Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapa Sebenarnya Semar?

28 Mei 2020   05:44 Diperbarui: 28 Mei 2020   05:49 15426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tidak kenal Semar? Paling tidak, orang tahu bahwa semar adalah pimpinan rombongan empat sekawan "Ponokawan." Ponokawan muncul sebagai pereda bagi keadaan dunia (wayang) yang sedang dilanda oleh gara-gara.

Semar dengan ketiga anggota lainnya, Gareng, Petruk, dan Bagong, dengan penampilan aneh, sepintas tugas mereka hanya sebatas pada melucu dan mengurangi ketegangan para penonton yang sudah memuncak di tengah malam.

Namun, jika ditelisik lebih dalam, Ponokawan memiliki peran dan makna yang tidak remeh sama sekali. Bahkan secara filosofis, mereka adalah sejatinya ruh yang hendak disampaikan dalam wayang oleh pak dalang, sejak pengaruh para Sunan.

Menurut para pakar filsafat Jawa, maupun pelaku pewayangan, asal usul Ponokawan selalu terselimuti dan terdapat banyak versi. Menurut Sobirin, seorang yang pernah mendalami dunia wayang di Sanggar Sobo Kardi Semarang, Ponokawan hanya ada pada cerita-cerita wayang di Jawa, yang dikembangkan oleh Sunan Giri dan kemudian dipagelarkan oleh Sunan Kali Jogo.

Mengenai penciptaan Semar, Sobirin bercerita bahwa dahulu Sang Hyang Wenang menciptakan Hantigo berupa telur. Cangkang telur tersebut menjadi Togog, putih telurnya menjadi Semar, dan kuningnya menjadi Batara Guru. Togog bermulut lebar dan jelek, sedangkan Semar berbadan gemuk sehingga tidak jelas apakah dia laki-laki atau perempuan, sementara Batara Guru kakinya lumpuh meski memiliki empat tangan.

"itu menunjukkan bahwa manusia itu pda dasarnya tidak ada yang sempurna, masing-masing memiliki ciri. Kesempurnaan hanya milik Tuhan semata." Jelas Sobirin gamblang.

Secara umum, Semar dikenal sebagai putra Sang Hyang Wisesa yang diberi anugerah Mustika Manik Astagina yang mempunyai delapan daya (tidak pernah lapar, tidak pernah mengantuk, tidak pernah jatuh cinta, tidak pernah bersedih, tidak pernah merasa capek, tidak pernah menderita sakit, tidak pernah kepanasan, dan tidak pernah kedinginan).

Kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun alias kuncung. Semar atau Ismaya juga memiliki beberapa gelar sekaligus, yakni Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, atau Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri (alam kosong) dan tidak diperkenankan menguasai manusia di alam dunia (www.jowo-njawani.blogspot.com)

Karena tidak untuk berkuasa, Semar turun ke bumi menjadi Abdi atau Batur para Kesatria di Jawa. Ada semacam postulat, bahwa kesatria yang dibina atau diabdi oleh Semar pasti akan mencapai ilmu kesatria yang luar biasa.

Jika dalam pencarian ada kalangan dan tidak mampu di selesaikan lagi oleh si Satria, maka Semar sendiri yang akan maju. Dan jika Semar sudah marah, dia bisa berubah jadi apapun, wajahnya bisa menjadi tampan dan pada saat itu, tidak ada yang bisa menandingi, bahkan para dewa sekali pun.

"Jadi Semar itu merupakan terjemahan dari motivasi kepandaian, kebijaksanaan, sehingga siapa saja yang termotifasi dan mengikuti, akan menjadi baik dan sakti." Papar bapak yang mengaku suka wayang sejak kecil itu semangat.

Semar Simbol Wong Cilik

Paul Stange dalam Wasis Sarjono "Semar Gugat", menyatakan bahwa dalam banyak hal, Semar sering diidentifikasikan sebagai simbol rakyat (jawa). Pandangan ini muncul karena Semar berbicara "ngoko", dagelannya kasar, gayanya urakan, dan perawakannya kasar. Selain itu, lebih subtil lagi, peranan Semar dalam mitologi tersebut (rakyat jawa) memperlihatkan suatu makna bagaimana massa rakyat menyatakan pendapat politiknya.

Semar, sebagaimana rakyat biasa, menyerahkan masalah peperangan dan politik kepada para kesatria. Tetapi, seperti juga massa rakyat, ia akan campur tangan ketika keseimbangan dan penggunaan kekuasaan disalahgunakan oleh mereka yang dipercaya mengembannya.

