Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan yang Mengantar Manusia pada Tujuannya

26 Agustus 2020   05:59 Diperbarui: 26 Agustus 2020   06:04 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam sebuah pengantar laporan penelitian tentang jalan, dinyatakan bahwa jalan pada awalnya merupakan tempat orang-orang melakukan interaksi, dan semua aktifitas dapat berjalan dan dilakukan dijalan.

Jalan menjadi media komunikasi aktif yang antar penghuni yang ada. Namun kini, jalan telah dipenuhi dengan kendaraan berkecapatan tinggi, sehingga semua bentuk kegiatan yang dilakukan menjadi tersingkir karena keberadaan kendaaran cepat itu.

Tidak lagi dapat kita lihat orang saling menyapa di jalanan, apalagi untuk sekedar ngobrol bertanya kabar, untuk mengangguk saja ketika berpapasan sudah jarang kita temukan.

Dengan mobil kita sudah tidak mungkin berinteraksi dengan dunia luar ketika berada di dalamnya. Mobil telah membentuk satu dunia yang ekslusif bagi para penumpangnya dari pemakai jalan lain, atau orang-orang yang mereka lewati adalah dunia lain yang asing.

Motor yang dirancang dengan kecepatan tinggi, menuntut pengendaranya untuk menutup rapat semua bagian tubuhnya, apalagi ditambah dengan panas dan debu yang beterbangan di jalanan.

Setiap pengendara mengenakan masker dan kaca mata, atau menutup rapat kaca helemnya. Sehingga ketika berpapasan dengan tetangga sekalipun belum tentu bisa saling mengenal, apalagi menyapa.

Ketika dahulu, jalan diperuntukkan sebagai media pertemuan semua manusia ketika tengah menuju tujuannya yang lain, kini jalan telah mengasingkan para penggunanya dengan semakin lebar dan mulusnya jalanan itu. Semakin lebar dan halus jalan itu, semakin tidak saling kenal sapa antar pengguna. Yang ada hanya persaingan saling mendahului dan uji cepat kendaraan masing-masing.

Coba bandingkan dengan jalanan yang berbentuk gang-gang sempit, ketika di sana ada pintu-pintu yang menempel berderet sepanjang jalan, laju kendaraan tidak boleh seenaknya sendiri. Namun itupun tidak juga serta merta menghadirkan kesadaran sosial kita.

Lihatlah semakin banyak gang-gang yang ditumbuhi barisan polisi tidur. Para warga mengatakan itu sebagai peringatan bagi pengendara untuk tidak ngebut. Karena meski sudah diperingatkan di pintu masuk gang dengan papan-papan pemberitahuan (untuk tidak mengatakan papan ancaman) bagi para penguna gang itu, toh mereka sering ugal-ugalan dan membahayakan pengguna gang yang lain.

Budaya berjalan kita sudah begitu jauh berubah. Jika ingin kita telusuri faktor apakah yang mengantarkan hilangnya budaya tegur sapa di jalanan adalah efisiensi.

Kita sering beralasan bahwa untuk sekedar turun dari kendaraan untuk menghormati orang-orang yang tengah duduk-duduk di pinggir jalan adalah sesuatu yang kurang efektif, buang-buang waktu. Apalagi jika harus selalau berhenti dan menyapa bertanya kabar, bisa jadi urusan kita tidak kelar karenanya.

Ternyata kita temukan satu lagi, bahwa kehidupan kita telah banyak dituntut prestasi pribadi dan kualitas kerja individu. Kita telah hampir kehilangan kata "kita" dan "kata" bersama. Yang kita kenal kemudian adalah saya, aku, kamu, kalian, dia dan mereka. Terminologi kita hampir saja hilang jika kita tidak segera meng-uri-uri-nya.

Urusan pribadi lebih penting dari sekedar berkumpul dengan tetangga kita. Kita lebih enak membayar kas lebih daripada ikut berjaga malam dan digigiti nyamuk di pos ronda. Budaya komunal dalam masyarakat telah jauh terkikis habis. Padahal itu yang banyak dipuji dan sanjung oleh-bangsa maju yang saat ini mulai merasakan bertapa sepinya dunia tanpa tetangga yang bisa asik disapa saban pagi dan sorenya.

Kembali ke jalan, secara filosofis jalan itu adalah laku, sehingga mestinya jalan itu mengantarkan manusia pada tujuannya. Dimanakah sebenarnya jalan itu akan berakhir? Tidak ada yang tahu.

Yang dapat kita lakukan adalah menikmati perjalanan itu, yang siap mampir berhenti ketika sampai di satu terminal, berhenti ketika perut lapar untuk makan, berhenti untuk buang hajat alami perut kita, berhenti untuk sekedar menyapa saudara-saudara kita yang kebetulan berpapasan dengan ramah. Mengapa tidak.

Jika kita lurus saja mengejar titik akhir perjalanan, saya khawatir kita justru akan menemui jalan buntu yang sempit dan sunyi, atau bahkan tak pernah menemukan apa-apa.

Semarang, 24 Jan. 10

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun