Setiap menyambut Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Haji, Kita kerap diingatkan kembali  kisah tentang peristiwa penyembelihan Ismail oleh ayahnya Nabi Ibrahim yang melatarbelakangi disyariatkannya ibadah qurban, ataupun kisah Siti Hajar yang berlari antara bukit  Shafa dan Marwah yang melatarbelakangi amalan Sa'i yang merupakan salah satu rukun ibadah haji.
Kali ini saya ingin menyajikan fragmen kehidupan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail  yang barangkali jarang diketahui orang. Dikisahkan Oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Shahih Qashashil Anbiya', Nabi Ismail di saat usia dewasa, tak lama setelah ibunya, Siti Hajar meninggal dunia, ia menikah dengan seorang wanita yang tinggal di sekitar sumur Zamzam.
Suatu ketika Nabi Ibrahim mengunjungi Ismail yang diketahui saat itu sudah menikah. Tentu sebagai seorang ayah, ia ingin mengetahui kabar anaknya setelah sekian lama tak jumpa.Â
Namun saat tiba di rumah Ismail, dia tidak menemukan anaknya. Yang ditemui di rumah adalah istri Ismail yang sebelumnya tak mengenali bagaimana sosok mertuanya. Â Di saat Ibrahim bertanya dimana Ismail, Istri Ismail menjawab, "Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami."Â
Kemudian Ibrahim bertanya lagi, kali ini tentang kondisi kehidupan dan keadaan mereka. Istri Ismail menjawab, "Kami mengalami banyak keburukan, hidup kami sempit dan penuh penderitaan yang berat."Â
Tanpa rasa sungkan sang Istri mengadukan kehidupan yang dijalani bersama suaminya kepada Ibrahim. Mendengar itu Ibrahim berkata, "Nanti bila suami kamu datang, tolong sampaikan salam dariku dan katakan kepadanya agar ia mengganti palang pintu rumahnya." Ibrahim pun meninggalkan rumah anaknya.
Saat Ismail datang dia merasakan sesuatu lalu dia bertanya kepada istrinya; "Apakah ada orang yang datang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya. Tadi ada orang tua begini dan begitu keadaannya datang kepada kami dan dia menanyakan kamu lalu aku terangkan dan dia bertanya kepadaku tentang keadaan kehidupan kita maka aku terangkan bahwa aku hidup dalam kepayahan dan penderitaan."Â
Ismail bertanya, "Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?" Istrinya menjawab, "Ya. Dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mengganti  palang pintu rumahmu."Â
Ismail berkata, "Dialah ayahku dan sungguh dia telah memerintahkan aku untuk menceraikan kamu, maka kembalilah kamu kepada keluargamu." Maka Ismail menceraikan istrinya.
Kemudian Ismail menikah lagi dengan seorang wanita lain dari kalangan penduduk yang tinggal di sekitar itu. Setelah itu, Ibrahim datang kembali untuk menemui anaknya, namun dia tidak mendapatkan Ismail, yang ditemuinya  istri Ismail lalu bertanya kepadanya tentang Ismail.Â
Istrinya menjawab, "Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami." Lalu Ibrahim bertanya lagi, "Bagaimana keadaan kalian?" Dia bertanya kepada istrinya Ismail tentang kehidupan dan keadaan hidup mereka. Istrinya menjawab, "Kami selalu dalam keadaan baik-baik saja dan cukup."Â
Istri Ismail juga tak lupa memuji Allah. Ibrahim bertanya, "Apa makanan kalian?" Istri Ismail menjawab, "Daging." Ibrahim bertanya lagi, "Apa minuman kalian? Istri Ismail menjawab, "Air." Maka Ibrahim berdoa, "Ya Allah, berkahilah mereka dalam daging dan air mereka."
Ibrahim selanjutnya berkata, "Jika nanti suamimu datang, sampaikan salam dariku kepadanya dan perintahkanlah dia agar memperkokoh palang pintu rumahnya."
Ketika Ismail datang, dia berkata, "Apakah ada orang yang datang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya. Tadi ada orang tua dengan penampilan sangat baik datang ke rumah kita.Â
Dia bertanya kepadaku tentang kamu, maka aku terangkan lalu dia bertanya kepadaku tentang keadaan hidup kita, maka aku jawab bahwa aku dalam keadaan baik." Ismail bertanya, "Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?" Istrinya menjawab, "Ya."Â
Dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mempertahankan palang pintu rumahmu." Ismail berkata, "Dialah ayahku dan palang pintu yang dimaksud adalah kamu. Dia memerintahkanku untuk mempertahankan kamu."
Inilah sepenggal kisah antara ayah dan anak, Ibrahim dan Ismail. Yang kedua-duanya adalah sosok Nabi. Yang menarik dari kisah ini adalah betapa Nabi Ismail sangat mengenal bahwa sosok orang tua yang menemui dan berbicara dengan istrinya yang tak sempat bertatap muka dengannya adalah ayahnya sendiri.Â
Walaupun sudah lama tak jumpa dan berinteraksi dengan ayahnya, tapi Nabi Ismail yakin kalau orang tua itu adalah ayahnya dari diksi "palang pintu" yang digunakan ibrahim saat beliau menitipkan nasihat melalui istrinya.Â
Ini menandakan bahwa Ismail memiliki keterikatan emosi yang kuat dengan ayahnya, Dan atas dasar ini pula ia yakin untuk mengambil keputusan penting menceraikan istrinya. Keterikatan emosi ini yang dalam dunia parenting dikenal dengan istilah em0tional bonding.
Emotional bonding merupakan ikatan emosional atau ikatan hati antara orang tua dan anak yang menjadi  "jembatan" tak kasat mata penghubung hati orangtua dengan hati anak-anaknya. Tanpa adanya ikatan ini, maka setiap pesan dari orangtua yang berupa nasehat, teguran, ataupun larangan tidak akan bisa sampai ke dalam hati anak.
Sejatinya emotional bonding ini dibangun sejak anak masih dalam kandungan, kemudian berlanjut pada fase pengikatan di usia 0-2 tahun. Adapun usia diatas 2 tahun membangun ikatan hati dapat dilakukan dengan memanfaatkan golden moment, yakni suatu situasi dimana anak sangat membutuhkan hadirnya kita sebagai orang tua.Â
Misalnya disaat dia sedih atau disaat dia butuh pujian karena prestasinya. Orang tua dapat menjadi teman bermain yang baik dan ikut menyelami imajinasi anak. Ungkapan verbal, sentuhan, belaian, kecupan  kasih sayang dapat menjadi sarana efektif dalam membangun emotional bonding.
Kembali pada kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, bukankah intensitas kebersamaan keduanya sangat minim ? lalu bagaimana Nabi Ibrahim membangun  emotional bonding dengan anaknya ?Â
Nah, inilah hebatnya sosok ayah bernama Ibrahim yang perlu ditiru. Ini tak lepas dari kemampuan beliau dalam menghadirkan kualitas interaksi ayah dan anak dalam intensitas yang sangat terbatas.Â
Selain itu adanya peran serta sang istri, Siti Hajar, dalam proses pengasuhan Ismail untuk senantiasa menghadirkan gambaran sosok ayah yang baik dalam imajinasi anaknya melalui bahasa verbal. Walaupun jauh, sosok ayah itu senantiasa terasa dekat.
Betapa dewasa ini tak sedikit keluarga yang mengalami krisis ikatan emosi antara orang tua dan anak. Apakah itu karena sang ayah yang bekerja jauh di luar kota, atau karena ayah dan ibu sibuk bekerja sehingga anak dibawah pengasuhan baby sitter atau pembantu rumah tangga. Masalah ini berakibat pada lahirnya generasi muda atau remaja yang turut menyumbang problem sosial.
Oleh karena itu membangun emotional bonding tak bisa dianggap sepele oleh para orang  tua. Karena nantinya hal ini yang akan menjaga anak kita kelak dalam pergaulan sosial mereka saat kita orang tua tak berada disisinya.Â
Emotional bonding yang kuat akan membuat anak-anak senantiasa mengingat-ingat kembali  nasehat, teguran, atau pun larangan yang pernah disampaikan kepada mereka, kemudian ada rasa tanggung  jawab mereka untuk menjaga nama baik keluarga sebagai bentuk rasa sayang mereka ke orang tuanya. Intinya mereka kelak akan menjadi pribadi-pribadi dewasa, matang, dan bertanggung jawab. Itu !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H