Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembang di Perempatan

13 Agustus 2020   13:39 Diperbarui: 13 Agustus 2020   13:49 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih memperhatikan, apakah kembang itu terjatuh, atau memang diletakkan di tengah jalan seperti itu. Sejenak saja aku tahu. Kembang itu jelas sengaja ditaruh, tepat di tengah perempatan gang. Aku tertarik untuk mengetahui apa saja kembang yang dibungkus daun pisang itu. Meski sudah berantakan karena roda-roda kendaraan, aku masih bisa menyebutkan satu-satu kembang apa saja yang ada di sana.

Bukan karena indahnya kembang atau bungkusnya yang unik. Tetapi karena kembang itu ada di tengah perempatan, dan menariknya lagi adalah karena kembang itu sengaja ditaruh di sana.

Bukan cara membungkusnya yang salah, atau meletakkannya yang kurang tepat. Tetapi yang menggelitik kesadaranku adalah motif di balik orang yang meletakkan bungkus kembang itu. Tentu mereka ada berharap sesuatu dari adanya kembang itu di sana.

Jika demikian, ini tidak bisa dibiarkan. "Ini adalah bentuk kemusyrikan." Batinku tiba-tiba memberikan suara berpendapat. Tuhan tidak layak dipersekutukan. Aku tahu dari pak RT bahwa semua penduduk desa ini muslim. Kenyataan itu memberanikanku untuk maju. Meski aku orang baru, tetapi aku tidak bisa membiarkan semua ini terjadi. Ini adalah tugas setiap orang untuk meluruskan.

Tapi bagaimana caranya? Sejenak kupikirkan, dan aku menyimpulkan tidak akan menjadi sok pahlawan. Aku tidak perlu tampil di depan umum, berkoar-koar tentang agama. Satu-satunya cara adalah menemukan siapa yang memasang dan berbicara empat mata. Dengan keputusan bulat, akupun memulai penyelidikan.

***

Pagi sekali, hari Jum'at Kliwon. Sehabis salat subuh aku segera menuju perempatan. Pada hari jum'at seperti inilah biasanya kembang-kembang itu diletakkan. Tapi sayang sesampainya di sana, kembang berbungkus daun pisang itu sudah tertata dengan manis. Tepat di tengah perempatan.

          Kondisinya masih rapih, belum rusak. "Berarti, baru saja diletakkan di sini", pikirku menyimpulkan. Jum'at depan aku tidak boleh telat. Kalau perlu aku tidak perlu jamaah subuh di masjid. Ini demi tujuan yang lebih besar. Menyelamatkan akidah ummat.

          Aku pulang dengan hati sedikit kecewa. Menunggu sampai Jum'at depan kupikir bukan cara yang baik. Semakin cepat kuketahui siapa, maka semakin cepat aku menyelamatkan mereka. Maka rencana segera kususun. Beberapa orang akan kujadikan narasumber. Selain itu, warung makan di ujung gang, juga akan menjadi tempat yang strategis mencari informasi.

          Hari semakin siang. Aku segera bersiap menuju sekolah. Sebagai pengampu mata pelajaran agama, aku akan mengisi materi akidah saja. Ini sangat penting. Jangan sampai kemusyrikan mewaris turun temurun.

          Melewati perempatan gang, kembali aku melirik kembang-kembang tadi pagi telah berserakan. Mungkin beberapa roda sudah mengoyaknya. Apa guna kembang-kembang itu, toh hanya jadi pelampiasan roda-roda. "Mubadzir." Pikirku.

          ***

          "Bapak tahu, siapa yang biasanya menaruh kembang di perempatan gang situ." Tidak sengaja aku bertemu dengan pak RT di warung.

"Oh, itu. Saya juga kurang tahu. Tetapi itu sudah ada sejak dulu sekali Mas. Sejak jalan gang ini masih tanah, belum aspal seperti ini." Pak RT masih mencoba mengingat-ingat, kemudian melanjutkan, "Kalau tidak salah, sejak saya tinggal di sini sudah ada kebiasaan itu. Dan tidak pernah menjadi masalah, sehingga saya juga tidak melakukan apapun." Pak RT yang bukan warga asli kampung tidak banyak membantu.

