Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam, Politik, dan Negara

17 Agustus 2020   05:27 Diperbarui: 17 Agustus 2020   05:35 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kegagalan Islam waktu itu, berakibat pada menurunnya posisi tawar Islam sebagai kekuatan Politik. Sedangkan kita tahu, sebelumnya Islam memiliki kekuatan yang cukup besar melalui Partai Masyumi bersanding dengan PNI. Soekarno seperti tidak ingin mengambil resiko, kemudian memenjarakan beberapa pimpinan Masyumi yang militan tanpa proses pengadilan. Bahkan pada akhir tahun 1960 Masyumi dibubarkan, karena beberapa tokohnya dianggap mendalangi pemberontakan PRRI.

Runtuhnya rezim Soekarno tidak membuat kekuatan Islam bangkit. Karena Soeharto melarang bangkitnya Masyumi kembali, dan hanya mengijinkan penyaluran aspirasi politik umat Islam melalui Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada tahun 1968. Dan itu pun dilakukan hanya untuk mempermudah Soeharto menyetir dan mengontrol pergerakan arus politik Islam. Terbukti, Parmusi hanya memperoleh 5,3% suara, jauh dibanding Golkar sebagai motor politik orde baru yang meraup suara 62,80%.

Titik ledak singgungan Islam dan kekuasaan negara kemudian terjadi melalui tragedi Tanjung Priok 12 September 1984. Peristiwa demo besar-besaran umat Islam, karena tersinggung dengan adanya tindakan beberapa tentara yang memasuki masjid tanpa mencopot sepatu dan juga menyiram masjid dengan air comberan. Demo yang berhadapan langsung dengan tentara bersenjata, berakhir dengan korban tewas mencapai 63, korban luka berat 100 orang dan hampir dua ratus orang hilang tanpa jejak.

Perkembangan berikutnya, partai politik hanya ada tiga, yaitu Golkar sebagai partai pemerintah, PDI sebagai hasil reinkarnasi PNI, sementara Partai Persatuan pembangunan (PPP) sebagai penyalur aspirasi umat Islam. Dan dalam sejarah Orde Baru, belum pernah PPP mengumpulkan suara yang signifikan. Dan pasca reformasi, sepertinya semangat ummat Islam berpolitik semakin meningkat, dengan kembalinya tampil dua ormas besar NU melalui PKB, dan Muhammadiyah melalui PAN, ditambah PKS.

Islam, Politik, dan Negara

Sejenak mari kita menilik ke dalam alam pikir Islam mengenai Islam sendiri kaitannya dengan politik dan kekuasaan negara.

Al Qur'an menegaskan dalam surat Al- An'am ayat 162. "Katakan: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah, Pemelihara alam semesta." Dari ayat tersebut, Syafi'i Maarif mengartikan bahwa tidak ada dikotomi atau pembedaan antara shalat di masjid, berdagang di pasar, atau bersidang di parlemen, semuanya adalah sebuah bentuk ibadah. Ini sejalan dengan Q.S. adz-Dzariayt ayat 56, "Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah."

Selain itu, Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk melakukan kerja amar ma'ruf nahi mungkar, menegakkan keadilan dan menyelamatkan pihak yang teraniaya. Semua itu akan mustahil terwujud jika tidak ada kekuasaan yang dipakai untuk itu. Persoalannya, apakah kekuasaan itu, berupa politik dan negara merupakan perpanjangan dari agama, atau sekedar alat untuk mewujudkan cita-cita moral Islam.

Syafi'i Maarif mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan tegas, bahwa Islam menginginkan terbentuknya masyarakat yang ditegakkan di atas sendi-sendi moral utama, yaitu keadilan, kebenaran, dan persaudaraan serta kesejahteraan dalam kehidupan sosial. Dan dalam perspektif Al Qur'an, politik dan negara sebagai institusi kekuasaan diperlukan sebagai alat untuk merealisasikan ajaran moral Islam.

Emha Ainun Najib sejalan dengan ide dasar itu, dia menuliskan bahwa, "Jangankan negara Islam, negara anu atau antah-berantah atau negara apa saja, saya setuju. Syaratnya sederhana: asalkan Islami, demokratis, mengutamakan keadilan dan pengetahuan yang benar tentang kehidupan berdasarkan bimbingan Tuhan."

Jadi, Islam politik yang mulai kita bangun kembali mestinya adalah bersifat substantif, berbasis nilai dan semangat, bukan harus dalam bentuk formal yang harus berlabel Islam. Karena Islam jelas membutuhkan negara, negara yang dibangun dengan dan untuk nilai dan moral keadilan, dan kemanusiaan sebagaimana diwahyukan Allah SWT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun