Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ilmu Hidup Jawa dan Tembang Macapat

20 Mei 2020   05:29 Diperbarui: 20 Mei 2020   05:20 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai khas yang tidak dimiliki oleh masyarakat di luar jawa, terutama dalam budaya dan keagamaannya. Sejarah mencatat bahwa tidak ada agama yang datang ke tanah Jawa dan mendapat penolakan. Masyarakat Jawa membuka tangan lebar-lebar untuk hal baru, namun tetap kukuh dan tidak kehilangan pondasi awal yang mereka pijak.

Babad Tanah Jawi yang saat ini telah mulai banyak ditulis kembali dalam terjemah bahasa Indonesia, menggambarkan bahwa Jawa memiliki akar kehidupan yang sangat terjaga, berawal dari Nabi Adam hingga pada masyarakat Jawa sekarang ini. 

Alur ini diabadikan dari generasi ke generasi, menjadi sebuah legenda yang memiliki satu alur pakem yang tak membatasi adanya penafsiran ulang. Terlepas dari fakta kebenaran dari legenda tersebut, namun yang jelas ada usaha penggambaran dunia Jawa yang pernah ada. Mengingat tidak ada karya yang bisa lepas sama sekali dari analisa lingkungannya.

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sangat hierarkis, dari komunitas kerajaan, Abdi Dalem, sampai masyarakat biasa. Meski saat ini batasan hierarki itu tidak lagi kentara meski tidak sama sekali hilang. Penghoramatan kepada seseorang karena kedudukan dan status sosialnya masih sangat kuat.

Di antara penguasa, bangsawan, saudagar dan rakyat, ada satu ruang penghubung dan diisi oleh orang-orang memiliki dua ujung komunikasi, ke bawah dan ke atas. 

Ke bawah untuk menemukan, menggali dan meramu aspirasi, sedangkan ke atas, mereka mampu menyampaikan dengan sistematik suara-suara yang berasal dari bawah. Inilah ruang yang diisi oleh para pujangga.

Untuk menjadi seorang Pujangga (filsuf) tidak mudah. Dia harus memiliki kakuatan lahir dan batin. Seorang pujangga setidaknya harus memiliki delapan kecakapan, (1) parameswara (ahli bahasa dan sastra), (2) paramengkawi (ahli dalam penciptaan sastra), (3) awicarita (ahli dalam merangkai cerita secara mengesankan), (4) mardawa lagu (ahli dalam tembang dan gending), (5) mardawa basa (ahli dalam merangkai bahasa sehingga menghanyutkan pembaca), (6) mandraguna (ahli dalam merangkai ilmu), (7) nawungkridha (peka perasaan sehingga mampu menangkap maksud orang lain), dan (8) sambegana (sempurna hidupnya).

Dengan delapan kecakapan itu, karya-karya para pujangga dijadikan sebagai sebuah piwulang atau pelajaran bagi masyarakat. Selain karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah piwulangan, juga karena gubahan bahasanya yang menyentuh dan indah.

Salah satu karya para pujangga Jawa adalah tembang macapat. Tembang macapat ini banyak digunakan untuk menulis kitab-kitab jawa pada masa Mataram Baru, seperti Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha, dan sebagainya.

Macapat ini berkembang bersama dengan masuknya pengaruh Islam melalui para Sunan. Sehingga tidak heran jika karya-karya para pujangga waktu itu diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Macapat menjadi salah satu media dakwah yang paling uatama para Ulama.

Tembang macapat ini memiliki sebelas macam. Kesemuanya melambangkan daur hidup manusia, sejak dalam kandungan hingga masuk dalam bungkus kain kematian. Macapat adalah karya sangat briliant dan aplikatif untuk bisa digunakan mengajarkan tata cara hidup kepada masyarakat.

Adapun kesebelas tembang macapat yang mengajarkan tata cara hidup manusia adalah sebagai berikut:

  • Maskumambang

Tembang ini melambangkan bayi yang masih ada dalam kandungan. Mas berarti jabang bayi yang belum diketahui apakah laki-laki atau perempuan karena masih kumambang, yaitu belum lahir, masih dalam kandungan.