"Begini pak." Aku mulai menjelaskan maksudku. Mula-mula kuutarakan keherananku, baru kemudian masuk wilayah agama yang melarang seperti itu.

"Begini Mas. Saya tidak membela siapa-siapa. Hanya saja, saya berprinsip selama tidak menimbulkan masalah, dan warga tidak protes, berarti hal itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan." Kata pak RT memupuskan jalan penelusuranku. Tapi bukan berjuang namanya jika menyerah begitu saja. Demi murninya akidah ummat. Masih ada beberapa orang yang bisa kutemui. Pak Kiai.

***

Sore ba'da asar. Aku sengaja menunggu pak Kiai selesai wirid. Masalah ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pak kiai meski belum terlalu sepuh, tampak sekali wibawanya. Tentu beliau sangat mengenal orang-orang kampung ini.

"Maaf Kiai, bisa mengganggu sebentar?" Kusapa dan kusalami Kiai Sahlan. Beliau tersenyum ramah dan membalas.

"Monggoh. Ada apa ya Mas?" Setelah kami menemukan tempat duduk yang nyaman, aku mulai mengutarakan maksudku. Tampak Kiai Sahlan manggut-manggut pertanda paham dengan maksudku.

"Bagini Mas. Bukan berarti saya tidak sepakat dengan anda. Saya itu lahir di kampung ini. Jadi saya tahu persis siapa dan bagaimana karakter orang-orang kampung ini." Sejenak Kiai Sahlan menarik nafas, dan melanjutkan. "Masalah itu, Mas Supri jangan terlalu khawatir. Meski akidah itu adanya di dalam hati. Tetapi saya yakin keberadaan kembang-kembang itu tidak menjadi soal. Itu hanya seperti orang beruluk salam saat bertemu, berpamitan untuk pergi, memberi hadiah ucapan terima kasih yang terbaik, dan sebagainya." Kiai Sahlan menjelaskan dengan banyak perumpamaan yang kurang kumengerti.

"Maksud Pak Kiai, hal-hal seperti itu tidak atau bukan perbuatan syirik. Jelas-jelas mereka menaruh sesaji di tengah jalan. Dan Allah tidak pernah mengajarkan itu semua." Aku membantah mentah-mentah pendapat kiai Sahlan, yang malah hanya tersenyum.

"Maaf Mas Supri. Saya ingin menanyakan satu hal kepada anda. Apa standar yang anda gunakan untuk menilai akidah seseorang? Apakah dari keyakinan, sikap, atau dari perbuatan." Aku gelagapan. Aku benar-benar tidak siap mendapat pertanyaan seperti ini. Sebentar aku masih diam, dan Kiai Sahlan melanjutkan.

"Mungkin anda harus menemui Mbah Sapto. Yang rumahnya di belakang masjid ini persis. Tetapi jangan sekarang. Beliau itu berdagang, baru pulang sekitar ba'da dzuhur, sehingga mungkin masih lelah. Datanglah setelah isya."  Kiai Sahlan tidak memberikan jawaban yang kubutuhkan. Malah justru membingungkan aku. Melemparkanku kepada Mbah Sapto, yang tidak pernah kujumpai ikut jamaah subuh. Atau mungkin, Mbah Sapto lah yang telah menaruh kembang-kembang itu. Barangkali ini memang petunjuk.

***

Aku sengaja bangun sebelum subuh. Langsung menuju perempatan begitu selesai salat dua rekaat. Waktu itu masih pukul setengah empat pagi. Ini hari Jum'at, aku tidak ingin kecolongan seperti minggu kemarin. Aku harus mengetahui siapa orang yang menaruh kembang-kembang itu. Tetapi alangkah terkejutnya. Saat sampai di perempatan, kembang itu sudah ada tergeletak dan masih tertata rapih.

"Aku terlambat lagi." Kuperhatikan dengan seksama benda yang ada tepat di tengah perempatan itu. Mawar, kenanga, kenikir, beras ketan, beras kuning. Semua dalam jumlah yang sedikit, dan uang receh lima ratusan, terbungkus daun pisang yang ditusuk dengan lidi di kedua sisinya, sehingga berbentuk seperti rantang.

