Badan Bank Tanah sebagai Instrumen untuk Mewujudkan Ekonomi Berkeadilan di Indonesia
Di tengah kesibukan pembangunan infrastruktur, muncul sebuah entitas baru: Badan Bank Tanah. Dengan janji untuk menciptakan ekonomi yang lebih adil, seolah-olah kita sedang menyaksikan film superhero yang penuh harapan. Namun, apakah ini benar-benar solusi atau hanya ilusi yang akan menguntungkan para pengembang?
Dalam dunia yang dipenuhi dengan korupsi dan inflasi, Badan Bank Tanah tampaknya menjadi jawaban untuk semua masalah kita. Ketersediaan lahan untuk pembangunan infrastruktur? Simsalabim! Semua akan teratasi. Namun, di balik janji tersebut, apakah ada perubahan nyata, atau kita hanya menyaksikan pertunjukan sulap yang tak berujung?
Menteri ESDM mengungkapkan bahwa pengadaan lahan adalah hambatan utama dalam proyek pembangkit listrik. Pertanyaannya, apakah Badan Bank Tanah akan mengubah tanah-tanah itu menjadi kenyataan, atau hanya menambah daftar panjang proyek yang terhambat? Mungkin kita perlu mengundang pesulap untuk membantu!
Di Riau, pembebasan lahan untuk jalur kereta api menghabiskan biaya Rp80 miliar dan waktu yang lama. Sementara itu, Badan Bank Tanah hadir dengan slogan "untuk kepentingan umum." Jadi, apakah kita harus percaya bahwa ia akan mempercepat proses ini, atau justru menambah birokrasi yang sudah ada?
UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 seolah menjadi dua sahabat yang tak pernah bersatu. Kini, Badan Bank Tanah hadir sebagai mediator. Namun, apa yang terjadi jika mediasi ini hanya berujung pada perdebatan yang tak ada habisnya?
Kita dihadapkan pada fenomena properti yang dikuasai oleh pihak swasta, di mana harga tanah melambung tinggi. Pihak swasta berperan sebagai "kapitalis," sementara Badan Bank Tanah berusaha menjadi "pahlawan." Apakah ini hanya sebuah pertunjukan teater, di mana semua aktor berperan sesuai naskah yang telah ditentukan?
Dengan adanya konsep "One Map Policy," seolah pemerintah akan memiliki peta ajaib yang menunjukkan semua lahan kosong. Namun, apakah peta ini akan mengarah pada solusi yang nyata, atau justru menambah kebingungan yang sudah ada? Sepertinya, kita memerlukan kompas untuk menemukannya.
VISI & MISI
Sebagai lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, Badan Bank Tanah memiliki Visi dan Misi sebagai berikut:
Visi:
"Menjadi lembaga yang dapat dipercaya dalam pengelolaan tanah yang berkelanjutan, berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial."
Misi
Untuk mencapai visi tersebut, misi yang dijalankan adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan berbagai upaya yang berkaitan dengan operasional Badan demi kepentingan umum, sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan Reforma Agraria.
2. Menjamin ketersediaan tanah untuk pembangunan nasional.
3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja.
Secara konseptual, bank tanah terbagi menjadi dua kategori utama: bank tanah umum dan bank tanah khusus. Bank tanah umum bertujuan untuk menyediakan tanah bagi kebutuhan sosial dalam skala besar tanpa mengejar keuntungan, serta menjaga stabilitas harga tanah. Di sisi lain, bank tanah khusus berfokus pada penyediaan tanah dalam skala kecil untuk tujuan komersial. Keduanya memiliki peran penting dalam pengelolaan lahan yang berkelanjutan, terutama di tengah tantangan urbanisasi dan kebutuhan perumahan yang terus meningkat.
Di berbagai negara, penerapan bank tanah telah menunjukkan hasil yang signifikan. Di Amerika Serikat, misalnya, bank tanah dibentuk untuk mengatasi masalah properti kosong dan mempercepat pembangunan kembali area yang terbengkalai. Melalui inisiatif ini, pemerintah berusaha menyediakan perumahan terjangkau bagi masyarakat, sambil melindungi aset tanah dari spekulan yang dapat merugikan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan ketersediaan perumahan, tetapi juga berkontribusi pada revitalisasi komunitas.
Kolombia memiliki contoh serupa dengan MetroVivienda di Bogota, yang berfokus pada penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan terjangkau. Bank tanah di Kolombia membeli lahan di pinggiran kota dan mengembangkan kawasan untuk kepentingan komersial dan perumahan. Strategi ini mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan lokal serta komitmen untuk menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat.
Belanda dan Filipina juga menerapkan bank tanah dengan fokus pada sektor pertanian. Land Bank of the Philippines, misalnya, telah berkembang menjadi bank komersial namun tetap menjalankan mandat sosialnya. Sementara itu, Land Bank of Taiwan berupaya mendukung petani dengan menyediakan akses terhadap lahan yang diperlukan untuk pertanian berkelanjutan. Kedua negara ini menunjukkan bahwa bank tanah dapat beradaptasi dengan berbagai kebutuhan sosial dan ekonomi.