Ini adalah masa awal persiapan manusia hidup di dunia. Dimana kedua orang tuanya sangat berperan terhadap kualitas dari si jabang bayi. Perilaku orang tua ketika sang bayi masih dalam kandungan, sedikit banyak membawa pengaruh kepada kualitas dan sifat sang anak.

  • Mijil

Mijil berarti kelahiran, yaitu lahirnya jabang bayi ke alam dunia. Yaitu ketika bayi dalam kondisi yang paling lemah sekaligus paling berkuasa, sehingga semua orang di sekitarnya harus mau melayani semua kebutuhannya. Disinilah tantangan orang tua. Mereka harus mampu menangkap atau sasmita dengan kemauan dan keadaan si bayi. Secara tidak sadar, pada masa inilah hubungan batin antara anak dan orang tua itu dibangun.

Dalam penafsiran yang lain yang lebih kontemporer, mijil dapat dimaknai pula sebagai lahirnya sebuah gagasan. Sehingga lahirnya gagasan cemerlang itu bukan akhir, melainkan permulaan, yaitu mula untuk merealisasikannya. Ini mengajarkan kita untuk tidak hanya bicara, namun juga melakukan apa yang kita bicarakan.

  • Kinanti

Berasal dari kata kanthi atau tuntun. Bermakna untuk bisa menghadapi dunia, seorang yang masih kecil harus dituntun, diajari dan dididik. Tentu tidak untuk menjadi seperti ayah maupun ibunya, namun menjadi dirinya sendiri yang memiliki satu garis edar kehidupannya sendiri.

Orang tua sebagai guru utama sang anak, harus mampu mengenalkan kepada anak-anaknya tentang hakekat rasa, benda-benda, dan peristiwa, bukan hanya sekedar mengenalkan nama-nama dan identitas. Diajarkanlah tentang dasar-dasar agama, moral dan ilmu pengetahuan. Pada masa-masa ini, orang tua, keluarga dan lingkungan sangat menentukan kuatnya pondasi agama, moral, dan ilmu serta ketahanan mental sang anak.

  • Sinom

Berarti masa enom atau muda. Masa muda adalah masa yang paling potensial untuk ngudi atau menuntut ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya untuk bekal di kesokan hari. Pada masa inilah ditanamkan cita-cita untuk bisa diraih dengan sungguh-sungguh.

Masa ini merupakan masa dimana anak muda ingin memuaskan rasa penasarannya, namun pertimbangan-pertimbangannya sering masih kurang matang. Sehingga peran orang tua yang paling utama selain memberikan dorongan adalah mengarahkan.

  • Asmarandana

Artinya, tumbuhnya rasa cinta atau asmara kepada lawan jenis, sebagai sebuah fitrah kemanusiaan yang dikaruniakan Sang Hyang Widi kepada setiap insan. Cinta yang dituntun dengan moral dan keimanan akan menjadi sebuah cahaya yang menerangi jalan keluar dari keruwetan hidup. Mampu menjadi penabur kemaslahatan dunia sekitarnya.

Asmara yang tumbuh dengan perawatan yang benar akan menghasilkan keselamatan, kehormatan, kemuliaan dan kebahagiaan. Namun jika asmara itu dibiarkan tumbuh liar, maka dia akan menjadi sebuah bumerang yang justru akan membuahkan keruwetan, kehinaan dan kenistaan, baik diri sendiri maupun orang-orang sekitarnya.

Berasal dari kata jumbuh atau sarujuk yang berarti bersatu. Dua insan yang telah sama-sama ditumbuhi asmara harus segera disatukan untuk membentuk satu keluarga. Karena dengan demikian akan menghindarkan dari berbagai godaan dan gangguan. Keluarga itu seperti sebuah serum yang mengendalikan dan mengarahkan arah tumbuhnya asmara itu, agar tetap dalam kerangka tatanan moral dan agama.

Masa ini sangat menentukan, karena sang anak yang kasmaran ini akan membuat sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Jika dia salah untuk menentukan pilihan, atau kesusu (terburu-buru) dalam mempertimbangkan, atau keliru dalam menentukan tujuan, maka yang akan ditemui kemudian adalah kepedihan hidup.

