Pada tingkat yang lebih harfiyah, menurut Apul Stange, Semar dipandang sebagai nenek moyang pendiri dan pengawal utama pulau Jawa. Ia dianggap manusia setengah dewa yang pertama-tama menaklukkan kekuatan-kekuatan alam sehingga memungkinkan untuk dihuni manusia.Â
Hal tersebut, dilakukan dengan memasang tumbal di Gunung Tidar, gunung yang dikenal sebagai pusat atau pusarnya pulau Jawa di dekat kota Magelang. Dengan demikian, Semar menjadi tokoh pengawal Kejawen sekaligus juga merupkan simbol identitas orang Jawa yang murni.
Menurut Sobirin, pemerhati wayang dan juga seorang muslim yang taat, menyatakan bahwa falsafah Jawa terejawantahkan melalui kesenian wayang sangat klop dan pas dengan ajaran Islam. Sehingga beliau sangat sepakat dengan model dakwah kultural ala Sunan Giri dan Sunan Kali Jaga.
"Jika dakwah meninggalkan budaya, itu sama saja dengan menjajah." Katanya tegas.
Namun, kenyataan bahwa tokoh Semar di kalangan spiritualis terutama kejawen, dipandang bukan hanya sebagai sosok historis, tetapi justru lebih pada mitologi dan simbolisme, baik tentang Tuhan maupun Rakyat, menjadikan kita sebagai orang-orang awam, perlu berhati-hati. Jangan sampai mitologi-mitologi tersebut yang ternyata juga ada banyak versi, membingungkan atau bahkan mempengaruhi keimanan kita.
Yang mesti kita lakukan adalah menempatkan tokoh Semar sebagai sebuah media edukatif, dengan segala kelebihan budi, karsa, serta kebijaksanaannya, tidak ada salahnya jika kita secara selektif mengadopsi yang terbaik.
Dalam dunia pesantren dan santri, ada sebuah adagium yang sangat terkenal yaitu, ambillah yang baik, dan tinggalkan yang buruk. Kiranya dalam menghadapi sebuah mitologi, sikap ini sangat tepat.
Syarif-Enha@Semarang, 2009
*Pernah di muat dalam Majalah Pesan Trend Edisi II/Th.I April 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H