Namun, pengadaan tanah tetap menjadi tantangan besar bagi bank tanah. Dr. Ir. Soedjarwo Soeromihardjo menjelaskan dalam makalahnya bahwa berbagai negara, termasuk Jepang, telah menerapkan kebijakan ketat untuk mencegah spekulasi tanah. Di Jepang, individu yang menjual tanah dalam waktu kurang dari sepuluh tahun setelah membelinya akan dikenakan pajak tinggi. Pendekatan ini memberikan insentif bagi pemilik tanah untuk mempertahankan aset mereka dan mencegah praktik spekulatif.
Cita-cita pembentukan bank tanah di Indonesia telah terwujud dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Berdasarkan peraturan tersebut Badan Bank Tanah mempunyai fungsi untuk menyalurkan aset tanah yang dimiliki untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan.
Di Indonesia, pemerintah perlu lebih fokus pada penyediaan lahan untuk infrastruktur dan perumahan rakyat. Program pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan harus sejalan dengan kebijakan One Map Policy, yang diharapkan dapat mempermudah pengelolaan lahan. Dengan zonasi pemanfaatan lahan yang jelas, pemerintah dapat memastikan bahwa pembangunan berlangsung secara merata dan efisien, sehingga mengurangi kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Kegiatan pengadaan tanah di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: inventarisasi tanah yang dikuasai negara, pembelian tanah mendesak, dan pengadaan tanah untuk pencadangan. Dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia dapat mengadopsi skema yang diterapkan di Guatemala, yang mengenakan pajak tinggi bagi individu yang menolak menjual tanah untuk kepentingan umum. Pendekatan ini dapat meningkatkan ketersediaan lahan untuk pembangunan yang diperlukan.
Selain itu, bank tanah perlu lebih aktif dalam mengamankan dan merawat tanah yang telah dikuasai. Banyak tanah negara yang telah diduduki tanpa izin selama bertahun-tahun, yang menunjukkan perlunya perbaikan dalam proses pengamanan. Pemerintah harus lebih tegas dalam mengendalikan pembangunan properti swasta, memastikan bahwa kebijakan One Map Policy diterapkan secara konsisten untuk menjaga ketersediaan lahan bagi kepentingan umum.
Dengan kemajuan teknologi, Indonesia harus memanfaatkan sistem informasi geografis (GIS) dalam pengelolaan tanah. Contoh dari Philadelphia Land Bank di AS menunjukkan bagaimana GIS dapat membantu dalam pengambilan keputusan strategis terkait pengelolaan lahan. Penerapan teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan tanah di Indonesia, sejalan dengan kebijakan One Map Policy.
Penerapan bank tanah di Indonesia bukan hanya sebuah pilihan, tetapi merupakan keharusan yang mendesak. Koordinasi antara pemerintah, kementerian, dan pihak swasta sangat penting untuk membangun kebijakan yang tepat. Dengan dibentuknya Badan Layanan Umum LMAN, diharapkan lembaga ini dapat menjalankan fungsi optimalisasi aset dengan efektif, memastikan bahwa bank tanah dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap pembangunan yang berkelanjutan.
Pernyataan Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja, mengenai keadilan di bidang pertanahan mungkin adalah kalimat yang paling sering kita dengar. Namun, seberapa banyak keadilan yang benar-benar terwujud? Kita mungkin harus menunggu hingga tahun keempat untuk melihat hasilnya!
Badan Bank Tanah berkomitmen untuk menyediakan lahan bagi berbagai kepentingan, mulai dari bandara VVIP hingga perumahan MBR. Namun, apakah semua ini tidak sekadar untuk memperkaya segelintir orang? Apakah keadilan sosial hanya sebuah konsep indah tanpa dukungan nyata?
Di tengah hiruk-pikuk ini, para pakar hukum menyatakan bahwa Badan Bank Tanah merupakan bentuk reformasi agraria. Namun, apakah reformasi ini hanya akan menjadi jargon kosong di tengah ketidakpastian hukum yang terus mengintai?
Dengan total aset 19.409,6 hektare, Badan Bank Tanah tampaknya memiliki kekuatan yang cukup besar. Namun, apakah kekuatan ini akan digunakan untuk kepentingan rakyat, ataukah hanya akan menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan segelintir elit?
Kita pun bertanya, di mana posisi masyarakat dalam semua rencana besar ini? Apakah mereka akan menjadi penonton yang pasif, ataukah akan diundang untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang diklaim untuk mereka?
Ketika kita mendengar tentang "ekonomi berkeadilan," kita teringat akan janji-janji manis para pemimpin. Namun, seberapa serius mereka dalam menepati janji itu? Mungkin kita perlu mengadakan sayembara untuk mencari jawaban yang sebenarnya.
Dengan segala peraturan dan kebijakan yang ada, Badan Bank Tanah seharusnya bisa menjembatani kepentingan negara, pelaku usaha, dan masyarakat. Namun, jika semua ini hanya menjadi sarana untuk melanggengkan kepentingan tertentu, apa gunanya?
Akhirnya, kita semua berharap agar Badan Bank Tanah bukan sekadar pepesan kosong. Kita butuh aksi nyata yang mengubah kehidupan masyarakat, bukan hanya retorika yang indah. Mari kita lirik ke depan dan lihat apakah semua ini akan menjadi kenyataan atau hanya menjadi bagian dari kisah rakyat yang penuh harapan.
Paji Hajju
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H