"Maaf Mas Supri. Saya ingin menanyakan satu hal kepada anda. Apa standar yang anda gunakan untuk menilai akidah seseorang? Apakah dari keyakinan, sikap, atau dari perbuatan." Aku gelagapan. Aku benar-benar tidak siap mendapat pertanyaan seperti ini. Sebentar aku masih diam, dan Kiai Sahlan melanjutkan.
"Mungkin anda harus menemui Mbah Sapto. Yang rumahnya di belakang masjid ini persis. Tetapi jangan sekarang. Beliau itu berdagang, baru pulang sekitar ba'da dzuhur, sehingga mungkin masih lelah. Datanglah setelah isya." Â Kiai Sahlan tidak memberikan jawaban yang kubutuhkan. Malah justru membingungkan aku. Melemparkanku kepada Mbah Sapto, yang tidak pernah kujumpai ikut jamaah subuh. Atau mungkin, Mbah Sapto lah yang telah menaruh kembang-kembang itu. Barangkali ini memang petunjuk.
***
Aku sengaja bangun sebelum subuh. Langsung menuju perempatan begitu selesai salat dua rekaat. Waktu itu masih pukul setengah empat pagi. Ini hari Jum'at, aku tidak ingin kecolongan seperti minggu kemarin. Aku harus mengetahui siapa orang yang menaruh kembang-kembang itu. Tetapi alangkah terkejutnya. Saat sampai di perempatan, kembang itu sudah ada tergeletak dan masih tertata rapih.
"Aku terlambat lagi." Kuperhatikan dengan seksama benda yang ada tepat di tengah perempatan itu. Mawar, kenanga, kenikir, beras ketan, beras kuning. Semua dalam jumlah yang sedikit, dan uang receh lima ratusan, terbungkus daun pisang yang ditusuk dengan lidi di kedua sisinya, sehingga berbentuk seperti rantang.
"Mungkin aku memang harus bertemu dengan Mbah Sapto dulu." Aku langsung pulang dan buru-buru ke Masjid. Sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang.
***
Rumah Mbah Sapto cukup sederhana. Di halaman ada beberapa pot kembang dari tanah yang sudah tampak berlumut. Beberapa pohon cabai tumbuh subur di atasnya. Meski sederhana tetapi jelas terawat dengan baik. Pintu dari kayu jati, jendela dari kayu yang sama dan kain korden berwarna putih kecoklatan menutupi setengah jendela yang terbuka. Tampaknya Mbah Sapto belum tidur.
"Assalamua'alaikum." Sejenak, terdengar suara tua menjawab dari dalam.
"Oh. Mas Supri. Monggoh Mas. Mari." Dengan ramah Mbah Sapto mempersilahkan aku masuk. Meski baru sekitar dua bulan aku tinggal di lingkungan itu, aku sudah cukup dikenal. Acara Syukuran dan sekaligus perkenalan ketika awal datang dulu, ternyata sangat efektif.
Aku duduk di bangku panjang terbuat dari kayu, dengan meja besar. Semuanya terbuat dari kayu jati. Tidak ada perabot yang mewah dalam ruang tamu. Hanya ada empat patung kepala kijang dari kayu yang dicat merah, menempel di empat tiang joglonya. Kemudian satu lukisan kulit tokoh wayang semar dengan pola tulisan Arab yang sekilas tidak aku pahami apa bunyi bacaannya.