"Mungkin aku memang harus bertemu dengan Mbah Sapto dulu." Aku langsung pulang dan buru-buru ke Masjid. Sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang.

***

Rumah Mbah Sapto cukup sederhana. Di halaman ada beberapa pot kembang dari tanah yang sudah tampak berlumut. Beberapa pohon cabai tumbuh subur di atasnya. Meski sederhana tetapi jelas terawat dengan baik. Pintu dari kayu jati, jendela dari kayu yang sama dan kain korden berwarna putih kecoklatan menutupi setengah jendela yang terbuka. Tampaknya Mbah Sapto belum tidur.

"Assalamua'alaikum." Sejenak, terdengar suara tua menjawab dari dalam.

"Oh. Mas Supri. Monggoh Mas. Mari." Dengan ramah Mbah Sapto mempersilahkan aku masuk. Meski baru sekitar dua bulan aku tinggal di lingkungan itu, aku sudah cukup dikenal. Acara Syukuran dan sekaligus perkenalan ketika awal datang dulu, ternyata sangat efektif.

Aku duduk di bangku panjang terbuat dari kayu, dengan meja besar. Semuanya terbuat dari kayu jati. Tidak ada perabot yang mewah dalam ruang tamu. Hanya ada empat patung kepala kijang dari kayu yang dicat merah, menempel di empat tiang joglonya. Kemudian satu lukisan kulit tokoh wayang semar dengan pola tulisan Arab yang sekilas tidak aku pahami apa bunyi bacaannya.

"Ada apa ya Mas Supri, kok tidak biasanya njenengan datang ke gubug saya ini." Mbah Sapto datang lagi membawa dua cangkir kopi panas, dan setengah toples kripik singkong. "Pas sekali untuk teman ngobrol." Pikirku.

Setelah basa-basi, tanya tentang kabar dan keluarga, aku mulai mengutarakan maksudku. Tidak ada perubahan serius dari wajah Mbah Sapto setelah mendengar maksud kedatanganku.

"Wah, njenengan tidak keliru datang kemari." Masih dengan tersenyum, Mbah Sapto menyulut rokok yang sedari tadi dilintingnya.

"Maksud Simbah?" Justru aku yang bertanya-bertanya.

"Memang saya yang selalu meletakkan kembang-kembang itu." Mbah Sapto menjawab singkat. Giliranku sekarang yang kaget, meski sbelumnya aku sudah mengira begitu.

"Jadi selama ini simbah yang menaruh kembang-kembang itu pagi-pagi sekali? Apakah Simbah tidak takut berbuat dosa syirik seperti itu?" Aku tidak bisa mengendalikan kata-kataku. Sebenarnya aku merasa tidak enak langsung menuduh seperti itu. Tapi sudah terlanjur. Tetapi tidak ada ekspresi kaget sama sekali di wajah Mbah Sapto. Justru dia malah tertawa terkekeh.

"He he he. Mungkin Kiai Sahlan belum cerita banyak padamu." Dihisapnya lagi rokok linting yang tinggal separo.

"Maaf ya Mas Supri. Bukannya saya mau menggurui. Tapi saya perlu bertanya dulu, apa yang Mas Supri maksud dengan syirik itu?" Aku sudah menduga akan mendapat pertanyaan itu. Sejak sore tadi, aku sudah bersiap untuk berdebat hebat malam ini.

"Saya juga minta maaf Mbah. Karena mungkin saya yang muda ini, lancang. Tetapi saya menilai ini harus saya katakan." Kulihat Mbah Sapto manggut-manggut tanpa bersuara. Akupun melanjutkan. "Syirik itu adalah dosa yang paling besar. Karena telah menyekutukan Allah SWT dengan yang lain. Dalam bahasa manusia mungkin yang paling pas adalah Allah itu sangat cemburu dan marah jika diriNya diduakan Mbah." Kulirik Mbah Sapto yang terus manggut-manggut saja sambil sesekali menghisap sisa-sisa rokok lintingannya.

