Hanya amal dan ibadahnya saja yang akan menemaninya dalam kehidupan mendatang, dimana dia harus mempertanggungjawabkan semuanya. Lahir dengan tidak membawa apa-apa, maka meninggal pun dengan tidak membawa apa-apa.
Daur kehidupan seperti dalam tembang macapat itu pasti kita lalui. Dari dalam kandungan hingga mati berkalang tanah. Namun kondisi kita dalam setiap jenjang tidak mesti sama. Ada yang gembira ada yang sedih, ada yang ketercukupan ada yang kekurangan. Ada yang selamat, ada yang tersasar.
Setiap kita menginginkan kehidupan yang bahagia dunia dan akherat. Lahir dari rahim yang sehat, dididik dengan kasih sayang, masa mudanya terarah, pasangan hidupnya saleh dan solehah, keluarganya bahagia penuh kesetiaan, matinya khusnul khotimah.
Namun manusia hanya bisa berencana dan usaha. Barangkali ada saja bayi yang dikandung tetapi tidak diinginkan. Berkali-kali berusaha digugurkan. Sudah lahir diterlantarkan, tidak dituntun, tidak dididik. Ketika anak sudah menggelandang, menjelang muda mulai berbuat onar dan kejahatan. Begitu berhasrat asmara, malah merusak pagar ayu dengan paksa. Sudah tua malah menjadi penggoda pasangan orang lain. Matinyapun karena terlalu banyak minuman keras dan obat-obatan terlarang.
Bagaimanapun juga, perbedaan kondisi dan posisi itulah yang akan menjadikan roda kehidupan itu berjalan. Ada ide yang bergulir, ada rumusan teknis yang dirancang, ada pelaksana lapangan, ada pengawas, ada penilai dan ada pengguna.Â
Semua memiliki satu pertalian. 'Kekosongan' bukan suatu cela, namun itu adalah media bagi 'isi' untuk memasukinya. Begitu Tuhan menata hidup dalam hukum-hukumnya yang tidak kasat mata namun berjalan begitu rapih.
Yang terpenting bukan kita menjadi seperti apa dalam setiap tahap kehidupan itu, namun seberapa besar usaha kita untuk selalu menjadi yang terbaik dalam setiap daur hidup kita. Tidak terkecuali jika yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah tetap bertahan untuk tidak terjatuh dalam kemunduran.
Melalui sebelas tembang macapat itu, kita belajar kehidupan, bagaimana menjadi anak, bagaimana menjadi orang tua, dan lebih lagi bagaimana menjadi manusia. Berusahalah tetap berada dalam tingkat kesadaran dan kewaspadaan. R. Ng. Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa, dalam karyanya Serat Kalatida, memperingatkan kepada kita semua,
//Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ milu edan ora tahan/ yen tan melu anglakoni/ boya keduman melik/ kaliren wekasanipun/ ndilalah karsa Allah/ begja-begjane kang lali/ luwih begja kang eling lan waspada//
Peringatan Ranggawarsita tersebut tentu sangat relevan dengan perintah Allah dalam Al Qur'an kepada kita semua untuk selalu bersiaga, menjaga diri dan keluarga dari kerusakan hidup yang berbalas neraka.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Q.S. At Tahrim: 6).