Biasanya kekuasaan tersembunyi Semar secara moral terletak pada asumsi bahwa siapa pun yang ia ikuti pasti berada dalam kebenaran. Implikasi dari asumsi tersebut adalah bahwa hanya pengemban-pengemban politik yang benar-benar mewakili kebenaran massa rakyat-lah yang akan sukses.

Dalam pengertian tersebut, peran Semar di dalam wayang bisa menjelaskan konsepsi Jawa mengenai hubungan massa rakyat dengan para pengemban kekuasaan ini. Jika kekuasaan disalahgunakan, Semar akan berubah (tiwikromo) dengan kemuliaan penuh dari sifat kedewaan yang tersembunyi.

Demikian juga, ketika ketidak adilan sosial terhadap rakyat terjadi secara keras, akan muncul gerakan-gerakan massa untuk menyatakan kekuatan sosial yang seringkali tidak dikehendaki dan dianggap remeh.

Bahkan, Magnis Suseno dalam bukunya "Kita dan Wayang" menyatakan bahwa Semar adalah ungkapan simbol Tuhan yang mengantarkan para Pendawa atau Kesatria, melindungi mereka, dan kepada siapa mereka (para kesatria dan pendawa) harus berpedoman. Di sini Magnis Suseno seperti hendak mengatakan Vox polpuli Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).

Semar Nenek Moyang Orang Jawa

Damardjati Supadjar menyatakan bahwa tokoh semar adalah asli Jawa. Ia adalah produk local genius asli Jawa., asli Nusantara, yang tentunya berakar dalam pada latar belakang kejiawaan bangsa. Lebih jauh Sobirin menyatakan, memang secara filosofis semar itu gambaran manusia Jawa yang sejati. Sehingga nama Semar sendiri juga berarti samara, yang sangat menggambarkan sifat transcendental setiap tindakan orang Jawa.

Swardi Endraswara menyatakan dalam masyarakat Jawa dikenal pepatah, Wong Jowo nggone semu, papaning rasa, tansah sinamuning samudana. Maksudnya adalah, dalam segala aktifitas, manusia Jawa sering menggunakan simbol-simbol tertentu, segala tindakan menggunakan rasa, dan perbuatannya selalu samar.

Semar dalam wayang Jawa, menunjukkan suatu pengertian yang mendalam tentang apa yang sebenarnya bernilai pada manusia. Bukan rupa yang kelihatan, bukan pembawaan lahiriyah yang sopan santun, bukan penguasaan tata karma, kehalusan, dan sebagainya yang menentukan derajat kemanusiaan seseorang, melainkan sikap batinnya.

Pada tingkat yang lebih harfiyah, menurut Apul Stange, Semar dipandang sebagai nenek moyang pendiri dan pengawal utama pulau Jawa. Ia dianggap manusia setengah dewa yang pertama-tama menaklukkan kekuatan-kekuatan alam sehingga memungkinkan untuk dihuni manusia. 

Hal tersebut, dilakukan dengan memasang tumbal di Gunung Tidar, gunung yang dikenal sebagai pusat atau pusarnya pulau Jawa di dekat kota Magelang. Dengan demikian, Semar menjadi tokoh pengawal Kejawen sekaligus juga merupkan simbol identitas orang Jawa yang murni.

Filsafat Jawa dan Islam

Menurut Sobirin, pemerhati wayang dan juga seorang muslim yang taat, menyatakan bahwa falsafah Jawa terejawantahkan melalui kesenian wayang sangat klop dan pas dengan ajaran Islam. Sehingga beliau sangat sepakat dengan model dakwah kultural ala Sunan Giri dan Sunan Kali Jaga.

"Jika dakwah meninggalkan budaya, itu sama saja dengan menjajah." Katanya tegas.

Namun, kenyataan bahwa tokoh Semar di kalangan spiritualis terutama kejawen, dipandang bukan hanya sebagai sosok historis, tetapi justru lebih pada mitologi dan simbolisme, baik tentang Tuhan maupun Rakyat, menjadikan kita sebagai orang-orang awam, perlu berhati-hati. Jangan sampai mitologi-mitologi tersebut yang ternyata juga ada banyak versi, membingungkan atau bahkan mempengaruhi keimanan kita.

Yang mesti kita lakukan adalah menempatkan tokoh Semar sebagai sebuah media edukatif, dengan segala kelebihan budi, karsa, serta kebijaksanaannya, tidak ada salahnya jika kita secara selektif mengadopsi yang terbaik.

Dalam dunia pesantren dan santri, ada sebuah adagium yang sangat terkenal yaitu, ambillah yang baik, dan tinggalkan yang buruk. Kiranya dalam menghadapi sebuah mitologi, sikap ini sangat tepat.

Syarif-Enha@Semarang, 2009

*Pernah di muat dalam Majalah Pesan Trend Edisi II/Th.I April 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun