penelikungan atas nama Jama’ah yang didukung oleh sahabat-sahabat pemenang tender produksi massal hadis palsu, Ahlul-bait Nabi bukan hanya tidak dihormati, namun dianggap sebagai musuh dan tidak berhak hidup di atas bumi. Al-Hasan bin Ali yang lembut dan pemaaf bagi Isa itu menggelepar-gelepar dan memuntahkan darah setelah racun bingkisan Muawiyah memasuki setiap pembuluh darah di sekujur tubuhnya. Inna lillah wa inna ilahi rajiun.

Semenjak Al-Hasan bin Ali wafat, sepak terjang Muawiyah membuat masyarakat resah. Baitul Mal dan kekayaan negara dijadikan sebagai milik pribadi dan keluarga. Muawiyah memperlakukan masyarakat secara berbeda berdasarkan daerah asal dan garis keturunan dengan ancaman kematian atau rayuan harta.Rumah-rumah Bani Hasyim tidak lagi menjadi pusat kunjungan. Para sahabat Anshar, penduduk asli Madinah, telah diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh sebagian Muhajirin yang dulu datang sebagai imigran. Selama beberapa tahun sejak muktabar luar biasa Saqifah, lalu penunjukan personal khalifah pertama, dan arisan kekuasaan ala lotre di bawah kepanitiaan Ibn Auf hingga penobatan Kaisar Arab, Muawiyah. Kepongahan akibat perluasan daerah atau aneksasi dan penjajahan atas nama ‘penyebaran Islam’ telah membuat sebagian besar mantan prajurit Uhud menjadi serdadu-serdadu yang bengis, berdarah dingin dan memperlakukan para tawanan sebagai barang dagangan. Ajaran Muhammad berubah menjadi kisah-kisah horor dan dan para pendakwah itu adalah pemilik rumah lelang budak-budak bermata peirus dari Nesyapur dan Sevilla.

Muawiyah yang sejak semula telah menjadikan Al-Hasan bin Ali sebagai musuh utama telah berhasil melaksanakan rencananya. Al-Hasan bin Ali wafat akibat racun yang dimasukkan ke dalam minumannya oleh cecunguk-cecunguk Muawiyah.

Saat sakitnya bertambah parah Muawiyah mengirimkan surat wasiat kepada Yazid yang sedang menjadi gubernur di wilayah Humas, di Syam.

Dalam surat itu, Muawiyah berpesan agar mewaspadai empat tokoh, terutama Al-Husain bin Ali. Muawiyah menyuruh Yazid agar bersikap baik dan hormat kepada Al-Husain apabila bersedia menyatakan baiat atas kekhalifahannya. Jika tidak bersedia, atau kepemimpinannya ditentang, maka Muawiyah menganggap Al-Husain layak untuk dilenyapkan.

Di Damaskus, Muawiyah menjadi bunga ranjang. Sebagian tubuhnya mulai membusuk. Tak lama berselang, anak Abu Sufyan itu mati akibat serentetetan penyakit dalam tubuhnya. Setelah kematian bapaknya, Yazid kembali ke Damaskus. Ia nyatakan dirinya dirinya sebagai Kaisar.

Yazid melaksanakan pesan bapaknya. Ia berusaha memperkokoh kekuasaannya dengan mengganti sejumlah gubernur. Yazid menyuruh gubernur Madinah, Walid bin Uqbah, untuk mengambil kata baiat dari Al-Husain bin Ali.

Pada bulan Sya’ban tahun 60 Hijriyah, Al-Husain bersama keluarganya pergi dengan leluasa meninggalkan Madinah, setelah berpamitan kepada kakeknya, Rasullah saw. Al-Husain bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat yang menyatakan keberatan atas tindakannya Namun Al-Husain  bersikukuh pada rencananya, yaitu menunaikan ibadah haji dan menghindari fitnah di Madinah.

Warga Mekkah menyambut kedatangan Al-Husain dan keluarganya dengan sukacita. Mereka sangat gembira karena dapat melaksanakan shalat jamaah di belakang beliau.

[1] Bihar Al-Anwar

[2] Bihar Al-Anwar.

[3] Tarikh Ibn Asakir, Maqatil Ath-Thalibiyyin, Usdul-Ghabah dan majma’ Az-Zawa’id,

[4] Al-Isti’ab dan Al-Kafi.

[5] Uyun Akhbar Ar-Ridha dan I’lam Al-Wara

[6] Bihar Al-Anwar. Yang dimaksud oleh beliau adalah Al-Hasan dan Al-Husain.

[7] Mutsir Al-Ahzan.

[8] Bihar Al-Anwar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun