Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam, Politik, dan Negara

17 Agustus 2020   05:27 Diperbarui: 17 Agustus 2020   05:35 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam konteks Indonesia, sangat menarik untuk menelusur kembali dialektika antara agama dan negara. Karena kita ada di Indonesia yang mayoritas adalah masyarakat beragama Islam, namun dalam sejarahnya Islam tidak pernah memiliki posisi yang signifikan dalam konstalasi perpolitikan Indonesia. Bahkan terkesan Islam sengaja disisihkan dan dianggap berbahaya jika berada pada jalur utama.

Persoalan dikotomi atau pemisahan antara agama dan negara sepertinya tidak juga memiliki titik akhir perbincangan. Selalu ada dua kelompok besar yang bertentangan. Satu pihak mengatakan bahwa kedua hal tersebut berbeda dan terpisah sama sekali (sekuler) dan kelompok kedua menyatakan bahwa agama juga berbicara mengenai kekuasaan yang keduanya integral, menyatu.

Fenomena Gus Dur dan PKS

Reformasi Mei 1998 membawa hawa kebebasan di alam demokrasi Indonesia. Partai bermunculan seperti jamur di musim penghujan. Hampir semua kelompok masyarakat ingin menyalurkan aspirasi melalui partainya masing-masing. Tidak terkecuali umat Islam yang terbagi dalam banyak partai seperti PPP, PAN, PKB, maupun PKS.

Fenomena yang paling menarik adalah terpilihnya Abdurraman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden. Di tengah konflik dan ancaman disintegrasi bangsa, Gus Dur tampil menjadi penyelamat. Meski Gus Dur adalah sosok Kiai yang jelas berasal dari dunia pesantren, ternyata tidak serta merta sebagai tanda menguatnya politik Islam. Semangat mempertahankan integritas bangsa seperti menelan harapan itu. Bahkan beberapa kali Gus Dur melakukan tindakan yang sangat kontrofersial, bukan saja bagi kalangan muslim, dengan keinginannya membuka jalur diplomatik dengan Israel.

Namun dalam kepemimpinan Gus Dur tersebut, muncul kembali suara-suara yang ingin menguatkan kekuatan Islam dalam negara melalui penerapan syariah. Pada sidang MPR tahun 2000 kelompok-kelompok Islam seperti FPI, KISDI, KAMMI, HAMMAS, DDII mendatangi gedung DPR/MPR. Namun usaha mereka seperti menjadi angin lalu, dan kemudian tenggelam. Gus Dur, meski sosok yang dianggap mewakili umat Islam, ternyata dalam tidak segaris politik dengan para penganut Islam idiologi. Karena ternyata Gus Dur lebih nasionalis.

Satu lagi titik letup politik Islam muncul, yaitu dengan menguatnya gerakan Islam kampus dimotori oleh KAMMI, yang dalam wadah politiknya mereka kemudian membentuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam perjalanannya, mereka tampaknya banyak menimba pengalaman dari gagalnya beberapa kali gerakan politik Islam. Mereka berusaha menampilkan pilitik Islam yang ramah dengan slogan bersih dan peduli. Bahkan Fahri Hamzah sendiri menegaskan bahwa PKS adalah partai yang terbuka dan moderat, Pancasila, UUD 1945, dan NKRI adalah final. PKS tidak mau dilihat sebagai partai yang sektarian apalagi fundamentalis.

Hasilnya, PKS yang tidak lahir dari rahim ormas Islam besar seperti Muhammadiyah ataupun NU, dalam tiga Pemilu yang dilaluinya, mampu menjadi partai yang cukup diperhitungkan. Apakah ini pertanda menguatnya kembali gerakan "Islam Politik"?

Puncak Majelis Konstituante 1956-1959

Mari kita melihat sejarah perkembangan Islam Politik di Indonesia. Ini penting agar umat Islam ke depan tidak salah dalam menentukan langkah.

Dalam sidang Konstituante 1956-1959 tersebut, terjadi perdebatan yang amat sengit antara kelompok Islam dan kelompok Nasionalis Sekuler. Kelompok Islam menginginkan Islam menjadi dasar negara, sementara kelompok nasionalis bersikukuh Pancasila menjadi dasar negara. Namun pada akhirnya Presiden Soekarno mengambil alih agenda dengan mengeluarkan Dekrit Presiden, mengembalikan haluan negara kepada Undang-Undang Dasar 1945.

Kegagalan Islam waktu itu, berakibat pada menurunnya posisi tawar Islam sebagai kekuatan Politik. Sedangkan kita tahu, sebelumnya Islam memiliki kekuatan yang cukup besar melalui Partai Masyumi bersanding dengan PNI. Soekarno seperti tidak ingin mengambil resiko, kemudian memenjarakan beberapa pimpinan Masyumi yang militan tanpa proses pengadilan. Bahkan pada akhir tahun 1960 Masyumi dibubarkan, karena beberapa tokohnya dianggap mendalangi pemberontakan PRRI.

Runtuhnya rezim Soekarno tidak membuat kekuatan Islam bangkit. Karena Soeharto melarang bangkitnya Masyumi kembali, dan hanya mengijinkan penyaluran aspirasi politik umat Islam melalui Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada tahun 1968. Dan itu pun dilakukan hanya untuk mempermudah Soeharto menyetir dan mengontrol pergerakan arus politik Islam. Terbukti, Parmusi hanya memperoleh 5,3% suara, jauh dibanding Golkar sebagai motor politik orde baru yang meraup suara 62,80%.

