Ternyata kita temukan satu lagi, bahwa kehidupan kita telah banyak dituntut prestasi pribadi dan kualitas kerja individu. Kita telah hampir kehilangan kata "kita" dan "kata" bersama. Yang kita kenal kemudian adalah saya, aku, kamu, kalian, dia dan mereka. Terminologi kita hampir saja hilang jika kita tidak segera meng-uri-uri-nya.
Urusan pribadi lebih penting dari sekedar berkumpul dengan tetangga kita. Kita lebih enak membayar kas lebih daripada ikut berjaga malam dan digigiti nyamuk di pos ronda. Budaya komunal dalam masyarakat telah jauh terkikis habis. Padahal itu yang banyak dipuji dan sanjung oleh-bangsa maju yang saat ini mulai merasakan bertapa sepinya dunia tanpa tetangga yang bisa asik disapa saban pagi dan sorenya.
Kembali ke jalan, secara filosofis jalan itu adalah laku, sehingga mestinya jalan itu mengantarkan manusia pada tujuannya. Dimanakah sebenarnya jalan itu akan berakhir? Tidak ada yang tahu.
Yang dapat kita lakukan adalah menikmati perjalanan itu, yang siap mampir berhenti ketika sampai di satu terminal, berhenti ketika perut lapar untuk makan, berhenti untuk buang hajat alami perut kita, berhenti untuk sekedar menyapa saudara-saudara kita yang kebetulan berpapasan dengan ramah. Mengapa tidak.
Jika kita lurus saja mengejar titik akhir perjalanan, saya khawatir kita justru akan menemui jalan buntu yang sempit dan sunyi, atau bahkan tak pernah menemukan apa-apa.
Semarang, 24 Jan. 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H