Aku terus saja bicara, seolah aku tengah di atas mimbar jum'at yang tidak lagi khawatir ada yang menginterupsi. Semua dalil tentang larangan syirik aku kutip lengkap dengan terjemahnya. Semua bentuk-bentuk kesyirikan aku ungkap lengkan dengan konsekuensinya nanti di Akherat.  

"Jadi Mbah, berharap kepada makhluk selain kepada Allah dengan cara apapun, termasuk menaruh sesaji dan lain-lain, itu adalah syirik." Akhirnya aku putuskan mengakhiri ceramahku. Sementara Mbah Sapto telah menyalakan rokok lintingannya yang ke dua.

"Kalau syirik yang Mas Supri maksud adalah seperti itu, mestinya bukan saya saja yang dianggap syirik." Mbah Sapto sambil senyum melirik ke arahku yang mulai tidak mengerti.

"Jika yang Mas Supri maksud Syirik adalah berharap pada selain Gusti Allah, terus apa yang Mas Supri katakan pada para pedagang yang membayar uang preman untuk keamanan pasar. Bagaimana dengan orang yang membayar mahal sekolah agar pandai dan bisa dapat pekerjaan layak? Bedanya hanya karena mereka menggantungkan pada hal yang nyata, bukan pada yang halus-halus." Sejenak Mbah Sapto menatapku tajam. Aku mulai kebingungan. Meski ada penjelasan, mulutku terasa terkunci. Terus terang, yang kupersiapkan adalah penjelasan ilmiah, bukan klenik. Ketika harus menjelaskan yang tak tampak mata, aku kebingungan.

"Jika Mas Supri masih tidak mengerti, mari kita buktikan." Setelah terjadi kesepakatan, Mbah Sapto kemudian mengalihkan pembicaraan. Dia mulai bicara tentang dagangannya, kenapa dia harus berangkat dini hari, dan sudah harus ada di pasar sebelum subuh. Jual beli kelapa dan hasil pertanian yang lain, semakin pagi ada di pasar akan semakin bagus mendapat harga.

Sepulang dari rumah Mbah Sapto aku merasa lega. Setidaknya usahaku selama ini tidak sia-sia. Untuk kali ini, aku merasa pasti menang.

***

Hari ini hari Jum'at. Dua hari yang lalu, Mbah Sapto sudah berjanji tidak akan menaruh kembang sesaji di perempatan gang tersebut, setidaknya untuk Jum'at kali ini. Saya akan membuktikan padanya, jika tanpa menaruh sesaji di perempatan gang tersebut, tidak akan terjadi apa-apa.

Hari sudah agak siang. Jika tidak lekas berangkat ke sekolah aku akan terlambat. Segera kukeluarkan motorku dan kupanasi sejenak sebelum kutarik gas menuju sekolah.

Menjelang perempatan gang, aku teringat kembali dengan Mbah Sapto. Apakah Mbah Sapto benar-benar tidak menaruh sesaji di perempatan itu pagi ini? Kukurangi kecepatan motor. Tanpa menghentikan motor, kusapukan pandangan ke tengah perempatan, tidak ada apa-apa. Tetapi saat kulihat di pinggir sebelah kanan, aku melihat sesuatu. Belum begitu jelas aku melihatnya, tiba-tiba kurasakan diriku melayang.

Karena teledor, ban depan motorku terperosok dalam selokan dan aku terpelanting, membentur tiang listrik di pinggir jalan. Dalam kebingungan sesaat aku sempat melepaskan helmku yang kaca depannya pecah dan bagian atas retak. Kuperhatikan sekali lagi sesuatu yang ganjil tadi. Ternyata hanya tumpukan daun ketapang yang rontok.

Beberapa orang berdatangan menolong. Sementara kepalaku semakin pusing. Kulihat banyak sekali makhluk halus menyerupai kunang-kunang mengerubuti kepalaku. Dalam hampir ketidaksadaranku, aku teringat Mbah Sapto. "Untuk hal ini, aku perlu lebih banyak memberikan penjelasan." Pikirku terakhir kali, sebelum kemudian aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi.

Semarang, 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun