Kemudian Bitu bertanya, "Apakah sejarah akan mengulangi dirinya?"
"Tidak. Sejarah tidak dapat diulang, hanya dikenang. Kita bisa menciptakan kembali sejarah, tapi bukan dengan mengulangnya," jawabku penuh harapan.
Bitu bercanda, "Bagaimana jika kita membentuk partai?"
"Kamu ini lucu juga ya orangnya," kataku pelan, merangkul kesepian dari tiap tatapan mata kita.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita menikah?" ajak Bitu yang terlihat agak serius.
"Aku rindu, Bitu. Kita bisa menikah, semoga alam semesta berpihak pada kita."
Bitu merespons semangat, "Jika begitu, kita akhiri percakapan ini. Jangan lupa kabari saat ada waktu. Kita bisa memulai cerita yang baru lagi."
"Baik, akan ku turuti. Jaga dirimu. Aku akan menaklukkan mimpimu. Semoga pertemuan kita di lain waktu diridhoi."
Kita Indonesia,
Bhinneka Tunggal Ika.
Setelah bersenang-senang, aku menikmati lagu-lagu kesukaanku dengan kopi, rokok, roti, dan setangkai puisi tentang air mata serta hujan didalam ingatanku. Di tengah bara cinta dan reruntuhan luka, suara genderang menyongsong Indonesia emas bukan cemas mulai sedikit terdengar, menghapus dingin dan kesunyian yang sama sekali belum menjauh. Dari jauh, Bitu dan aku berdoa untuk kebaikan, berharap terhindar dari luka dan menjalani hidup dengan moral yang lebih baik kedepannya.