  • Dandanggula

Menggambarkan kebahagian yang sangat. Dandanggula berarti tempat yang berisi gula. Bermakna tidak ada lain kecuali kebaikan. Oleh karena itulah tidak keliru jika Dandanggula ini menggambarkan kebahagiaan dan kegembiraan.

Dalam fase ini, sang anak telah menjadi orang tua. Semua yang diharapkan telah terwujud. Dari ketercukupan papan, pangan , sandang, keluarga dan momongan. Semua harapan terwujud. Gambaran masa tua pun menjadi sangat indah karena sudah direncanakan begitu rupa dalam kehangatan keluarga yang bersahaja.

  • Durmo

Bersal dari kata darma yang berarti memberi. Dengan perasaan ketercukupan maka akan tumbuh keinginan untuk berbagi kebahagian kepada sesama. Ini adalah tahap manusia menyempurnakan hidupnya. Ketika masih muda dan berjuang keras untuk hidup berkeluarga dan bahagia, dia selalu bergulat dengan persoalan yang menuntutnya selalu bersabar. Pada giliran semua sudah tercukupi, maka saatnya dia menyempurnakan dengan brsyukur kepada Gusti Allah Kang Maha Murah, melalui tindak berbagi, berderma kebaikan kepada sesama.

  • Pangkur

Berasal dari kata mungkur yang berarti berpaling atau menghindari kadunyan (keduniaan). Pada masa tua jika tidak mampu memalingkan diri dari hawa nafsu dan angkara murka, maka tindak lakunya akan bubrah, alias tidak jelas. 

Karena semakin dia tua, keinginannya akan semakin aneh-aneh, sehingga banyak menuntut kepada dunia diluarnya, karena energi yang dimilikinya sendiri sudah banyak berkurang. Ini akan berakibat merepotkan orang-orang yang ada disekitarnya, terutama anak-anak dan keluarganya. Disinilah mengapa kadang anak mantu tidak betah tinggal bersama dengan mertua.

Manusia dalam tahap ini harus berusaha memungkuri atau membelakangi kehidupan dunia. Obsesi-obsesi liarnya harus bisa ditaklukkan, dan berusaha memperbanyak amal budi untuk kehidupan berikutnya.

  • Megatruh

Dari kata megat ruh, atau terputus nyawanya. Inilah akhir periode perjuangan manusia. Batas akhir dia bisa menambah amal atau memperbanyak taubat.

Megatruh juga bisa dimaknai sebagai sebuah tingkatan makrifat tertinggi, yaitu mati sa jroning urip, kemudian menjadi khusnul khotimah di akhir kehidupannya. Sejatine iku ora ana, seng ana iku dudu.

Terputusnya ruh ini menjadi akhir sekaligus awal kehidupan. Akhir hidup di dunia dan awal kehidupan di alam yang baru. Jika terputus ruh, maka terputuslah semua pertalian dia dengan dunia, hanya tinggal iman, amal dan buah perbuatannyalah akan yang ia bawa serta. Semua sudah bersifat ruhani.

Ini adalah tahap akhir kehidupan manusia, yaitu dibungkus dengan kain mori dipocong untuk kemudian dikuburkan. Pocong memberikan pelajaran kepada manusia-manusia yang masih hidup, bahwa semua di dunia yang dahulu di klaim menjadi miliknya, ternyata tidak ada yang dibawa pulang, kecuali secarik kain yang membungkus dirinya. 

Hanya amal dan ibadahnya saja yang akan menemaninya dalam kehidupan mendatang, dimana dia harus mempertanggungjawabkan semuanya. Lahir dengan tidak membawa apa-apa, maka meninggal pun dengan tidak membawa apa-apa.

Daur kehidupan seperti dalam tembang macapat itu pasti kita lalui. Dari dalam kandungan hingga mati berkalang tanah. Namun kondisi kita dalam setiap jenjang tidak mesti sama. Ada yang gembira ada yang sedih, ada yang ketercukupan ada yang kekurangan. Ada yang selamat, ada yang tersasar.