Titik ledak singgungan Islam dan kekuasaan negara kemudian terjadi melalui tragedi Tanjung Priok 12 September 1984. Peristiwa demo besar-besaran umat Islam, karena tersinggung dengan adanya tindakan beberapa tentara yang memasuki masjid tanpa mencopot sepatu dan juga menyiram masjid dengan air comberan. Demo yang berhadapan langsung dengan tentara bersenjata, berakhir dengan korban tewas mencapai 63, korban luka berat 100 orang dan hampir dua ratus orang hilang tanpa jejak.

Perkembangan berikutnya, partai politik hanya ada tiga, yaitu Golkar sebagai partai pemerintah, PDI sebagai hasil reinkarnasi PNI, sementara Partai Persatuan pembangunan (PPP) sebagai penyalur aspirasi umat Islam. Dan dalam sejarah Orde Baru, belum pernah PPP mengumpulkan suara yang signifikan. Dan pasca reformasi, sepertinya semangat ummat Islam berpolitik semakin meningkat, dengan kembalinya tampil dua ormas besar NU melalui PKB, dan Muhammadiyah melalui PAN, ditambah PKS.

Islam, Politik, dan Negara

Sejenak mari kita menilik ke dalam alam pikir Islam mengenai Islam sendiri kaitannya dengan politik dan kekuasaan negara.

Al Qur'an menegaskan dalam surat Al- An'am ayat 162. "Katakan: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah, Pemelihara alam semesta." Dari ayat tersebut, Syafi'i Maarif mengartikan bahwa tidak ada dikotomi atau pembedaan antara shalat di masjid, berdagang di pasar, atau bersidang di parlemen, semuanya adalah sebuah bentuk ibadah. Ini sejalan dengan Q.S. adz-Dzariayt ayat 56, "Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah."

Selain itu, Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk melakukan kerja amar ma'ruf nahi mungkar, menegakkan keadilan dan menyelamatkan pihak yang teraniaya. Semua itu akan mustahil terwujud jika tidak ada kekuasaan yang dipakai untuk itu. Persoalannya, apakah kekuasaan itu, berupa politik dan negara merupakan perpanjangan dari agama, atau sekedar alat untuk mewujudkan cita-cita moral Islam.

Syafi'i Maarif mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan tegas, bahwa Islam menginginkan terbentuknya masyarakat yang ditegakkan di atas sendi-sendi moral utama, yaitu keadilan, kebenaran, dan persaudaraan serta kesejahteraan dalam kehidupan sosial. Dan dalam perspektif Al Qur'an, politik dan negara sebagai institusi kekuasaan diperlukan sebagai alat untuk merealisasikan ajaran moral Islam.

Emha Ainun Najib sejalan dengan ide dasar itu, dia menuliskan bahwa, "Jangankan negara Islam, negara anu atau antah-berantah atau negara apa saja, saya setuju. Syaratnya sederhana: asalkan Islami, demokratis, mengutamakan keadilan dan pengetahuan yang benar tentang kehidupan berdasarkan bimbingan Tuhan."

Jadi, Islam politik yang mulai kita bangun kembali mestinya adalah bersifat substantif, berbasis nilai dan semangat, bukan harus dalam bentuk formal yang harus berlabel Islam. Karena Islam jelas membutuhkan negara, negara yang dibangun dengan dan untuk nilai dan moral keadilan, dan kemanusiaan sebagaimana diwahyukan Allah SWT.

Mengikis Islam Phobia

Tentu kita tidak akan melupakan peristiwa sebelas September 2001 di Kota New York? Ketika World Trade Centre (WTC) di tabrak pesawat yang kemudian diklaim pelakunya adalah Osamah bin Laden bersama jaringannya Al Kaida. Bush dengan sangat tegas kemudian mengemukakan pidato kepada seluruh negara di dunia, persis seperti dalam film-film holywood, "Anda bersama kami memerangi terorisme, atau menjadi musuh kami."

Sejak saat itu, tiba-tiba Islam memiliki wajah yang begitu mengerikan. Ketika kita sebut Islam, maka yang muncul dalam benak kita adalah bom, teroris, pembunuhan, potong tangan, qisos. Bahkan di Swis, tidak lama kemudian muncul karikatur Nabi yang di balik kepalanya ada sumbu bom yang siap meledak.

Amerika melalui media internasional sangat berhasil dengan komunikasi massanya, mempengaruhi persepsi orang-orang, bahwa Islam memang menakutkan. Bahkan bagi penganut Islam sendiri, untuk mengaku sebagai Islam, sering menambahkan di belakangnya, "Saya Islam tapi moderat."

Sudah saatnya umat Islam bangkit. Menampilkan Islam pada sisi yang indah, terbuka, dan rasional. Jangan sampai substansi ajaran Islam yang mulia, yang merupakan rahmat bagi seluruh alam, terhambat hanya karena kebodohan ummatnya tidak mampu menterjemahkan Islam dalam konteks yang luas dan dalam. Pendekatan kultural dengan memahami aneka perbedaan dalam masyarakat, mungkin adalah solusi untuk berkomunikasi, dalam rangka mengikis Islam Phobia yang menjangkit masyarakat dunia saat ini. (Syarif)

*Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Majalah PesanTrend Edisi 3 tahun I, Mei 2009 dengan judul "Membaca Fenomena Gus Dur dan PKS"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun