"Kalau syirik yang Mas Supri maksud adalah seperti itu, mestinya bukan saya saja yang dianggap syirik." Mbah Sapto sambil senyum melirik ke arahku yang mulai tidak mengerti.
"Jika yang Mas Supri maksud Syirik adalah berharap pada selain Gusti Allah, terus apa yang Mas Supri katakan pada para pedagang yang membayar uang preman untuk keamanan pasar. Bagaimana dengan orang yang membayar mahal sekolah agar pandai dan bisa dapat pekerjaan layak? Bedanya hanya karena mereka menggantungkan pada hal yang nyata, bukan pada yang halus-halus." Sejenak Mbah Sapto menatapku tajam. Aku mulai kebingungan. Meski ada penjelasan, mulutku terasa terkunci. Terus terang, yang kupersiapkan adalah penjelasan ilmiah, bukan klenik. Ketika harus menjelaskan yang tak tampak mata, aku kebingungan.
"Jika Mas Supri masih tidak mengerti, mari kita buktikan." Setelah terjadi kesepakatan, Mbah Sapto kemudian mengalihkan pembicaraan. Dia mulai bicara tentang dagangannya, kenapa dia harus berangkat dini hari, dan sudah harus ada di pasar sebelum subuh. Jual beli kelapa dan hasil pertanian yang lain, semakin pagi ada di pasar akan semakin bagus mendapat harga.
Sepulang dari rumah Mbah Sapto aku merasa lega. Setidaknya usahaku selama ini tidak sia-sia. Untuk kali ini, aku merasa pasti menang.
***
Hari ini hari Jum'at. Dua hari yang lalu, Mbah Sapto sudah berjanji tidak akan menaruh kembang sesaji di perempatan gang tersebut, setidaknya untuk Jum'at kali ini. Saya akan membuktikan padanya, jika tanpa menaruh sesaji di perempatan gang tersebut, tidak akan terjadi apa-apa.
Hari sudah agak siang. Jika tidak lekas berangkat ke sekolah aku akan terlambat. Segera kukeluarkan motorku dan kupanasi sejenak sebelum kutarik gas menuju sekolah.
Menjelang perempatan gang, aku teringat kembali dengan Mbah Sapto. Apakah Mbah Sapto benar-benar tidak menaruh sesaji di perempatan itu pagi ini? Kukurangi kecepatan motor. Tanpa menghentikan motor, kusapukan pandangan ke tengah perempatan, tidak ada apa-apa. Tetapi saat kulihat di pinggir sebelah kanan, aku melihat sesuatu. Belum begitu jelas aku melihatnya, tiba-tiba kurasakan diriku melayang.
Karena teledor, ban depan motorku terperosok dalam selokan dan aku terpelanting, membentur tiang listrik di pinggir jalan. Dalam kebingungan sesaat aku sempat melepaskan helmku yang kaca depannya pecah dan bagian atas retak. Kuperhatikan sekali lagi sesuatu yang ganjil tadi. Ternyata hanya tumpukan daun ketapang yang rontok.
Beberapa orang berdatangan menolong. Sementara kepalaku semakin pusing. Kulihat banyak sekali makhluk halus menyerupai kunang-kunang mengerubuti kepalaku. Dalam hampir ketidaksadaranku, aku teringat Mbah Sapto. "Untuk hal ini, aku perlu lebih banyak memberikan penjelasan." Pikirku terakhir kali, sebelum kemudian aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi.
Semarang, 2009