Setiap kita menginginkan kehidupan yang bahagia dunia dan akherat. Lahir dari rahim yang sehat, dididik dengan kasih sayang, masa mudanya terarah, pasangan hidupnya saleh dan solehah, keluarganya bahagia penuh kesetiaan, matinya khusnul khotimah.

Namun manusia hanya bisa berencana dan usaha. Barangkali ada saja bayi yang dikandung tetapi tidak diinginkan. Berkali-kali berusaha digugurkan. Sudah lahir diterlantarkan, tidak dituntun, tidak dididik. Ketika anak sudah menggelandang, menjelang muda mulai berbuat onar dan kejahatan. Begitu berhasrat asmara, malah merusak pagar ayu dengan paksa. Sudah tua malah menjadi penggoda pasangan orang lain. Matinyapun karena terlalu banyak minuman keras dan obat-obatan terlarang.

Bagaimanapun juga, perbedaan kondisi dan posisi itulah yang akan menjadikan roda kehidupan itu berjalan. Ada ide yang bergulir, ada rumusan teknis yang dirancang, ada pelaksana lapangan, ada pengawas, ada penilai dan ada pengguna. 

Semua memiliki satu pertalian. 'Kekosongan' bukan suatu cela, namun itu adalah media bagi 'isi' untuk memasukinya. Begitu Tuhan menata hidup dalam hukum-hukumnya yang tidak kasat mata namun berjalan begitu rapih.

Yang terpenting bukan kita menjadi seperti apa dalam setiap tahap kehidupan itu, namun seberapa besar usaha kita untuk selalu menjadi yang terbaik dalam setiap daur hidup kita. Tidak terkecuali jika yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah tetap bertahan untuk tidak terjatuh dalam kemunduran.

Melalui sebelas tembang macapat itu, kita belajar kehidupan, bagaimana menjadi anak, bagaimana menjadi orang tua, dan lebih lagi bagaimana menjadi manusia. Berusahalah tetap berada dalam tingkat kesadaran dan kewaspadaan. R. Ng. Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa, dalam karyanya Serat Kalatida, memperingatkan kepada kita semua,

//Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ milu edan ora tahan/ yen tan melu anglakoni/ boya keduman melik/ kaliren wekasanipun/ ndilalah karsa Allah/ begja-begjane kang lali/ luwih begja kang eling lan waspada//

Peringatan Ranggawarsita tersebut tentu sangat relevan dengan perintah Allah dalam Al Qur'an kepada kita semua untuk selalu bersiaga, menjaga diri dan keluarga dari kerusakan hidup yang berbalas neraka.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Q.S. At Tahrim: 6).

Salah satu kemahiran seorang menaiki kendaraan adalah berkait dengan penguasaan medan jalan. Semakin sering dia melalui jalan itu, maka semakin mahir dia melaju kendaraannya. Dalam kehidupan, tidak harus kita hidup dan mati berkali-kali untuk bisa menjalani hidup ini dengan benar, tenang, dan gembira. Menimba sebanyak-banyaknya pengalaman dari siapapun dan apapun, adalah kunci bagi kita untuk semakin mengenal lebih dekat tentang hidup.

Akhirnya kita harus menyadari bahwa jiwa atau ruh kita, setidaknya akan melalui lima alam perpindahan, yiatu alam barzah, alam rahim, alam dunia, alam kubur dan alam akherat. 

Dengan demikian, kehidupan di dunia ini yang kita lalui dengan susah payah, hanyalah satu episode dari beberpa episode hidup kita. Namun satu episode itulah yang akan menentukan kondisi hidup kita pada episode-episode berikutnya. Baik kita berperilaku di dunia, maka baik pula penerimaan kita kelak. Karenaya, jangan pernah "main-main" dengan kehidupan dunia ini.

Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita semua jalan-Nya yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang dilimpahkan nikmat atas mereka, bukan jalannya orang-orang yang dibenci lagi berbuat dzalim. Amin. Syarif_Enha@Juli2012

Referensi:

Karsono H Saputra, 2005, Bahasa dan Sastra Jawa, Wedatama Widya Sastra, Jakarta.

Purwadi dkk, 2005, Ensiklopedi Kebudaya Jawa, Bina Media.

Ratnawati, 2002, Religiusitas dalam Sastra Jawa Modern, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun